“Aku ingin punya sayap seperti kelelawar, supaya bisa terbang di atas hutan – lebih hebat dari pesawat manapun”

 

Sabine Kuegler berasal dari Jerman, saat ia berumur lima tahun, bersama kedua orang tuanya, beserta kakak dan adiknya, mereka memilih menetap di tanah Papua. Tinggal di tengah hutan terpencil di daerah orang Fayu, yang saat itu baru ditemukan. Pilihan ini diambil keluarga Sabine, sebab sang ayah menjadi misionaris untuk melayani salah satu suku di pedalaman Papua.

 

Bayangkan, rumah mereka ada di pinggiran sungai di tengah hutan, tempat Sabine kecil menghabiskan waktu bermain bersama teman – temannya, anak-anak suku Fayu, hampir setiap hari. Ketika menginjak usia 17 tahun, dirinya pindah ke Swiss dan masuk sekolah berasrama. Dari tahun 2003 ia pun akhirnya tinggal di tanah kelahirannya Jerman dan bekerja sebagai penulis. Buku pertamanya terkenal dengan judul “Jungle Child” Rinduku pada Rimba Papua. Sekarang ini, ia tinggal di daerah Munich di Jerman Selatan.

 

Buku Sabine yang berjudul “Jungle Child” menjadi pelipur lara buat saya, ketika harus berhadapan dengan kebuntuan menulis tugas akhir kuliah di akhir 2014. Saya menemukan buku ini di Gramedia Pandanaran, setelah melepas lelah pulang dari Pleburan, daerah kampus saya, tempat saya menunggu dan menyetorkan tugas akhir pada dosen pembimbing yang sabar sekaligus begitu disiplin dengan waktu. Dan, baru beberapa waktu lalu saya baru tahu, bahwa selain “Jungle Child” Sabine juga menulis buku cerita anak bersama sahabatnya bernama Cornelia. Jika “Jungle Child” merupakan sebuah novel, maka “Pohon Kelelawar” adalah buku bacaan anak bergambar.

 

Pohon Kelelawar adalah sebuah buku cerita yang ditulis ulang oleh sahabat Sabine bernama Cornelia Neudert, yang begitu tertarik dengan cerita-cerita Sabine tentang pengalamannya tinggal di rimba Papua. Jadi cerita – cerita dari Sabine ini kemudian digali melalui banyak pertanyaan oleh Cornelia, dan disusun menjadi kisah yang mewujud dalam buku “Pohon Kelelawar”.Kisah dalam buku ini menceritakan persahabatan Sabine, dan adiknya bernama Babu, keduanya berteman akrab dengan Akekaro dan Bagus, anak – anak dari suku Fayu. Suku Fayu ini, pada saat itu baru ditemukan, dan keluarga Sabine tinggal bersama mereka karena bekerja sebagai misionaris dan Ayahnya mempelajari bahasa orang Fayu.

 

Kisah bermula pada suatu hari yang terik, saat Sabine dan adiknya sedang berenang di kali depan rumah, hadir Akekaro dan Bagus dengan berita gembira. Mereka baru saja menemukan pohon yang menjadi sarang kelelawar. Tinggal di hutan membuat Sabine dan Babu belajar dari alam. Bagaimana menemukan tempat bermain yang menyenangkan di hutan, kali dan itu semua berkat bantuan Akero dan Bagus, yang mempunyai ide – ide menarik terkait bermain di hutan.

 

Sebelum memulai perjalanan, Babu agak khawatir dengan babi hutan, hewan yang cukup galak dan bisa menggigit, membuat mereka perlu selalu waspada dan siap – siap memanjat pohon dengan cepat. Ini yang mereka persiapkan sebelum perjalanan dimulai, sayangnya dalam perjalanan itu bukan babi hutan yang mereka temui, tetapi…ular piton yang besar !.

 

Ketika bertemu ular, Sabine serta Babu serasa tak siap menerima kenyataan persiapan beda dengan yang dihadapi, begitu gamang dan mulai bersiap lari. Tapi ternyata kedua anak Fayu dengan tenang, berusaha mengusir ular. Akekaro mengambil sepotong kayu dan menusuk ular itu dari samping, ular itu mendesis dan akhirnya berlalu. Akhirnya mereka bertemu juga dengan pohon sarat dengan kelelawar itu. Kelawar begitu banyak, bergelantungan rasanya indah betul. Tapi Akekaro mencium sesuatu, ia merasa hari akan hujan. Bagaimana anak – anak Fayu ini begitu menguasai pesan dari alam, Akekaro segera memberi arahan agar mereka sebaiknya berlari pulang, sebab sedikit lagi hujan deras akan datang. Benar saja, saat berlari kecil pulang, mereka diguyur huja lebat yang ternyata lewat sekelebatan saja, setelah itu pergi.

 

Dengan badan basah kuyup dan jalan yang mulai becek, mereka menuju ke rumah kembali, rumah di pinggir kali. Dalam perjalanan itu mereka menemukan pohon besar penuh dengan tali rotan, apa daya, godaan bermain begitu besar. Bagus, Akekaro, Sabine dan Babu asyik saja menghabiskan sore dengan bergelantungan di tali rotan dan jika terpeleset jatuh, mereka tertawa begitu senangnya. Pulang ke rumah, alih – alih marah, ibu malah tertawa melihat mereka yang penuh dengan lumpur hasil bermain. Ah, setelah mandi ada hidangan baju hangat dan teh panas menemani mereka.

 

Sebagai sebuah karya terjemahan, rasanya perlu disesuaikan dengan pilihan kata yang lebih pas. Sebagai contoh penggunaan kata ganti “saya” di mana – mana terasa cukup menganggu. Saya juga menemukan ada pilihan – pilihan kalimat yang rasanya bisa diperbaiki sehingga lebih nyaman dibaca, semisal “Saya juga mau lompat dari pohon itu. Saya berenang ke pinggir kali” (halaman 4) yang bisa saja dibuat langsung menjadi “Aku ingin melompat dari pohon itu dan berenang ke pinggir kali”. Walau begitu, Ini kisah yang menarik, karena kita bisa lihat bagaimana anak – anak Fayu terutama, menjadi sumber solusi dari petualangan mereka, bagaimana anak – anak memahami alam di mana mereka hidup. Dan yang terpenting, bagaimana anak – anak bisa hidup berdampingan, bermain serta menjadi kawan sejati.