BAGAIMANA AKU TAK MENCINTAIMU RUMPIAH

 

bagaima aku tak mencintaimu Rumpiah :

harum aroma daun-daun gugur yang bertabur di jalanan

sehabis angin kemarau menyapu puncak-puncak perbukitan

membawa rinduku pada nafasmu yang bau alam

 

bagaima aku tak mencintaimu Rumpiah :

di musim hujan halimun yang merendah bagaikan salju

menutup jalan pulang dan bau tanah yang basah merindu

petualang tak butuh rumah –kerna rumahnya ada di jantungmu

 

bagaima aku tak mencintaimu Rumpiah :

anak-anak manis senyumnya lugu menyambutku tiap hari

matanya rindu masa depan yang disimpannya di matahari

tapi harapannya senantiasa dititipnya di hati kami

 

bagaima aku tak mencintaimu Rumpiah :

jika putik-putik kemiri yang memutih di hamparan bukit 

Coppo Baramming hingga Baenangnge adalah lukisan yang sakit

lantaran batu-batu bertaburan dan jalanan yang semakin sempit

 

bagaima aku tak mencintaimu Rumpiah :

semak liar yang rimbun menutupi jalan ke dua tepi

semak yang tubuh subur yang memperkuat rasa sepi

adalah semak-semak yang menjadi saksi atas cinta kami

dan saat senja memantikkan api cinta begitu suarnya 

 

aku pun sudah menenggak tuakmu, amarta wine yang manis 

dan bunga-bunga masamba yang mekar di tepi jalan 

kulihat kelopaknya terbuka bagai gelung rambut ibu sejati

bagaimana aku tak mencintaimu Rumpiah

 

Rumpiah, 31 Agustus 2013

TENTANG SEBUAH BUKU DAN RAHASIA ILMU

bagaimana kau

membaca sebuah buku hingga selesai

jika pada awal halaman telah bertikai 

antara vokal dan konsonan sengau

yang membuatmu galau

kau mengkaji buku

tapi tak selesai-selesai

bahkan sebuah titikpun tak lagi berarti

padahal seharusnya membuatmu berhenti

lalu kau membaca asal membaca

sekadar menautkan kata pada makna

dan menarik koma dari peredarannya

kini bacaanmu semakin jauh melaju

memilih buku yang semakin tebal tanpa ragu

tapi halaman demi halaman kau lalui saja

tanpa nafas jeda karena koma sudah tiada

yang kau bayangkan bagaimana sampai

pada akhir halaman dengan keyakinan

yang mungkin memberimu harapan

tapi kau sungguh tak tahu

karena yang kaucari tak pernah ketemu

semakin banyak kau membaca buku

semakin sedikit kau pahami rahasia ilmu

karena rahasia ilmu tak habis ditulis dalam buku

tiba-tiba kau menarik kesimpulan sederhana

membaca buku telah membuat usia kita sia-sia

maka marilah membaca kehidupan dalam kerja

karena rahasia ilmu akan kau temui di sana !

Barru, 2015

DARI JENDELA YANG TERBUKA

dari jendela yang terbuka

kulihat langit tanpa bintang

malam gelap bergaung duka

adakah kau bersemayam di sana

atau hanya kegelapan semata

yang menembus lapis semesta

dan membuat hati selalu cemas

peragu dan mulai kurang awas

lalu apa dibalik langit yang gelap

Jika pengelihatan tidaklah silap

adakah benar sesuatu yang hampa

menciptakan keraguan dan tanya

copernicus telah menulis dunia

dan galileo menggembala matahari

menggiringnya sebagai pusat galaxi

dan bumi bukan lagi pusat tatasurya

tapi dari jendela yang terbuka

keraguan melihat langit berduka

adakah kau bersemayang di sana

sebagai Zeus atau Uranus

kaulah langit yang menangis

dan airmatamu menetes

bersama gerimis yang jatuh

menerpa jendelaku yang rapuh

Barru, 2015

Biodata Penyair:

BADARUDDIN AMIR , lahir di Barru pada 4 Mei 1962, bekerja sebagai Kepala SMP di Kabupaten Barru (Sulsel). Puisi-puisinya termuat dalam berbagai antologi seperti “Temu Penyair Makassar” (1999), “Ombak Makassar” (2000), “”Pintu yang Bertemu” (2003), “Lima Puluh Seniman Sulawesi Selatan dan Karyanya” (2005), “Cerita Kita Bersama” (2009), “Equator” (2011), “Requiem bagi Rocker” (2012), “Dari Sragen Memandang Indonesia” (2012), “Spring Fiesta” (2013), “Wasiat Cinta” (2013), “Puisi Menolak Korupsi 2a” (2013),  “Memo untuk Wakil Rakyat” (2015), “Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak” (2016), “Memo Anti Terorisme” (2016),  “Kata-Kata yang Tak Menua” (2017).

Selain puisi Badaruddin Amir juga menulis cerpen dan esai telah terbit berjudul “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (AKAR Indonesia, 2007) dan “Laki-Laki yang Tidak Memakai Batu Cincin” (FAM Publishing, 2015). Yang lain dibukukan dalam antologi bersama seperti “Nyanyian Terakhir” (Depdiknas Jakarta, 2003), “Kumpulan Cerpen Khas Ranesi” (Grasindo, 2007), “Melerai Jarak” (Rayhan Intermedia 2016), “Apes” (de Lamacca 2016), “Surat Cinta untuk Makassar” (de Lamacca 2016). Kumpulan esainya berjudul “Karya Sastra sebagai Bola Ajaib” (Nalacipta Litera, 2008).

Ia pernah diundang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) mengikuti Focus Group Discusion, Workshop dan Pementasan Penyair Melawan Korupsi pada Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) di Pekan Baru, Riau, 2016. Memperoleh anugrah sastra “Celebes Award” dari Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2005 dan penghargaan Acarya Sastra 2017 dari Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Beralamat di Jl. Pramuka No. 108 Kabupaten Barru, Propinsi Sulawesi Selatan, HP. 081342138499, email : badarsaja@yahoo.co.id.