Oleh. Heri Maja Kelana*
aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar
mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita
aku marah, aku takut, aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa
(Hai, Ma!, W.S Rendra)
Tahun 2005 saya memutuskan untuk pindah kuliah dari Teknik Pangan, Universitas Pasundan ke Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia. Di tempat kuliah baru, saya berkenalan dengan yang namanya sastra. Hingga saya masuk di UKM ASAS (Arena Studi Apresiasi Sastra).
ASAS serta kawan-kawan di sana secara tidak langsung memperkenalkan saya dengan banyak ragam bacaan. Mulai dari buku karya sastra, hingga esai sastra dan budaya yang termuat di koran-koran. Secara tidak sengaja, saya menemukan arsip esai berjudul Kehidupan Kedua: Tentang Nalar dan Horizonnya yang termuat di Kompas, (2 Maret 2005). Esai itu ditulis oleh seorang Nirwan Ahmad Arsuka.
Esai Nirwan membuat saya menggelengkan kepala. Banyak yang didapat dari esai tersebut. Hingga akhirnya membaca kembali esai-esai Nirwan dalam bukunya yang berjudul Semesta Manusia, yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak.
Pada buku Semesta Manusia, ada yang aneh. Saya diajak untuk menelusuri pemikiran Nirwan yang sangat kompleks. Mulai dari sains, manusia, seni, sastra, agama, Indonesia, Pustaka Bergerak, hingga kuda. Buku yang tebalnya 809 halaman membuat saya masuk dalam labirin semesta pikiran Nirwan. Selesai membaca, saya berkata dalam hati “kok ada orang yang menulis sedasyat ini”.
Keliaaran Pikiran Nirwan
Nirwan sangat piawai dalam mengolah suatu objek yang dituliskan pada esai-esainya. Sehingga esai-esainya enak dibaca, namun belum tentu mengerti atau paham terhadap apa yang sedang dibicarakan. Hal ini terjadi karena karena bertumpuknya referensi multidisiplin ilmu serta keliaran pemikiran dari Nirwan itu sendiri. Akan tetapi, apabila pembacanya tahu dengan konteks, maka ia akan paham dengan cepat.
Seperti pada esai Kehidupan Kedua: Tentang Nalar dan Horizonnya, Nirwan melihat arkeologis dan antropologis masyarakat prasejarah dari puisi Wizlawa Szymborska. Yang menceritakan tentang kelamnya hidup dari leluhur manusia.
Nirwan menulis “Puisi Wizlawa Szymborska, pemenang Hadiah Nobel Sastra 1996, yang diterjemahkan dari bahasa Polandia oleh Stanislaw Baranczak dan Clare Cavanagh, dengan kuat menyajikan kelamnya hidup leluhur manusia; hidup yang demikian singkat, begitu singkat sehingga sepanjang apapun ia terentang, tetap tak sanggup menampung sekaligus memekarkan hal-hal baru.” Nirwan meluaskan pemikiran dari Wizlawa dalam bentuk “nalar”, sehingga ia mampu berpikir bahwa leluhur manusia ini berjuang mati-matian dari kepunahan. Apabila kita mencermati definisi manusia dari Aristoteles, maka manusia adalah binatang (hewan) yang dapat berpikir dan bertindak berdasarkan akal. Dari sini kemudian nalar bermain.
Nalar dari manusia digunakan untuk situasi tertentu, sehingga nalar memiliki jangka hidup tersendiri. Seperti juga yang disampaikan oleh Nirwan. Sehingga nalar membangun bahasa, agama, serta moral, yang mana turut menjaga serta mensiasati manusia dari ancama manusia itu sendiri. Seperti perang antar suku, kepentingan politik, rasial, ekonomi dan lain sebagainya.
Pada esai Semesta Manusia, yang ditulis Nirwan tahun 2000, ada satu kata kunci yang mengantarkan pembaca untuk masuk lebih jauh menyelami esainya yaitu “modern”. Titik masuk Nirwan dalam membahas “modern” dari karyanya Pramudya Ananta Toer, yaitu Bumi Manusia. Nirwan mengutip pada halaman 2 novel Bumi Manusia “Dalam hidupku, baru seumur jagung, sudah dapat kurasai: ilmu pengetahuan telah memberikan padaku suatu restu yang tiada terhingga indahnya”. Dalam hal ini, Nirwan melihat bagaimana ilmu dan teknologi bersatu yang kemudian muncul istilah modern.
Kutipan novel Bumi Manusia menjadi titik masuk pada pemikiran-pemikiran Nirwan tentang semesta manusia. Ia berbicara tentang mikrokosmos manusia mulai dari teori evolusi hingga post-Darwinian. Selain itu, Nirwan menyinggung pula tentang proses penciptaan.
Nirwan Ahmad Arsuka memiliki pemikiran tajam serta liar dalam esai-esainya. Tidak sedikit pula ia melihat dari kaca mata lain ketika melihat sebuah objek atau tema yang sedang dibahasnya. Dan ini menjadi ke-asyik-an dari esai Nirwan ketika dibaca. Seperti misalnya, ketika Nirwan membahas modern, ia mengaitkannya dengan kuda. Kuda menjadi representasi dari modern itu sendiri. Kuda menjadi simbol percepatan dari teknologi. Kuda yang sejatinya hanya menarik tubuhnya, kemudian dapat menjadi alat mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain. Hal itu kemudian berkembang menjadi kendaraan seperti mobil, kereta, serta pesawat.
Selain itu, Nirwan sangat khusuk mencintai kuda, sehingga fenomenologi kuda telah ia dapatkan dengan baik. Nirwan menghayati betul kuda. Pada buku Semesta Manusia pun ada empat esai tentang kuda. Kecintaannya terhadap kuda, mengingatkan saya pada Umbu Landu Paranggi, serta puisinya yang berjudul “Kuda Putih”.
kuda putih yang meringkik dalam sajaksajakku
merasuki basabisik kantung peluh rahasia
diamdiam kupacu terus ini binatang cinta
dengan cambuk tali anganan dari padangpadangku
(Kuda Putih, Umbu Landu Paranggi)
Modern tidak dapat lepas dari nalar. Nalar tidak dapat lepas dari akal manusia. Namun hal itu kembali pada semesta manusia, apakah manusia tersebut mau menggunakannya atau tidak?
Nirwan dan Prediksi-Prediksinya
Saya tidak terlalu mengenal Nirwan Ahmad Arsuka, namun saya banyak berkenalan dengan beliau dari esai-esainya. Nirwan sangat mencintai sastra, seni, dan budaya. Sehingga pemikirannya tersublimasi, ia dapat memprediksi di kemudian hari tentang manusia dan ideologi.
Nirwan yang menurut hemat saya sedang memprediksi mengenai bagaimana transhumanisme berkembang di dunia ini, yang kemudian masuk ke Indonesia. Jauh sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang, ia sudah banyak membicarakan ideologi yang mengarah pada gerakan filosofis dan teknologi berkembang untuk kemajuan fisik serta kognitif manusia. Dan bukan hanya itu, arah dan gerakan transhumanisme juga mengarah pada poshuman.
Pemikiran-pemikiran Nirwan terhadap transhumanisme ini sudah mulai muncul pada tahun 90 an dan awal 2000 an. Di mana kita tahu bahwa teknologi pada waktu itu belum secanggih sekarang. Artificial Intelligence atau sering disebut AI belum populer seperti sekarang. Bahkan mungkin belum ada. Namun ia dapat menangkap hal itu, dan suatu saat hal itu akan terjadi.
Dan mungkin atas dasar itu (kognitif manusia Indonesia) pula Nirwan terjun dalam gerakan literasi dengan Pustaka Bergerak-nya. Bahwa nalar manusia Indonesia harus di isi dengan bacaan-bacaan yang bergizi. Bacaan-bacaan yang dapat menginspirasi, memberikan sentuhan pada nalar-nalar yang kering, supaya nalar menjadi hijau dan menjadi manusia seutuhnya.
Saya akan mengatakan bahwa Pustaka Bergerak adalah manifesto dari pemikiran Nirwan dalam membangun dalam gerakan literasi. Tujuannya tidak lain untuk mengisi nalar-nalar yang kering, seperti yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya.
Esai saya yang berjudul “Nirwan Ahmad Arsuka: Mata Kanan Nalar dan Mata Kiri Transhumanisme” akan ditutup dengan nukilan esai dari Slavoj Zizek yang berjudul Selamat Datang di Gurun Viral “… virus ideologis lain dan jauh lebih bermanfaat akan menyebar dan mudah-mudahan menulari kita: virus pemikiran masyarakat laternatif, masyarakat di luar negara-bangsa, masyarakat yang mengaktualisasi dirinya dalam bentuk solidaritas dan kerja sama global”.
Nirwan sekarang tidak sedang menertawakan cita-cita, namun ia tersenyum dengan cita-citanya: gerakan literasi di Indonesia semakin berkembang, nalar manusia Indonesia semakin terisi.
Tabik.
*Pengurus Pusat Forum TBM