Oleh. Wily Ariwiguna

Mengapa pendidikan (formal) menjadi sangat mahal sekarang? Apakah itu tandanya pendidikan tidak lagi ramah pada orang miskin? Apakah artinya negara tidak mampu memastikan hak rakyat atas pendidikan yang layak? Apakah artinya kemiskinan dan kebodohan akan terus bersaudara dan berikrar erat?

Ataukah sebenarnya selama ini kita yang tidak melihat pendidikan seluas makna dirinya yang sebenar? Bahwa pendidikan itu “mahal” namun tidak seharusnya berbayar. Nilai pendidikan adalah tidak terhingga, oleh karena itu harus diupayakan, benar. Hasil pendidikan adalah tidak terukur, oleh karena itu harus diadakan, benar. Dampak pendidikan adalah menghidupkan, oleh karena itu harus disungguhkan, benar.

Jika orang tua “mampu” mengirimkan anak pada (lembaga) pendidikan yang berbayar, maka silahkan. Namun tidak berarti orang tua terlepas dari tanggung jawab mendidik anak. Jika orang tua “hanya mampu” mendidik anak di rumah sendiri, maka silahkan. Karena itu tidak melanggar hak anak, dan juga jelas merupakan tanggung jawab orang tua.

Kalaupun pendidikan (formal) menjadi (sangat) mahal, maka biarkan saja. Anak masih bisa dididik sendiri di rumah. Jika pendidikan (formal) hendak menggeliat sebagai industri di mana anak-anak menjadi komoditas, dan pengajar menjadi faktor produksi, maka biarkan saja.

Pada akhirnya industri akan dibentuk oleh pasar, dan selama pasar mau terjebak dengan gagasan anak mengakhiri jenjang pendidikan harus diakhiri dengan pesta seremonial wisuda dan perayaan hedonis rekreasi maka selama itu pula industri akan digdaya dengan kezhaliman yang nyata. Belum lagi instrumen pembelajaran yang diada-adakan padahal anak membutuhkan ilmu sesuai usia, ketimbang ribuan lembaran kerja atau buku yang tiada jelas guna.

Namun bila pasar cerdas dan berdaya, maka industri yang akan mengikuti. Menjaga silaturrahim dengan pengajar dan (lembaga) pendidikan yang setia pada fitrah pendidikan adalah lebih utama. Tidak terjebak pada pemikiran bahwa terdidik selalu harus bergelar. Atau bahkan lebih bahaya, bahwa bergelar pasti terdidik.

Tidak menyerah saat belum ada kesempatan memberi anak seragam sekolah, karena anak memiliki lebih banyak kemuliaan dibanding balutan seragam yang perlu pengakuan.Tidak takut belajar lebih banyak, terutama bagi para Ibu, karena beliau-beliaulah (selalu) pendidik terbaik bagi anak-anaknya. Tidak abai dalam mendampingi anak bertumbuh kembang, terutama bagi para Ayah, karena beliau-beliaulah (selalu) pengelola pendidikan terbaik bagi istri dan anak-anaknya.

Kebaikan membutuhkan upaya, benar. Tapi tidak benar bahwa semua upaya harus dalam bentuk “biaya”. Maka mewujudkan pendidikan yang mahal adalah sebuah keharusan, namun tidak berarti semua yang mahal harus berbayar. Karena lagi-lagi, pendidikan bukan produk dan proses transaksional. Sesungguhnya pendidikan adalah hak bangsa, yang mana artiya pendidikan menjadi tanggung jawab bangsa, tidak hanya negara dan (lembaga) pendidikan (formal) saja. Pendidikan pada asalnya dan akhirnya adalah kewajiban orang tua, serta diri yang beranjak dan sudah dewasa.

Sebuah pemikiran sederhana untuk mengingat hari yang ditetapkan sebagai hari pendidikan nasional.