Oleh. Atep Kurnia*

 

Bulan Ramadan memainkan peran penting dalam peristiwa Perang Diponegoro atau Perang Jawa antara 1825-1830. Bulan suci pada tahun Masehi 1824 dan 1825 bagi Pangeran Diponegoro (1785-1855) merupakan saat-saat menerima wangsit yang menyakinkannya untuk mengangkat senjata terhadap kekuasaan Belanda di Pulau Jawa.

Fakta-fakta tersebut saya baca dari karya monumental sejarawan Peter Carey, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855 (Edisi kedua, KITLV Press, 2008). Pembahasannya ada dalam bab “X Waiting for the ‘Just King’: The road to war in south-central Java, 1822-1825” (hal. 505-603), khususnya pada subbab “Dipanagara’s pre-war visions” (hal. 564-583). Sumber rujukan Carey adalah naskah BD (Manado) atau “Babad Dipanagara. LOr 6547a-d. Copy of the original autobiography written under Dipanagara’s orders in Manado in 1831-1832. Copy probably made in the 1880s for Professor G.A.J. Hazeu. Four vols. 408 pp., 401 pp., 372 pp., 43 cantos”.

Menurut Carey (2008: 564), berdasarkan Babad Diponegoro, selama waktu 15 bulan menjelang pecahnya perang yaitu dari Mei 1824 hingga Juli 1825 merupakan masa yang sangat krusial bagi Pangeran Diponegoro. Selama masa itu, ada rangkaian mimpi dan wangsit yang agaknya membantunya untuk menjernihkan pandangan terhadap dirinya dan peran yang akan dimainkannya pada pergolakan yang datang menjelang di Jawa Tengah.

Menurut Carey, wangsit yang dialami Pangeran Diponegoro terjadi pada bulan Puasa tahun 1824 pada tanggal 21 Ramelan Anno Javanico (AJ) 1751 atau 19 Mei 1824. Kala itu sang pangeran sedang berada di Gua Secang, Selarong. Gambarannya ada dalam “BD (Manado), II:311-15, XX (Dhandhanggula) 7-20”.

Dalam kaitannya dengan puasa Ramadan, dalam naskah tertulis begini: “mengkana kang winarna/ apan ta panuju/ ing taun Edal punika/ sirah-tunggil wulan Ramelan nujoni/ ping salikur tanggalnya. 8. jeng pangéran anèng guwa iki/ pan ing Secang arané punika/ saben wulan Ramelané/ mengkana karsanipun/ kangjeng pangran ngunjalat iki/ [anèng sajroning guwa/ pan tan kondur-kondur]/ mangkana panuju [ika]/ lenggah anèng séla gilang westanèki/ anenggih Ngambarmaya” (Sekarang kami kisahkan bagaimana pada tahun Dal dalam bulan Ramelan, pada tanggal 21, 8. sang pangeran berada di sebuah gua yang namanya Secang. Setiap bulan Ramelan sang pangeran cenderung mendekatkan diri dengan Sang Maha Kuasa dalam sembahyang di dalam gua tanpa pulang ke rumahnya (ke Tegalreja). Itulah tujuannya. Dia duduk di sela gilang yang disebut Ambarmaya) (Carey, 2008: 564, 568).

Setahun kemudian, antara 18 April hingga 18 Mei 1825 selama puasa Ramadan, Pangeran Diponegoro kembali ke Gua Secang untuk bermeditasi dan berdoa (Carey, 2008: 575). Hal ini digambarkan dalam “BD (Manado), II:328-9, XX (Dhandhanggula) 51-7”. Kata Carey (2008: 576) sang pangeran kembali ke Secang. Di sana setelah salat tarawih yang biasanya diikuti dengan ibadah keagamaan selama bulan Ramadan, dia duduk di batu meditasi sela gilang yang diapit kanan-kirinya oleh pelayannya, Puthutlawa dan Puthutgurit. Pelayan lainnya berada di dapur di kompleks Gua Secang, mempersiapkan makanan buka. Saat itu malam 27 Ramelan AJ 1752 (malem pitulikur) yang jatuh pada tahun penanggalan Jawa Be (16 Mei 1825). Sang pangeran kemudian makan dan tidur di atas batu meditasi, sementara kedua pelayannya berjaga, meskipun segera pula tertidur. Kemudian mimpi datang menjumpai sang pangeran.

Rangkaian mimpi dan wangsit itu antara lain berkaitan dengan Ratu Adil (21 Mei 1824) sehingga ia mengambil gelar Sultan Erucakra; dan delapan wali wudhar pada malam ke-27 bulan Ramadan (16 Mei 1825). Rangkaian rangkaian mimpi dan wangsit itulah yang kemudian menuntunnya bersama pamannya, Mangkubumi, pada Kamis, 21 Juli 1825, tiba di Selarong dan di dekat gua tempatnya bermeditasi membangun patokan perang (Carey, 2008: 602).

Saat itu sejumlah persiapan telah dibuat untuk memobilisasi kaum tani dan para pelayan sang pangeran untuk berperang. Demikianlah, pada akhir Juli dan awal Agustus 1825, pasukan bersenjata dari desa-desa di sekitar Yogyakarta berjalan ke arah Selarong untuk menerima perintah dari Pangeran Diponegoro dan bergegas pergi untuk melaksanakan instruksi (Carey, 2008: 606-607).

 

*Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM).