Categories
Cerpen

Pacarku Menyapu Halaman (Bag. 2)

Tidak ada seorangpun di dalam rumah. Pintu sudah kupastikan terkunci rapat. Jendela sudah aku tutup dan gorden pun kurapatkan hingga sudutnya. Hanya ada binatang yang mengeluarkan suara nyaring. Aku memastikan di dalam rumah tidak ada yang menggangguku dan pacarku. Secepat kilat aku membawa tumpangan kucing di tanganku dan melemparkannya keluar rumah. Kubiarkan ia meringis dan pergi sejauh mungkin.

“Kira-kira begitu yang aku lakukan di rumah” kataku kepada kucing yang pernah aku lempar. Aku menyesal melemparnya, dan sekarang kubiarkan ia bertanya sesukanya kepadaku.

“Sekarang kau temanku, kau tidak pantas bercerita rahasia ini kepada Ayah, Ibu dan Kakakku” Aku memohon kepada seekor kucing dan dari golongan binatang. Rasanya turun martabatku sebagai manusia.

“Untuk Adikku, kau boleh menceritakannya sesukamu. Ia sudah kuberi uang jajan yang cukup untuk membungkamnya selama beberapa hari”. Kataku menambahkannya lagi.

Cukup kali ini aku berbincang dengan binatang. Memangnya apa salahku sampai harus memohon pada binatang rumahan ini. Bukankah ia setiap hari yang mencuri ikan makanan pagiku. Aku sering menangkap basah kucing ini mengambil makanan yang bukan haknya. Ia selalu bernafsu saat melihat ikan segar dihadapannya. Yang menyebalkan adalah caranya menatap ikan itu. Ia terlebih dahulu mengawasi bola mata ikan hingga kepada kaki. Ia akan memastikan di sekelilingnya tidak ada kucing lain selain dirinya sendiri. Ekor pendeknya akan memberitahunya saat ada sinyal bahaya. Jadi, ia sudah bersiap lari dan sembunyi saat pemilik ikan datang.

“Sial, aku tak pernah mendapatkan kucing ini mencakar dan mencabik ikan yang ia dapatkan” Pikirku

“Barangkali aku akan melihatnya menjilat-jilat ikan segar yang sudah tidak berdaya itu. Ah, seharusnya aku dapat melihatnya sesekali.” Pikirku lagi.

Seharusnya ikan segar tidak ditaruh sembarang tempat. Tentulah kucing-kucing akan beringas dan mendengusnya. Kalau aku jadi pemilik ikan segar itu, pastilah kutampar dengan cepat kucing-kucing yang sesekali mengendusnya. Tak sudi aku melihat kucing-kucing menatap penuh nafsu. Kecuali kalau ikan itu memang sengaja merayu kucing-kucing agar menjilatnya. Tentulah aku akan lebih jijik kepada ikan tersebut.

Belum aku ceritakan semuanya, kucing itu pergi dari hadapanku. Ekornya mengejekku dan menuduhku. Sekarang giliran ia yang tidak sudi berbicara denganku. Barangkali ia tahu juga perbuatanku. Tapi aku sungguh belum memberitahu hal ini kepada siapapun, seluruhnya termasuk kepada kucing brengsek itu.

Sekarang aku bingung bercampur malu. Rasanya semua semesta telah tahu perbuatan kejiku. Entah siapa yang memberitahunya, aku akan memohon kepadanya untuk menghentikan keasinganku. Tidakkah ini semua di luar kendaliku, benar!. Aku harus membela diri. Ini bukan perbuatanku seutuhnya, ini adalah fitrah manusia.

“Ayah, Ibu. Sungguh aku tidak melakukan apa-apa” aku memelas.

Aku hanya melakukan apa yang biasa dilakukan kucing itu. Ikan segar itu yang merayu dan mengajaknya bicara ke mana-mana. Ia membiarkan dirinya tidak terjaga dan membuat birahi kucing semakin menggila.

“Kau tahukan, Kakak. Adikmu ini hanya terpancing oleh ikan itu”

“Adik, lihatlah. Kakakmu ini tidak melakukan apa-apa. Percayalah.”

Ia hanya pacarku yang kuperlakukan seperti ikan segar itu. Sungguh, aku melihat kucing itu yang menjilat-jilat ikan dan mencabik lalu memakannya sampai kenyang.

“Itu dia, kucingnya” teriak diriku dan terpancing keluar rumah. Kemudian aku mendapati pacarku tengah menyapu halaman.

Leave a Reply