Budaya membaca kritis dan menulis etis seharusnya menjadi kebiasaan orang yang sudah terpapar literasi, apalagi sudah menjadi pendiri, pembina, penggerak gerakan literasi. Teringat ungkapan Fisher (1993) bahwa literasi merupakan kegiatan MEMBACA-BERPIKIR-MENULIS. Artinya, “kaum literat” wajib mengajak siapa pun untuk membaca dan berpikir secara kritis. Dan, apa yang dibaca harus dipertimbangkan dan lakukan konfirmasi kevalidan kebenarannya. Kata kuncinya, disiplin verifikasi, dan melewati tiga saringan ketat: apakah BENAR, apakah BAIK, apakah BERMANFAAT SEBELUM DISEBARKAN.
Apalagi terhadap informasi di media sosial yang supertergopoh-gopoh dan jumlahnya luar biasa dan membuat geleng kepala tiada henti. Bayangkan, di tahun 2010 saja, menurut data, cuitan twitter “warganet”, tak kurang dari 70 JUTA CUITAN PER HARI dan youtube menerima 50.000 JAM UNGGAHAN VIDEO SETIAP HARI.
Di sinilah literasi damai—ada yang menyebutnya literasi cinta damai—perlu dikedepankan dalam membuat dan membagikan informasi, setelah membacanya. Juga dalam hal tulis-menulis. Harus punya sense of peace. Ujaran kebencian harus dihindari. Bahasa tuduh tak sedemikian mudah untuk ditebar bahkan wajib dihindari apalagi yang mengarah pada fitnah, permusuhan dan perpecahan.
Kaum literat mendapat beban tak ringan di pundaknya. Tak sekadar bawa buku, letakkan, lalu siapa pun silakan datang membaca dan kemudian pergi. Bukan tak penting, karena itu adalah dua dari 6 literasi dasar yang harus dikuasai, yakni membaca-menulis, literasi numerasi/berhitung, selain literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya & kewargaan.
Tetapi, teman-teman penebar virus literasi, baik itu lewat perpustakaan sekolah, perpustakaan desa (yang dana desanya sedang ‘ramai diincar’—dalam arti positif—untuk kegiatan literasi), taman-taman bacaan masyarakat, pustaka berjalan, kegiatan filantropis literasi, dan berbagai gerakan literasi dengan beragam wujud, moda, dan aktivitasnya yang sudah berjalan puluhan tahun, harus juga memperkenalkan dan menerapkan kepada sasarannya: pola membaca-berpikir-menulis, agar terbentuk apa yang disebut sebagai: karakter berpikir tingkat tinggi (high order thinking).
Tradisi baca buku menjadi salah satu kuncinya untuk mendapatkan kedalaman, keutuhan informasi, dan ketidaktergopoh-gopohan dalam mengkonsumsi informasi, begitu Ignatius Haryanto merumuskannya.
Di sisi lain, kita digempur oleh “wabah saracen”, karena pemerintah mulai bertindak tegas terhadap siapa pun yang diduga menebar kebencian, kebohongan dan mempabrikasi hoaks dengan dalih apa pun.
Tadinya saya berpikir, “orang kurang pintarlah” yang akan mempabrikasi hoaks. Ternyata dugaan saya salah. Kalau mereka tidak pintar, mana terpikir untuk mempabrikasi hoaks, membisniskan berita bohong, dan bahkan menjadikan “gerakan literasi” sebagai sarana untuk menohok istana, dan atau sebaliknya, memuja-muji istana dengan harapan juga bisa dilirik hingga kelak bisa menjadi bagian dari warga istana atau bahkan mendirikan istana buat dirinya sendiri dengan memanfaatkan orang lain. Tak peduli yang disebarkannya berita bohong atau mempabrikasi hoaks sedemikian hingga untuk mencapai tujuannya.
Tradisi baca buku menjadi salah satu kuncinya untuk mendapatkan kedalaman, keutuhan informasi, dan ketidaktergopoh-gopohan dalam mengkonsumsi informasi, begitu Ignatius Haryanto merumuskannya.
Di sisi lain, kita digempur oleh “wabah saracen”, karena pemerintah mulai bertindak tegas terhadap siapa pun yang diduga menebar kebencian, kebohongan dan mempabrikasi hoaks dengan dalih apa pun.
Tadinya saya berpikir, “orang kurang pintarlah” yang akan mempabrikasi hoaks. Ternyata dugaan saya salah. Kalau mereka tidak pintar, mana terpikir untuk mempabrikasi hoaks, membisniskan berita bohong, dan bahkan menjadikan “gerakan literasi” sebagai sarana untuk menohok istana, dan atau sebaliknya, memuja-muji istana dengan harapan juga bisa dilirik hingga kelak bisa menjadi bagian dari warga istana atau bahkan mendirikan istana buat dirinya sendiri dengan memanfaatkan orang lain. Tak peduli yang disebarkannya berita bohong atau mempabrikasi hoaks sedemikian hingga untuk mencapai tujuannya.
Saya jadi teringat 4 kompetensi dasar yang harus “membopong” enam literasi dasar dan dikenal dengan 4C itu, puncaknya adalah CRITICAL THINKING, setelah COMMUNICATION, COLLABORATION & CREATIVITY. Selain tentu puncaknya: (peningkatan) KUALITAS KARAKTER.
Saya percaya, orang-orang makin kritis, dan jangan menghapus orang-orang kritis dalam pertemanan anda. Ingat, kritis, bukan apatis apalagi cuma bisa sinis…
#relawanliterasi
#sahabatliterasi
#forumtbm