Oleh. Atep Kurnia*

Kewajiban membayar zakat fitrah menjelang Hari Raya Idul Fitri direkam oleh Jonathan Rigg dalam kamus yang diterbitkannya pada tahun 1862 (A Dictionary of the Sunda Language of Java, 1862: 377).

Pada lema “Pitrah”, Jonathan menulis “a present made by every soul to the priest on the day of Labaran. This must consist of a Kulak of rice, of which about three Kulaks go to one ordinary gantang. Man, woman and child must each present this offering, which is thought very obligatory” (persembahan yang diberikan oleh setiap jiwa kepada pemuka agama pada hari lebaran. Ini harus terdiri atas satu kulak beras, di mana sekitar tiga kulak itu sama dengan satu gantang biasa. Laki-laki, perempuan, dan anak masing-masing harus memberikan persembahan tersebut, karena sangat wajib sifatnya).

Kulak sendiri diberi arti oleh Jonathan Rigg (1863: 232) sebagai “a measure in which the priest receives the Pitrah or Labaran dues” (takaran yang diterima pemuka agama untuk zakat fitrah atau uang pandu lebaran) dan “This measure is esclusively confined to this operation; about three Kulak’s are one Gantang” (takaran ini secara ekslusif terikat pada operasi tersebut; sekitar tiga kulak itu sama dengan satu gantang). Dan tentang gantang dikatakan  “about ten gantangs of rice weigh one pikul” (sekitar sepuluh gantang beras beratnya sama dengan satu pikul, 1862: 122).

Gambaran lain mengenai zakat fitrah dalam pengertian Sunda diberikan oleh R. Satjadibrata (Kamus Basa Sunda, 1954: 306). Kata Satjadibrata, “minangka padjeg diri, dibajarna waktu Lebaran Puasa, hidji djelema kudu majar

ku beas saemud (mud Ar.: minangka takeran beas, reana sarua djeung beas nu bisa tjitjing dina dua leungeun nu diadekkeun tina dampal leungeun nepi kana siku)” (sebagai pajak diri, yang dibayarkan pada waktu lebaran puasa, satu orang harus membayar beras sebanyak satu emud [mud dari bahasa Arab, yaitu takaran beras yang banyaknya sama dengan beras yang bisa terangkum pada dua tangan berlekatan dari telapak tangan hingga siku).

Sebagai tambahan, selain untuk dirinya sendiri, seorang laki-laki juga punya kewajiban untuk “mitrahan” yaitu membayar zakat fitrah bagi istri dan anaknya yang belum dewasa (“Djaba ti diri sorangan, lalaki mah kudu mitrahan [majar pitrah] pamadjikan djeung anak nu tatjan baleg”). Sementara DS (“Tanggal sabaraha powe Lebaran?” dalam Sipatahoenan, 28 November 1935) menyatakan bahwa menurut adat kebiasaan, “pitrah” merupakan salah satu dari enam keperluan untuk menyambut lebaran.

Dulu menurut Haji Hasan Moestapa (Bab Adat2 Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta, 1913: 130) banyak orang yang berpuasa dan kurang mengerti agama, mereka menganggap bahwa puasa, terawih, menurut perintah lebai. Kita hanya membayar zakat fitrah, pergi ke makam, keramas. Kalau orang yang mampu, pergi ke makam berdandan dengan pakaian yang bagus-bagus. Fitrah itu harus dikaitkan dengan Puasa, walaupun berpuasa hanya pada waktu

permulaan dan terakhir saja (terjemahan M. Maryati Sastrawijaya, Adat Istiadat Sunda, 2010: 196).

Intinya Hasan Mustapa menganggap bahwa “pitrah” dan “mitrahan” merupakan bagian dari yang dilakukan orang yang beragama (Islam) dan ramainya bukan oleh orang yang berpuasa, melainkan oleh adat bulan Puasa (“Lalampahan tata tjara boelan Poeasa bagian adat sarerea, noe matak karamean pepestaan, malem2, pitrah, mitrahan, midang lebaran, silatoelrahmi, sasalaman, nadran ka astana2 ramena lain koe noe poeasa, tapi koe adat boelan Poeasa”, 1913: 130).

Itu sebabnya, Haji Hasan Mustapa menyebutkan adanya tradisi menabuh beduk yang ditujukan secara khusus sebagai tanda dimulainya memberikan zakat fitrah. Tabuhan beduk tersebut disebut sebagai “doelag pitrah”. Katanya (1913: 130-131), “Sanggeus tepi kana tanggal 30 boelan Poeasa, doer deui doelag, lilana kira sadjam, saperti doelag noe biasa. Doelagna isoek2 terkadang aja noe doelag lohor. Niatna ngabedjakeun penting engke tanggal hidji Sawal, walilat lebaran. Tapi koe sabab ngaranna basa Arab: Idil pitri, lebaran boeka poeasa, sarta aja roekoen Islam wadjib djakat tina banda atawa tina badan, toer geus djadi adat koeat toetoep wiwirang oerang Islam, aja pitrah, koe sabab eta doelagna ge katelah doelag pitrah, saroepa bedoeg parentah mawa pitrah”.

Artinya, setelah sampai tanggal 30 Puasa, dibunyikan lagi tabuh, lamanya kira-kira satu jam seperti tabuh yang biasa, terkadang tabuh ini dibunyikan pagi-pagi atau pada waktu shalat duhur. Maksudnya memberitahukan nanti malam tanggal satu Syawal, walilat lebaran. Akan tetapi, karena namanya dalam bahasa Arab Idul Fitri, lebaran berbuka puasa, serta dalam rukun Islam wajib zakat harta atau zakat badan, dan sudah menjadi adat yang kuat sebagai orang Islam, hams fitrah, karena itu tabuhnya disebut tabuh fitrah, yaitu memerintahkan hams membayar zakat fitrah (terjemahan M. Maryati Sastrawijaya, 2010: 197).

Hal menarik lainnya yang disampaikan Hasan Mustapa (“Mertelakeun Basa jeung Istilahna” dalam Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana, 1989: 381) adalah fakta bahwa dulu di Priangan pernah terjadi geger karena terjadi saling rebutan zakat fitrah dari masyarakat, padahal di mana pun tidak ada yang terjadi demikian, sebab tidak ada kebiasan untuk menyerahkan zakat fitrah kepada negara (“Di Priangan guyur marebutkeun jakat pitrah, ti somahan. Di mana-mana mah euweuh, sabab tara kalampah, make pitrah ka nagara”).

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang