“Kau tahu?” Perempuan bernama Ibu mencurigaiku atas kelakuanku yang setiap hari meresahkan. Sebenarnya aku tidak menyembunyikan apa-apa. Apalagi Ayah, ia selalu menatapku dengan tidak menyenangkan. Ia akan melototkan bola matamya seperti hampir jatuh. Kakakku juga melakukan hal yang sama. Pernah diriku tengah duduk di halaman rumah. Aku yang setiap pagi meletakkan kopi di meja, kopi yang saat itu terasa manis. Entah apa yang dilakukan Kakakku. Kopi buatanku sendiri menjadi pahit. Tapi aku bersyukur, adikku tidak melakukan apa-apa. Bahkan ia selalu menaruh senyum kepadaku.
“Hei, kenapa Ibumu?” Zaeni menunjuk Ibuku yang menatap tidak senang kepadaku. Tapi aku tidak mendapatkannya. Saat aku menoleh, Ibuku masuk ke dalam rumah dan hilang.
“Biarlah, lebih baik kita pergi dari sini” Aku mengajak Zaeni pergi dari rumah. Rumah yang kau anggap surga, tidak akan kau temui di sini. Setiap hari aku di pojokkan oleh Ibu, Ayah dan Kakakku sendiri. Terakhir adikku, kalau aku tidak memberinya uang jajan. Ia tidak berhenti memasang wajah cemberut. Kau bisa membayangkannya, rumahku penuh dengan tuduhan dan prasangka.
Aku tidak pernah tidur nyenyak di sana. Bayangkan aku selalu terbangun dengan suara yang sangat keras. Ayah melantunkan ayat-ayat suci hingga membuatku terbangun. Ia sengaja membacanya lebih keras bahkan saat telinga aku tutup dengan bantal. Pun dengan Ibuku, saat aku mencari tempat tidur yang nyaman. Ibu mengeraskan volume suara ceramah, hingga aku tidak dapat tidur lagi.
“Apa Kakak akan berulah kepadaku?” Aku tuduh Kakakku yang tengah duduk di meja dan memegang buku. Sepertinya ia baru mencoret-coret buku dengan spidol.
Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Wajahku sudah tercoreng dan tidak layak untuk bertatap muka dengan siapapun. Aku bahkan menuduh Zaeni “Apa kau hendak memperlakukanku seperti mereka, kalau betul segeralah cerca aku!”.
“Tidak, tidak. Bukan begitu, justru aku yang akan berada di sampingmu” Zaeni menenangkanku.
“Baiklah, aku percaya denganmu Zaeni” kataku menatapnya dengan dalam. Kemudian aku membiarkannya duduk. Sedangkan aku tetap berdiri dihadapannya.
Kini tinggal kita berdua, Aku hendak menceritakan banyak hal kepada Zaeni. Termasuk tentang perempuan yang tidak lama masuk ke dalam rumahku. Aku percaya dia akan merahasiakannya dari siapapun. Ayah, Ibu, Kakak dan Adik tidak seorang pun yang mereka tahu.
“Zaeni, perempuan masuk ke dalam rumahku. Ia lalu keluar dan menyapu halaman rumahku.” Kataku lembut berharap Zaeni bersimpati kepadaku.
“Iya, aku mendengarkanmu” Zaeni bersimpuh mendengarkan.
“Siapa dia?” Zaeni bangkit dan menepuk bahuku.
Aku diam berharap ia akan duduk kembali. Aku tidak berani mengatakan bahwa perempuan itu adalah pacarku. Aku selalu membawanya ke dalam rumah dan membiarkannya menyapu halaman rumahku. Aku urungkan untuk menceritakannya kepada Zaeni. Kubiarkan Zaeni melambat pergi dan aku masih saja berdiri. Kemudian ia menghilang.
Sekarang aku tidak tahu apa yang dapat aku lakukan. Bahkan Zaeni lebih dulu pergi sebelum segalanya kuceritakan. Sekarang aku berpulang kembali kepada rumah. Cuma itu satu-satunya jalan. Aku sudah siap dengan ketidaktenangan, kebisingan dan keasingan di dalam rumah sendiri. Yah!, rumahku sendiri. Maksudku rumah kedua Orangtuaku.
Memangnya salah membiarkan pacar sendiri masuk ke dalam rumah. Bukankah ia juga mengiyakan, dan aku mengajaknya. Aku membiarkannya duduk di meja kosong. Aku mengawasi bola matanya sampai kepada kaki. Aku merasakan kecantikannya lebih baik dari ibuku. Aku akan menuruti permintaannya sama seperti aku menuruti permintaan ibuku. Bahkan aku mendahulukannya.
“Di sini tidak ada orang! Rumah ini aman, tidak siapapun yang dapat melihat kita, percayalah!” kataku membuatnya percaya.
Aku seringkali mengajaknya ke manapun yang ia sukai. Ia terlihat senang dan aku semakin tergila-gila kepadanya. Seandainya ia bersama pria lain, aku takkan percaya. Bukankah aku sudah menggilainya.
“Percintaan orang kota adalah bersetubuh, perut di atas perut yang lain. Sedangkan percintaan orang pedalaman adalah berciuman dan berbincang-bincang” Pikirku sambil mengingat kalimat sederhana yang kudapat dari kitab karangan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah.
Saat mengajak pacarku ke dalam rumah. Aku menyuguhkannya makanan dan minuman seadanya. Kemudian, televisi itu kubiarkan menyala dan mempertontonkan sepasang pemuda yang tengah bercinta. Persis seperti adegan orang timur dan orang barat saat bercengkerama.