Oleh. Atep Kurnia

Dalam khazanah pustaka Sunda, Bab Adat-Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta (1913) karya Penghulu Bandung H. Hasan Mustapa (1852-1930) dapat dianggap sebagai karya etnografi pertama yang disusun oleh orang Sunda sendiri.

Naskah tersebut selesai disusun Hasan Mustapa pada 4 Oktober 1910, untuk memenuhi permintaan penasihat urusan pribumi, terutama Snouck Hurgronje dan G.A. Hazeu. Naskahnya yang beraksara Pegon disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dengan kode Cod. Or. 7695 dan Mal. 2456. Sementara bukunya, setelah terbit pada 1913, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Memed Sastrahadiprawira dan R.A. Kern (Over de Gewoonten en Gebruiken der Soendaneezen, 1946) dan bahasa Indonesia oleh M. Maryati Sastrawijaya (Adat Istiadat Sunda, 1985).

Di dalamnya dimuat ihwal adat pengajaran, mengidam, menjaga orang hamil, khitanan, pernikahan, pertanian, yang ditakuti manusia, kematian, waktu yang dimuliakan, hari nahas, perbintangan, tanda-tanda, uga dan adat-adat lainnya. Khusus untuk membahas puasa, Hasan Mustapa menyajikannya dalam “Pasal ka-10: Waktoe anoe dimoeljakeun” (1913: 118).

Menurut Hasan Mustapa, bagi orang Sunda bulan Puasa merupakan bulan yang lebih dirayakan bila dibandingkan dengan bulan lainnya (“Aja deui boelan anoe diramekeun leuwih ti noe sedjen, boelan Poeasa”, 1913: 128). Pada bulan tersebut, orang Sunda menganggap hantu-hantu dan ririwa tidak akan menganggu, karena dirantai. Selain itu, pada bulan ini terlarang kawin. Bila dilakukan itu karena terpaksa, upamanya karena sudah hamil atau terburu-buru akan pergi merantau (“boelan Poeasa henteu aja ririwa, sok dirante. Djeung sok diparantang kawin, malah loba noe njareboet haram, henteu sah. Ditambahan koe babasan: pamali tjampoer djeung pamadjikan. Ari kawin lamoen perloe2 mah taja deui waktoe sok dilampahkeun bae”, 1913: 128).

Menurut penghulu Bandung antara 1895-1918 ini, pada asalnya puasa mempunyai hakikat segala kehendak harus ditunda (tapa). Ini mengandung arti mencegah makan, karena itu merupakan rukun Islam keempat, perintah puasa (“Ari asalna poeasa, pada boga watek sagala kahajang koedoe djeung tapa, hartina njegah baranghakan, ditambah koe agama Islam kaopat, parentah poeasa”, 1913: 128).

Memang, bagi orang Sunda nampaknya bulan Ramadan bukan hanya menjadi ritual belaka, melainkan sudah menjadi peristiwa budaya. Agendanya sudah jelas dalam sebulan. Secara garis besar, kegiatan tersebut meliputi munggah, ngabuburit, mamaleman, dan lebaran. Kesemuanya bertaut dengan hadirnya kata-kata “dulag kuramas”, “marema pasar”, “surak salimoleh”, “damar-damar leuwih ti biasa”, “nu dagang kahakanan leuwih ti sasari di buruan masigit”, “jajabur”, “dulag janari”, “ngabungbang”, dan memasang pelita di depan rumah pada mamaleman, “malem walilat”, “walilat lebaran”, “dulag pitrah”, “nadran”, dan “lebaran Sawal” atau “riaya kupat”, dan lain-lain.

Di dalam buku yang pernah diterjemahkan R. Memed Sastrahadiprawira dalam majalah Djawa (1931) ini, Hasan Mustapa menerangkan perihal adat dalam kehidupan sehari-hari dan pada batas tertentu dapat disandingkan dengan agama. Adat menurutnya berasal dari bahasa Arab yang artinya biasa, jamak, umum. Atau secara definisi, segala hal yang tetap atau sering menetap pada mahluk hidup (“sagala hal anoe tetep atawa mindeng toemerapna dina anoe boga njawa”).

Adapun kegunaan adat menurut Hasan Mustapa adalah untuk melangsungkan pergaulan dengan orang lain yang seadat, sekebiasaan, di dalam lingkungan desa, negara, agama, hal-hal profan, dan lain-lain. Agar tindak-tanduk kita tidak dipandang aneh di hadapan umumnya orang yang seadat dengan kita (“Eta adat kabeh kapakena keur ngaloeskeun pameta, lakoelampah, anoe matak djadi kaloeloesan djeung batoer, anoe saadat, sadjamak, sailahar, desa atawa nagara, agama atawa drigama, sabisa-bisa”, 1913: 3).

Selanjutnya, bila kita sandingkan dengan agama, Hasan Mustapa menawarkan dua konsep adat. Dia menawarkan konsep “adat pangwarah” yang berarti kebiasaan yang datang dari luar dan sebagai hasil pembelajaran. Konsep keduanya “adat bawa ti kudrat” yang dapat diartikan kebiasaan primordial di sebuah daerah. Di dalam hal tersebut, Hasan Mustapa mengatakan, “Samangsa geus terap djadi adat, lila-lila saoepama katerap deui koe perkara adat bawa ti koedrat, tangtoe datang paribasa ‘koeat adat batan warah, oetjing njandingkeun paisan’, sabab pangwarah anjar datangna, sanadjan geus lila terapna, radjeun kalanggar, balik deui kana adat asal bawa ti koedrat” (1913: 4).

Walhasil bagaimana Hasan Mustapa melihat pertalian antara agama dengan adat dalam hal berpuasa di bulan Ramadan? Menurutnya, laku berpuasa adalah kerja orang beragama. Sementara, tindak penyelenggaraan atau tata cara bulan puasa termasuk bagian adat. Contohnya, malam zakat fitrah, bersalaman, nadran (“Lalampahan poeasa djadi pagawean anoe berigama. Lalampahan tata tjara boelan poeasa bagian adat sarerea, noe matak karamean pepestaan, malem-malem pitrah, mitrahan, midang lebaran, silatoelrahmi, sasalaman, nadran ka astana-astana ramena lain koe noe poeasa, tapi koe adat boelan poeasa”, 1913: 130).

Tetapi yang agaknya penting dicatat adalah, saat menulis catatan etnografi itu H. Hasan Mustapa mewakili dua identitas dalam dirinya. Ia orang Sunda yang menganut Islam. Ia Islam, tapi juga Sunda. Ia Sunda, tapi juga Islam. Apalagi sebagai penganut agama Islam ia mempunyai otoritas di tingkat penyelenggaraan negara, karena pada namanya tersemat “Hoofdpanghoeloe di Bandoeng” atau Penghulu Kepala di Bandung, sebagaimana yang saya baca pada jilid Bab Adat-Adat Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta.

Dengan kata lain, ia sedang menulis yang merupakan bagian dari dirinya, etnografi dirinya. Ia seolah menggaris bawahi, saat bulan Ramadan adalah saat ritual Islam yang merupakan “adat pangwarah” bertemu dengan “adat bawa ti kudrat” yang telah ada dan menjadi kebiasaan orang Sunda sebelum Islam masuk ke ranah Sunda. Sejauh mana dialog antara “adat pangwarah” Islam dengan “adat bawa ti kudrat” Sunda, tentu kita dapat melihatnya dalam kehidupan orang Sunda pada umumnya, dari bihari ke kiwari, barangkali juga nanti.***

 

*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang