Mas Khotib,kapan nguripi desane dewek? Aja desane wong liya bae sing duripi.”

(Mas Khotib, kapan menghidupkan desa kita? Jangan desa orang lain yang dihidupkan.”)

Kata tersebut terlontar dari salah satu tetangga saya di kampung halaman. Sebenarnya saya bingung dan merasa bersalah. Ada betulnya kata tersebut diri saya. Selama ini saya belum melakukan apa-apa untuk desa kelahiran saya. Namun malah saya ikut kegiatan belajar di Wadas Kelir. Selama ini saya belajar banyak di Wadas Kelir dan membangun mimpi bersama. Salah satu tempat yang tak mungkin bisa terlupakan.

Saya hanya terdiam di depan rumah. Ditemani sebuah buku dan kopi hangat untuk untuk berfikir. Angin semilir hanya lewat mendinginkan badan.

Mas Khotib, gambare apik. Ngampil angsal mboten?

(“Mas Khotib, gambarnya bagus. Pinjam boleh tidak?”)

Kata salah seorang anak tiba-tiba berada di samping saya.

Saya kaget. Mulai kapan ini anak berada di sini. Anak ini lucu sekali. Dia memerhatikan buku yang sedang saya baca. Buku dongeng penuh dengan gambar-gambar binatang.

Kuajak mereka duduk melingkar. Ku baca setiap lembarnya. Tak jarang memperagakan setiap gambarnya. Tertawa pun lepas dari bibir mereka. Saya pun senang dengan hal seperti ini. Mereka sangat antusias.

Dalam membacakan perlu adanya totalitas. Tak boleh malu untuk memperagakan yang dibaca. Seperti halnya penghayatan dan menirukan suara hewan. Dengan gila-gilaan bersama-sama.

“Mas Khotib, ngenjang maos buku malih nggih”

(“Mas Khotib, besok baca buku lagi yah”)

Ternyata mereka ketagihan. Mereka meminta kembali untuk dibacakan buku. Namun apalah daya. Saya harus berangkat ke Purwokerto kembali. Sedih juga meninggalkan mereka di saat mereka sedang menyukai membaca buku.

“Aduh, Mas Khotib mengkin pangkat malih.”

(“Aduh, Mas Khotib nanti berangkat lagi.”)

Mereka tampak manyun. Kuusahakan untuk meghibur mereka dengan bermain. Seperti halnya yang saya lakukan di Wadas Kelir. Saya menerapkan ilmu yang saya dapat di Wadas Kelir.

Saya jadi ingat dengan kata Pak Guru. Membangun negeri dari kampung sendiri. Mungkin ini yang di maksud Pak Guru. Sudah saatnya berbagi di kampung halaman. Walaupun belum punya Taman Bacaan sendiri. Itu bukan halangan untuk menyebarkan virus literasi kepada anak-anak. Melalui dari hal yang bisa lakukan dengan membacakan buku sudah menjadi bagian menyebarkan virus literasi untuk anak negeri tercinta.

Mulai hal itu setiap mudik kubawakan buku ke kampung halaman. Sudah terbiasa setiap pulang mereka berkumpul. Membacakan buku sambil belajar pelajar sekolah.**