Oleh. Atep Kurnia*
Di masa lalu, setiap tanggal 30 Ramadan atau Bulan Puasa, dikenal oleh orang Sunda sebagai “poean meuncit” atau hari menyembelih hewan. Hal ini antara lain digambarkan dalam artikel berjudul “Lebaran” dalam Poesaka Soenda No. 12, (Juni 1924) yang kemudian dimuat ulang dalam Sipatahoenan edisi 4 dan 6 Januari 1934.
“Piisoekaneun lebaran, tanggal 30 Poeasa, diseboet powean meuntjit. Oenggal imah koedoe bae peupeuntjitan, apesna pisan hajam, noe baleunghar mah embe radjeun moending atawa sapi; komo ari di kaboepaten mah” (Sehari sebelum lebaran, tanggal 30 Ramadan, disebut hari menyembelih. Setiap rumah harus menyembelih, paling tidak menyembelih ayam. Bagi orang yang berada menyembelih kambing, kadang-kadang kerbau atau sapi. Apalagi di kabupaten). Demikian diterangkan dalam Poesaka Soenda.
Itu sebabnya ada peribahasa Sunda yang berbunyi: “Kokoro njoso, malarat rosa, lebaran teu meuntjit hajam” (Mas Natawisastra, Boekoe Batjaan 100 Paribasa djeung Babasan, Vol. 5, 1915). Menurut Cik Hasan Bisri, Yeti Heryati, dan Eva Rufaidah (Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda, 2005: 7), peribahasa tersebut berarti “Sangat miskin, sangat melarat, sehingga pada hari Lebaran tak mampu menyembelih ayam”.
Lebih lanjut, Cik Hasan Basri dan kawan-kawan menyatakan, “Dalam masyarakat Sunda, pada hari Lebaran orang biasanya mengadakan selamatan dengan memasak makanan yang lebih dari biasa. Paling tidak memotong ayam. Tapi orang yang dimaksud karena melaratnya tak mampu menyembelih ayam sekalipun , sehingga tak dapat mengantarkan kiriman Lebaran kepada orang tua atau tetangganya”.
Pada praktiknya, di daerah Banten di masa lalu, hewan favorit yang akan disebembelih untuk menyambut lebaran Idul Fitri adalah kerbau. Hal ini antara lain digambarkan oleh M. Darmawidjaja melalui bukunya Sondari Panilik Loeklik (1919: 13). Darmawidjaja menjelaskan “Sarta aja pasal deui, beunang diseboet kiamat, kiamat moending sawareh, kabeuki ti baheulana, nja panjakit sasalad, malah Banten anoe mashoer, dina lebah rek lebaran, mashoer beuki meuntjit moending, moeaskeun mentas poeasa” (serta ada pasal lagi, yang dapat disebut kiamat kecil, yaitu kiamat sebagian kerbau, yang merupakan lauk favorit sejak dulu, karena terkena penyakit wabah, bahkan di Banten yang termasyhur, ketika hendak lebaran, termasyhur suka menyembelih kerbau, untuk memuaskan setelah puasa).
Sementara Djanaka dan M. Arif dari Kampung Ciwaru, Desa Cijulang, menulis surat terbuka kepada camat Onderdistrik Cijulang, Distrik Cijulang, berjudul “Menta Pangadilan” dalam Sipatahoenan edisi 21 Desember 1938. Mereka berdua antara lain menulis, “Moeng dina sabadana lebaran kamari kinten2 doea dinten lamina, djisim abdi kenging katerangan ti hidji abdi oerang kampoeng Tjidjoelang kota, sinareng jakin kateranganana, pribadosna, njarios kieu ka djisim abdi, dina waktos bade lebaran poeasa kamari di kampoeng Tjikaler, hidji abdi nami poen Soeanta parantos ngadjalankeun motong moending bikang hideung atjan aja antingna sinareng aja keneh harep anakan”.
Artinya, hanya setelah lebaran kemarin, kira-kira dua hari lamanya, saya mendapatkan keterangan dari seorang penduduk orang Cijulang kota, dan yakin pada keterangannya, pada pribadinya, yang mengatakan kepada saya, pada waktu akan lebaran puasa kemarin di Kampung Cikaler, seorang penduduk bernama Soeanta telah menyembelih kerbau betina hitam yang belum diberi anting dan masih ada harapan akan beranak lagi.
Harga seekor kerbau pada tahun 1940, menurut berita Sipatahoenan edisi Sabtu, 26 Oktober 1940 atau 24 Poeasa 1359 adalah f. 25 hingga f. 30, tetapi karena tiba pada musim kemarau yang berlangsung lama serta kekurangan pakan, harganya turun hingga menjadi f. 8 atau bahkan ada yang f. 6 (“Djeung geus tangtoe teu matak djadi heran deui, lamoen harga moending noe tadina f. 25 nepi ka f. 30 ajeuna toeroen djadi ngan f. 8 sahidjina, malah henteu koerang anoe ngadjoeal f. 6 oge”). Konteks berita tersebut adalah di Distrik Kebayoran, Pasar Minggu, dan lain-lain, di Batavia.
Padahal dalam berita sebelumnya, sebagaimana yang tercantum dalam daftar harga di “Pasar Bandoeng” (Sipatahoenan, 16 Oktober 1939 atau 2 Poeasa 1358) harga daging kerbau dan daging hewan lainnya relatif lebih tinggi. Untuk daging kerbau per setengah kilogram dipatok dengan harga f.0,25, sementara daging sapi untuk sup per setengah kilogramnya dihargai f. 0,20, setengah kilogram daging sapi yang sudah dipotong-potong sebesar f. 0,30, dan daging domba serta kambing per setengah kilogramnya sebesar f. 0,30-f. 0,35.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang