Oleh. Musyawir*
Penulis: Ach. Dhofir Zuhry
Penerbit: PT Alex Media Komputindo, Kompas-Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta 2018
718101037 ISBN 978-602-04-7705-3
Cetakan pertama: Juli 2018
Cetakan kedua: Maret 2019
Sebuah pengantar yang tegas dari Ach. Dhofir Zuhry (ADZ) “sebelum belajar tentang tuhan dan agama, terlebih dahulu belajar tentang manusia. Sehingga jika suatu saat nanti anda membela tuhan dan agama, anda tidak lupa bahwa anda adalah manusia.
Garis besar dari buku ini dibagi dalam beberapa kolom bahasan yang bahasanya sangat gamblang dan mudah dicerna. Pada bagian pertama ada pengantar buku yang menyoal ‘peradaban sarung’ oleh Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, MA (Hons), Ph.D. Selanjutnya bagian bagian penting dari pemikiran ADZ;
Bagian VENI, VIDI, SANTRI
Sangat sulit dibayangkan apa yang terjadi jika santri tidak memahami kediriannya bahkan kehadirannya dalam dunia yang disebut pondok pesantren. Namun meski demikian dia akan berguna setidaknya pada dirinya sendiri karena tahu bahwa dulu “sewaktu di pondok pesantren” dia tidak benar-benar mengindahkan para Asatidz untuk menjadi mandiri dan kenal pada diri sendiri.
“Masa muda adalah masa yang berapi-api” Hj Roma Irama. Api bila tidak dapat dikendalikan dia akan membahayakan dirinya sendiri dan terlebih orang lain. Maka sangat beruntung mereka yang tumbuh melewati masa remaja menuju dewasa yang itu berarti disebut orang “muda” terjaga, terawasi, terlatih oleh dunia pondok pesantren. Benar ada anggapan bahwa mereka “yang muda” ada dalam fase pencarian jati diri. Maka sangat relevan kita harus belajar mengenal diri atau mengenal manusia.
Dibagian VENI, VIDI, SANTRI hal itu dibuka oleh ADZ tentang apa filosofi santri, panca kesadaran santri, santri dan modernitas, rahasia belajar santri, trilogi santri, keberanian santri, dan niat santri.
Hari hari ini sangat ramai diberita dan harian surat kabar bahkan di sosial media tentang citra pondok pesantren yang rusak karena tindakan asusila juga kriminalitas. Namun meski ada sikap skeptis dan pertanyaan pertanyaan mendasar yang sifatnya tidak menghakimi namun mencari tahu kebenaran yang terjadi.
Bagian PEMIMPIN ORKESTRA
Peradaban sarung bukan hanya tentang santri, tapi KIAI. Yah, mereka yang mengasuh pondok pesantren juga adalah santri (para KIAI, Asatidza). Ini yang disebut “santri: sampai kapanpun, dimanapun, jabatan apapun, dia tetap santri. “Santri” hingga akhir hayat kata ADZ, tetap disebut santri.
Sangat terbayang ketika mereka para KIAI, Asatidza yang mengasuh pondok pesantren adalah lahir dari rahim pondok pesantren, mereka adalah santri tulen maka besar kemungkinan tradisi pesantren akan terus ada dan hidup mengakar untuk setiap generasi.
Pada bagian ini ADZ mengibaratkan para KIAI, Asatidza, dan sekumpulan santri senior yang mengabdikan dirinya pada pondok pesantren dan menjadi corong pembina umat diibaratkan seperti pemimpin orkestra. Posisi berdirinya yakni menghadap umat dan membelakangi penonton. Fokus mereka ada pada pekerjaan membina umat. Melepas hasrat diri pada segala kemapanan yang membuat mereka terbawa arus, menjaga diri dari pusaran politik pragmatis, dan menjaga sikap zuhud yang terus berfokus pada poksi pembinaan umat. Mereka menjadi martir bagi kedzoliman, taat pada nasehat KIAI sepuh, berkiblat pada kearifbijaksanaan yang sudah menjadi dogma dalam pondok pesantren dan mempertahankan khazanah keilmuan yang mendasar pada akhlakul karimah.
Bagian CITA RASA PESANTREN
Ada kaitan yang amat sangat terang antara santri dan KIAI/para Asatidza dalam sebuah ruang yang disebut pesantren. Disini ADZ mengulas asal muasal nama PESANTREN bahkan keberadaan pondok pesantren di nusantara sudah ada sejak jaman kapan. Hal ini jadi sangat memperkuat bahwa lembaga pendidikan sejenis pondok pesantren menjadi landasan sebuah sudut pandang ketika menyoal pendidikan dan segala dinamikanya.
ADZ membuka sebuah informasi yang arif tentang CITA RASA PESANTREN yang sebenarnya mesti kita renungkan kembali. Dia mengajak kita melihat semua dampak dari apa yang sudah terjadi dengan keputusan para pengasuh dan mungkin beberapa pendiri pondok pesantren di abad 21 yang sangat syarat pada keterbukaan dan globalisasi.
ADZ membeberkan sudut pandangnya tentang pesantren dari kilasan narasi yang amat sangat persuasif. Misal cerita tentang “cangkir dari pesantren”, bagaimana semestinya adab santri terhadap guru dan semua sikap tabah, sabar yang harus menjadi baju para santri untuk menerima ilmu. Selayaknya timba yang mesti mendatangi air, bukan sebaliknya. Juga para guru yang semestinya tidak pernah absen untuk menata jiwa spritualisme.
22 Oktober 1945 lahir fatwa jihad oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari yang menandakan eksistensi paling tegas tentang santri dan pesantren dalam pengusiran penjajah. Yang paling dirasakan adalah jihad melawan kedzaliman.
Selanjutnya dalam masa-masa pembangunan SDM setelah kemerdekaan “bimbinglah umat dengan baik, dan jika mereka tidak mau mengikutimu, janganlah engkau bertengkar dengan mereka. Sebab jika engkau melakukan hal itu, engkau seperti membangun istana dengan menghancurkan seluruh kota” KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947).
Pada bagian ini juga ADZ menuliskan tentang beberapa nama serupa yang menjadi cikal bakal pondok pesantren misal; Aceh menyebutnya Menasah & Dayah. Jawa-Banten menyebutnya Zawiyah, Surau, Langgar yang menjadi ruang berkumpul mengaji dan mengkaji kitab kuning. Beberapa catatan sejarah menyebut pesantren di adopsi dari India, Arab, dan Afrika. Namun secara umum di Nusantara, rumah para KIAI menjadi pendopo utama dimana tradisi santri itu bermula. Pada akhirnya kita kembali mengingat dan merekonstruksi dengan sempurna “pesantren” yang sejak Masa Nusantara sudah berkembang bahkan memiliki nama nama yang sangat khas kedaerahannya. Meski banyak pendapat yang juga bersandar secara historia tentang asal muasal pesantren pada hakikatnya keteladanan akhlak menjadi sumbu utama.
Bagian MENJADI SANTRI, MENJADI INDONESIA
Setelah membicarakan cikal bakal pesantren, eksistensi pesantren dan sepak terjang santri dalam dan luar pondok pesantren, kini tiba dibagian ke empat pada bahasan buku “Peradaban Sarung” kritik terhadap santri, terhadap para cendikiawan, terhadap generasi muda yang nyaris hilang kebudayaan suku bangsanya, terkikisnya nasionalisme suku bangsanya, dan gensi terhadap peradaban kebudayaan di Nusantara, di Indonesia. Mereka yang selalu tergiur pada peradaban asing dan tergila-gila hidup dan berkembang di luar negeri, anehnya malah bangga dengan budaya asing.
Dari pesantren kita menjadi santri yang nasionalisme, toleransialisme, demokratisme, humanisme, dan isme-isme lainnya yang sangat menjaga hubungan antar sesama manusia dan tuhan. Memahami manusia berarti memahami penciptanya.
“Pesan KIAI kepada santri” juga menjadi narasi yang kuat sebagai dasar nasehat yang tak terlupakan. ADZ sengaja menaruh opini ini pada bagian keempat yang mendekati penutup dari buku ini. Baca dan resapi bagian ini, sebab ada pesan yang kuat buat para santri (generasi pembelajar sepanjang hayat). Semoga kita menjadi teladan sebagai santri.
Apabila setiap agama memiliki ritusnya, maka shalat adalah salah satu ritual khusus dari mereka yang muslim. Santri diajak dan diajarkan shalat. Intisari dari kehidupan, makna paling dalam dari seorang hamba saat menjawab panggilan Tuhannya. Menjadi santri, menjadi Indonesia adalah santri yang belajar shalat. Dalam ritus itu dua hal penting dalam putaran hidup menyatu, yakni hubungan kepada sesama, sesuku, sebangsa, setanah air (hablum minannas) dan hubungan kepada pencipta (hablum minallah). Hikmah yang diambil dari sini adalah menyeimbangkan urusan spritualitas dan sosialitas. Esensialitas jiwa santri dan eksistensialitas kedirian santri dalam bersuku-bangsa dan bertanah air.
Bagian menariknya justru hadir di halaman 235. Disini terdengar semacam kesimpulan paling sadar dari pertanyaan siapa santri? Seperti apa pesantren membangun jiwa santri, mencetak raga santri, menjadi sesuatu yang sangat istimewa. “…belajar dengan cara diasramakan.” Hal 235. Peradaban sarung.
*Pegiat Literasi