Oleh. Heri Maja Kelana
Setelah film “Dead Poets Society” saya menemukan kembali film yang segar dalam mengangkat pendidikan pada masa kekinian, yaitu film “Radical”. Sebenarnya ada satu film lagi yang mengangkat pendidikan, namun film ini lebih pada pendidikan non formal yaitu “Captain Fantastic”.
Ketiga film di atas mengangkat pendidikan. Dan mungkin dapat dikatakan film yang bagus dalam mengkritik sistem pendidikan. Terlebih sangat kontekstual sekali dengan realitas sosial saat muncul film tersebut.
Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan membicarakan film “Radical”. Film ini pertama kali rilis tahun 2023, di mana yang menjadi sutradaranya adalah seorang Chistopher Zalla. Ispirasi dari film “Radical” ini adalah artikel yang berjudul A Radical Way of Unleashing a Generation of Geniuses karya Joshua Davis. Dimana Joshua Davis menulis artikelnya berdasarkan kisah nyata dari seorang guru di Sekolah Dasar yang bernama Jose Urbina Lopez, di Matamoros, Meksiko.
Awalnya saya tidak menyangka bahwa film “Radical” yang dibalut dengan drama komedi ini mengangkat pendidikan, terutama mengenai pola mengajar seorang guru yang bernama Sergio. Gambaran singkat dari film ini adalah Sergio seorang guru yang dipekerjakan oleh Chucho untuk mengajar kelas 6.
Hari pertama masuk sekolah, Sergio mengacak-acak kursi dan membaginya dalam beberapa bagian, lalu ia menyebutnya dengan permainan sekoci. Sergio membuat pola pengajaran di kelas tidak seperti umumnya guru mengajar, sehingga ia kemudian ditegur oleh Chucho. Akan tetapi, Sergio terus meyakinkan bahwa untuk memunculkan potensi anak, supaya anak tidak apatis terhadap pelajaran, harus dibuat senang dan semenarik mungkin dalam pengajaran. Chucho akhirnya menerima pola Sergio mengajar, bahkan ia orang yang pertama dalam mendukung pola mengajar Sergio.
Awalnya anak-anak merasa heran dengan apa yang selalu dilakukan oleh gurunya, namun anak-anak pun mulai paham dengan apa yang dilakukan oleh gurunya tersebut. Seperti Paloma seorang anak yang lahir dari keluarga yang sangat miskin sekali. Rumahnya dekat pembuangan sampah terakhir dan ayahnya adalah pemulung sambah (rongsok), namun potensinya muncul setelah dipantik oleh Sergio. Ternyata Paloma adalah anak yang sangat jenius.
Lupe seorang siswa yang lahir dari realitas yang berbeda dengan Paloma. Lupe memiliki dua adik yang harus diurus olehnya, orang tuanya menjadi buruh pabrik untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Lupe harus menjadi kakak sekaligus ibu untuk adik-adiknya. Padahal Lupe masih kelas 6 Sekolah Dasar. Lupe memiliki potensi yang bagus pada wilayah pemikiran, sehingga Sergio mengarahkan untuk membaca buku-buku filsafat, terutama buku John Stuart Mill.
Nico, seorang anak yang terlibat gangster dan tidak dapat keluar dari lingkaran itu. Nico anak yang pemberani, cepat tanggap dan pintar. Namun Nico terjebak dalam lingkaran gangster, sehingga banyak yang ia tutupi kepada teman-temannya dan juga kepada gurunya, Sergio.
Ketiga anak tersebut adalah tokoh yang diberi peran berbeda dalam film “Radical”. Sehingga penonton diarahkan tertuju pada tiga anak tersebut, selain Sergio. Ketiga anak tersebut dapat dikatakan menjadi representasi kemiskinan masyarakat Meksiko, dengan masalah yang berbeda.
Tidak jarang ketika anak berangkat masuk sekolah melihat mayat-mayat di pinggir jalan korban dari gengster. Realitas kemiskinan kerap muncul pada film ini. Selain itu, fasilitas sekolah sangat tidak mendukung dalam pembelajaran, seperti ensiklopedia yang sudah berumur 30 tahun, labolatorium komputer yang tidak aktif setelah 4 tahun karena komputernya dicuri. Anak-anak yang kelas 6 banyak yang putus sekolah dan memutuskan masuk gangster. Korupsi, dan lain sebagainya.
Tidak ada masa depan yang cerah di sekolah ini. Sampai akhirnya muncul seorang Sergio yang mengubah pola mengajarnya. Meski dianggap oleh guru yang lain pola mengajar Sergio sangat aneh tidak sesuai dengan guru yang lain.
Namun akhirnya, apa yang telah dilalukan oleh Sergio membuahkan hasil yang sangat baik, Paloma dalam ujian akhir, mendapatkan nilai tertinggi di Meksiko. Sebelumnya sekolah tersebut belum pernah mendapatkan nilai lebih dari 63. Namun Paloma, mendapatkan nilai 93 dan menjadi sejarah sebagai nilai tertinggi.
Utilitarianisme dan Sistem Pendidikan
Radical, film yang berbahasa Spanyol ini mengangkat pula tentang filsafat yang dikembangkan oleh John Stuart Mill. Namun secara tidak langsung, hanya ada dalam percakapan Sergio dan Lupe serta percakapan Lupe dan penjaga perpustakaan.
Namun apabila melihat keseluruhan film ini, ada sistem yang sedang dikritik oleh seorang sutradara, baik mengkritik secara verbal, maupun melalui visual tentang morelitas pada konsekuensi tindakan. Oleh karena itu, sepertinya Zalla menyelipkan John Stuart Mill pada filmnya, di mana dia adalah pendukung Utilitarianisme.
Utilitarianisme adalah teori etika yang mendasarkan moralitas pada konsekuensi tindakan. Secara umum, prinsip utama utilitarianisme adalah bahwa suatu tindakan dianggap baik jika menghasilkan konsekuensi yang paling banyak kebahagiaan atau kesejahteraan bagi sebagian besar orang yang terlibat, sedangkan tindakan dianggap buruk jika menghasilkan lebih banyak penderitaan atau ketidakbahagiaan.
Sergio ketika berbicara dengan Chuhco mengatakan bahwa tidak ada perubahan dalam dunia pendidikan dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Anak-anak apatis, tidak semangat dalam mengikuti pelajaran, potensi anak-anak tidak keluar. Padahal seharunya pendidikan itu sebaliknya, menyenangkan, memunculkan potensi anak, membuat anak menjadi kritis dalam menyikapi sesuatu, dan lain sebagainya. Atas dasar itu, kemudian Sergio mengembangkan pola belajar yang lebih mengedepankan kesenangan dan berpusat pada menumbuhkan potensi anak. Sergio bingung metode apa yang dipaiknya, yang jelas ia membuat kelas menjadi menyenangkan, tidak jarang juga melakukan tindakan-tindakan yang dapat dikatakan radikal.
Kembali pada unitilatianisme, pendekatan ini sering digunakan dalam ekonomi kesejahteraan sosial dan dalam pembuatan kebijakan publik untuk mengevaluasi konsekuensi sosial dari kebijakan tertentu.
Zalla, memasukan John Stuart Mill bukan tanpa alasan, ia pun ingin mengkritisi kultur politik di Meksiko, yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan terhadap pendidikan pada masa itu. Dan saya kira apa yang dilakukan oleh Zalla pada film “Radical” ini berhasil. Bukan karena film ini mendapatkan penghargaan Sundance Film Festival sebagai Film Favorit. Namun efek dari film ini sangat luar biasa.
Terakhir, untuk guru-guru atau pemangku kebijakan pendidikan di Indonesia harus menonton film “Radical” ini. Dan mungkin saja “Kurikulum Merdeka” ini terinspirasi dari artikel A Radical Way of Unleashing a Generation of Geniuses karya Joshua Davis.
Tabik!