RAI kembali menyelenggarakan “Ngakeul Akal” Edisi VII dengan mengkaji biografi pemuda, Jumat (17/11). Dalam diskusi hangat tersebut, hadir beberapa pembicara seperti Ade Wahyudi (Pelita Desa), Rini (Owner Rinpinpin), Iis (owner Fris Cafe), dan Nana Lesmana (Ketua Yayasan Cahya Qurani).

Dalam paparannya, Ade Wahyudi menilai bahwa pemuda di Banten saat ini, yang bekerja pada bidang apa saja, ujung-ujungnya lari ke gerbong politik. Karena orientasi kerja dan karyanya untuk gerbong politik, maka bila berbeda bendera politik, anak-anak muda itu enggan berkolaborasi dengan anak-anak muda dari kelompok lain.

“Akhirnya, anak-anak muda sekadar jadi komoditi politik para elit.” Ujar ayah satu anak ini.

Menutup argumentasinya, kreator poepasar.com tersebut melayangkan kritiknya terhadap organisasi kepemudaan di Banten. Menurutnya, perlu ada revisi “kurikulum” organisasi kepemudaan.

Pembicara lain, Ahmad Bachtiar Faqihuddin dari RAI, menyebut pemuda saat ini memiliki karakter yang lemah, suka membeo, mengukur keberhasilan dari materi dan nirmakna, bahkan tidak memiliki idealisme. Kritik pedasnya itu bahkan ditulisnya di media massa lokal Banten. Oki Fathurrohman, juga dari RAI, berujar bahwa kerja-kerja anak muda yang terkotakkan ke dalam gerbong politik tertentu karena anak-anak muda zaman sekarang masih galau, terutama dengan masa depan.

“Anak-anak muda harus mapan. Dia harus mandiri dan berkecukupan. Karena anak muda yang mandiri bisa menghidupi idealismenya, bukan malah menggadaikanya.” Ujar mahasiswa UIN SMH Banten yang berbisnis travel ini.

Pada durasi yang sama, Nana Lesmana, ketua Yayasan Cahya Qurani mengapresiasi aksi Ade Wahyudi yang mengolaborasikan anak-anak muda di berbagai desa di Kabupaten Pandeglang ke dalam spirit pengabdian. Kerja-kerja anak muda, selain mesti menguntungkan secara finansial, juga harus berdimensi sosial.

Kolaborasi

Direktur Eksekutif RAI, Atih Ardiansyah, memaparkan bahwa anak-anak muda tidak akan bisa bekerja optimal bila bekerja sendiri. Anak-anak muda harus berkolaborasi, bukan hanya dengan anak-anak muda lainnya, melainkan dengan generasi di atas mereka (generasi X dan generasi baby boomers).

“Anak-anak muda zaman sekarang memiliki karakter yang kontradiktif. Di satu sisi fasih bicara perubahan, tetapi enggan mengerjakan hal-hal remeh. Berambisi tapi tidak fokus dalam mengejar mimpi. Mereka berpendidikan tinggi, kaya ide, bervisi besar, tetapi kurang bersabar mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Itulah identitas anak-anak muda zaman sekarang. Mereka bukan ‘single fighter’, tetapi kolaborator.”

Makanya, tambah dosen Fisip UNMA tersebut, ruang-ruang diskusi harus diperbanyak agar anak-anak muda bisa saling bertemu, saling memotivasi. Atih pun memberikan apresiasi kepada Ade Wahyudi yang tidak berhenti mengajak dan memotivasi anak-anak muda lintas-desa, untuk tidak menyerah dan fokus mewujudkan cita-cita yang berorientasi pemberdayaan masyarakat.

“Anak-anak muda seperti Ade Wahyudi ini harus diduplikasi semangatnya. Perlu ada banyak anak muda yang mengajak anak-anak muda lainnya untuk mau berdaya dengan mengandalkan kreativitasnya.” pungkasnya. (*)