Oleh. Supardi Kafha
Prof. Djoko Saryono adalah seorang guru besar yang radikal. Dalam obrolan di Energi Literasi dari Rumah #4, Jumat 30 April 2021, ia mengkritisi draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035. Ia menunjukkan dokumen yang dikeluarkan oleh Kemendikbud dan laporan kerja Komisi X DPR RI. Menyimak paparan guru besar kesusastraan Universitas Negeri Malang itu, sungguh mengasyikkan, tapi sekaligus menyesakkan.
Betapa tidak! Pertama, ia langsung menohok bahwa harus jelas di mana Peta Jalan Pendidikan Indonesia? Apakah peta ini murni prerogatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sehingga menafikan pendidikan yang diusung oleh kementerian lain? Ataukah peta ini memang diperuntukkan bagi kemaslahatan rakyat Indonesia?
Kedua, menanggapi pertanyaan di manakah posisi Pendidikan Masyarakat dan Literasi dalam peta tersebut, Ia tegas menjawab: masih terpinggirkan.
Prof. Djoko mencermati dokumen draft Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 belum menempatkan secara layak Pendidikan Masyarakat dan Literasi. Padahal jelas, di tengah-tengah masyarakat, para pegiat TBM benar-benar menggerakkan literasi. Ada penyelenggaraan pendidikan masyarakat di situ, terlebih kini, di era pandemi: pendidikan justru bertumpu kepada Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Keluarga. Pendidikan Sekolah serasa lumpuh.
“Jadi, tidak masuk akal, ketika pandemi mengajari kita, mengingatkan kita, betapa Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Keluarga telah menjadi bagian terhormat dalam sistem Pendidikan, tapi dalam dokumen itu tetap saja menomorsatukan Pendidikan Sekolah.” ungkap Prof. Djoko.
Aneh. Pandemi telah mengajarkan bahwa akhirnya Pendidikan Sekolah pun tergopoh-gopoh. Dan, seharusnya pemangku kebijakan itu sigap, bahwa ada keseimbangan porsi antara Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Keluarga dengan Pendidikan Sekolah. Bahwa pesantren, sebagai salah satu wujud Pendidikan Masyarakat, seyogianya mendapat tempat yang sama seru dalam perbincangan di Peta Jalan Pendidikan Indonesia. Bukan sebagai anak tiri, yang luput dari perhatian.
Lebih jelas, Prof. Djoko mengurai bahwa secara umum peta jalan adalah petunjuk atau panduan arah menuju tujuan. Dan, secara khusus peta itu merupakan dokumen yang memapar rencana dengan jelas dan rinci, bagaimana strategi dilakukan dan menjadi acuan dalam menjalankan program.
Namun, ternyata hanya ada dua dokumen yang bisa kita lacak terkait peta jalan pendidikan Indonesia. Dan, sebagai pegiat tentu kita mafhum bahwa literasi itu berpangkal pada aksara, berpangkal pada tulisan, dan tulisan tersebut terdokumentasi, sehingga kecermatan terhadap dokumen adalah prasyarat. Prof. Djoko menandaskani bahwa pertanyaan “Di mana Peta Jalan Pendidikan 2020-2035” adalah pertanyaan mana dokumen yang menjelaskan, yang memerinci, yang memuat strategi pendidikan.
“Sampai hari ini, kita itu belum memiliki Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang resmi.” tutur sang guru besar.
Ia kembali menegaskan, “Saya tidak menemukan suatu perbincangan yang seru, yang dahsyat, yang melibatkan seluas-luasnya para pemangku kepentingan pendidikan. Yang ramai dibicarakan adalah tiadanya frasa agama dan Pancasila. Tapi selain dari itu “selain umat kemendikbud” kurang gairah untuk berpartisipasi.”
Padahal, yang akan kita susun itu peta Pendidikan Indonesia versi Kemendikbud atau versi Indonesia secara keseluruhan? Dan, Prof. Djoko mengajak kita merenunginya. Betapa carut marut pendidikan di negeri ini tak kunjung selesai. Ia mengendus adanya kegairahan yang belum utuh. Ia pun meminta Forum TBM bisa menginisiasi untuk mengajak semua saja, tidak hanya yang berafiliasi dengan kemendikbud, bersegera menjadi bagian dari proses penyusunan peta jalan pendidikan.
Sebuah peta jalan, yang memuat kejelasan tujuan. Kejelasan arah dan jalur-jalur untuk mencapai tujuan. Juga kejelasan siapa yang menumpang. “Nah, sejauh dokumen yang saya cermati, saya tidak menemu konten peta jalan, atau barang bawaan yang harus dibawa untuk mencapai tujuan.” sengit Prof. Djoko.
Sebetulnya, tujuan yang tertera memang agak jelas, yakni terwujudnya pelajar Pancasila, tapi arahnya masih samar. Dokumen masih terjebak menganalisa tren ke depan, tren global. Sehingga, sekali lagi belum memberi arah jalan, bahwa kita harus ke mana, dan jalur-jalurnya apa. Dan, dari berpuluh-puluh halaman dokumen itu kita tidak menemukan diksi “Pendidikan Masyarakat” dan “Literasi”. Memang tersebut “literasi digital” tapi hanya sebagai keterangan bukan sebagai pokok pendidikan.
Berikut, lagi-lagi Prof. Djoko mesti menelan kecewa karena tak menemu rekaan masa depan dalam dua dokumen tersebut, selain hanya glorifikasi revolusi 4.0, eforia digitalisasi, internetisasi, dan seterusnya. Lebih-lebih, gambaran manusia seperti apa yang dibayangkan, hanya secara normatif disebut pelajar Pancasila, bukan manusia Pancasila. Tidak jelas pula, apakah pelajar Pancasila itu pelajar yang literat.
Sungguh, dokumen yang ada itu miskin imajinasi tentang masa depan Indonesia. Dokumen hanya menguliti keadaan Indonesia masa kini, itu pun dalam perspektif urban/kota. Dokumen tidak memberi ruang bagi aktivis masyarakat menggiatkan pendidikan masyarakat. Tiada frasa yang menunjukkan betapa literasi itu penting, teramat penting. Singkatnya, bagi Prof. Djoko, Pendidikan Masyarakat dan Literasi masih sebagai pemain cadangan, bahkan sekadar penonton. Pendidikan Masyarakat dan Literasi seolah belum layak untuk turut bermain bersama dengan Pendidikan Sekolah, untuk memenangkan Pendidikan Indonesia.