Categories
Artikel Opini

Ramadan Tahun 1792 Sultan Bima Berlayar ke Makassar

Oleh. Atep Kurnia*

 

Di antara penguasa Kesultanan Bima yang pernah berlayar ke Makassar adalah Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah. Menurut Henri Chambert-Loir & H. Siti Maryam Salahuddin (Iman dan Diplomasi: Serpihan Sejarah Kerajaan Bima, 2010), Abdul Hamid memerintah antara 1773 hingga 1817. Waktu ia naik takhta, Bima sudah satu abad di bawah kekuasaan Kompeni (VOC). Sebelum dikuasai VOC, Bima berada di bawah kekuasaan Makassar. Perjalanannya ke Makassar pun ada kaitannya dengan VOC. Namun, menariknya, perjalanan itu dilaksanakan pada bulan suci Ramadan.

Perjalanan Sultan Abdul Hamid Muhammad Syah beserta rombongan diabadikan dalam naskah Alamat Sultan Abdul Hamid pergi ke Mengkasar, yang dimuat dalam Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima (ed. Henri Chambert-Loir dan H. Siti Maryam Salahuddin, cetakan pertama 1999; cetakan kedua 2010). Catatan perjalanan itu kemudian dimuat ulang dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah (ed. Henri Chambert-Loir, 2004).

Menurut Henri Chambert-Loir (2004), Abdul Hamid berlaku sebagai raja bawahan Gubernur Celebes Willem Beth. Ia yang diangkat jadi sultan Bima dalam usia 11 tahun setelah ayahnya, Sutan Abdul Kadim, meninggal dunia pada 1773, baru dapat mengangkat sumpah di hadapan gubernur Celebes pada 1792 kala berusia 30 tahun. Gubernur Celebes memperlakukannya sekaligus memperlihatkan kekuasaannya dan melimpahkan tanda persahabatan.

Adapun permulaan naskah Alamat Sultan Abdul Hamid pergi ke Mengkasar berbunyi: “Hijrat al-Nabi sallalahu alaihi wa sallama seribu dua ratus enam tahun, tahun Za, pada hari Isnin tengah pukul lima jam dan kepada tiga likur hari bulan Sya’ban, tatkala itulah Duli Yang Dipertuan Kita Sri Sultan Abdul Hamid Muhamad Syah zill Allah fi ’alam turun dari istananya membawa diri pergi mendapat perahu”.

Dari kutipan itu dapat diketahui kepergian Abdul Hamid ke Makassar dimulai pada hari Senin, 23 Syaban 1206 H, bertepatan dengan 12 April 1792 M. Dalam ringkasan naskahnya (Henri Chambert-Loir, 2004), diketahui hari itu Sultan Abdul Hamid diarak ke perahu Waworada, untuk berlayar ke Makassar. Ia keluar istana pukul 4.30 pagi, turun dalam perahu pukul 6 dan mengangkat sauh pukul 11. Pukul 5.30 sore, berlabuh di Batu Pahat.

Kamis, 26 Syaban (19 April), para pembesar Bima membicarakan hari keberangkatan sultan ke Makassar. Mereka bermufakat untuk menunggu tibanya Ramadan. Selama itu, Abdul Hamid dihibur bunyi-bunyian tiada henti. Baru pada malam Senin, 1 Ramadan (23 April), perahu mengangkat sauh dan berlayar ke arah timur, melewati Pulau Sangeang. Saat itu rombongan kapal terpisah. Setelah berlayar selama enam hari, pada Minggu, 7 Ramadan (29 April), perahu sultan tiba di Pelabuhan Galesong, dan menantikan perahu lainnya.

Tetapi Abdul Hamid baru tiba di Kota Makassar pada Senin, 15 Ramadan (7 Mei). Kedatangannya diwartakan kepada gubernur Celebes dan juru bahasa Belanda mempersilakan sultan menempati rumah yang sudah disediakan dan menanyakan waktu pertemuan dengan gubernur. Abdul Hamid menjawab ia masih ingin menunggu tibanya kapal lainnya. Di kapal lainnya yang terlambat datang itu ada hadiah untuk gubernur. Setelah menempati rumah di Kampung Baharu (16 Ramadan), sultan menerima kunjungan anak gubernur pada 17 Ramadan. Anak itu dihadiahi seorang budak muda.

Sabtu pagi, 20 Ramadan (12 Mei), Sultan Abdul Hamid berkunjung ke kediaman gubernur dengan cara diarak. Ia menghadiahkan sepuluh budak dan lima pikul lilin. Pokok obrolannya dengan gubernur Celebes adalah keadaan Manggarai dan pemberontakan Janeli Sape. Dua hari kemudian, pada 22 Ramadan, sultan mengunjungi Benteng Rotterdam dan bertemu dengan Fetor Besar yang dihadiahinya dua budak, Mayor (dihadiahi seorang budak), serta Winkelier. Ia bertemu pula dengan Janeli Sape yang tidak diampuninya, meski telah menyatakan tobat.

Hadiah terus dibagikan sang sultan kepada gubernur Celebes dan Belanda lainnya. Pada Jumat (26 Ramadan/18 Mei), ia menyuruh mengantarkan beberapa ekor kuda yang tiba kemarin untuk gubernur dan gubernur hanya mengambil dua ekor. Pada Sabtu (27 Ramadan), ia menghadiahi istri juru bahasa Belanda berupa seorang budak perempuan.

Dengan kereta kuda yang disediakan gubernur selama di Makassar, pada 29 Ramadan (21 Mei), sultan mengunjungi Fiskal kemudian berjalan-jalan di Kota Makassar, mengunjungi Lorong Cina (di utara Benteng Rotterdam, Jalan Kelenteng atau Jalan Sulawesi), singgah ke Gedung Buku, menemui Kapiten Meriam, kemudian masuk lagi ke benteng.

Puncak kunjungan sultan sendiri terjadi pada Sabtu, 4 Syawal (26 Mei 1792). Hari itu, ia beserta lima pembesar Bima memasuki Benteng Rotterdam untuk bersumpah di hadapan gubernur Celebes. Setelah duduk, ia dan para pembesar Bima merentangkan tangan di atas Al-Qur’an, mengucapkan sumpah, meminum air keris dan menandatangani berkas kontrak serta cap. Dalam naskahnya berbunyi begini:

Setelah sudah tertib duduk dalam kursi, yaitu pada pihak kiri Tuan Besar tempat duduk paduka Tuan Kita dengan Tureli Donggo dan Tureli Belo dan Jeneli Parado dan Bumi Luma Bolo dan Bumi Nggampo hingga itu ke bawahnya. Adapun pihak kanan Tuan Besar, yaitu orang Wolanda seperti Fetor Besar dan Mayor dan Fiskal dan Syahbandar dan Fetor Bima dan (bkw-w-r) dan Sekretaris Besar dan Sekretaris Kecil. Setelah itu maka Tuan Besar menyuruh orang Wolanda bergelar Juru Bahasa Besar dan juru bahasa (byw-y) mengambil air tempat kaca putih lalu taruh di hadapan Tuan Kita serta menyuruh juru tulis Melayu yang buta sebelah matanya akan membaca Yasin dalam Qur’an al-Azim. Setelah sudah putus baca, baharu Tuan Kita membasuh keris tatarapang tiga kali serta menjabat Qur’an tiga kali serta mengatakan, ‘Inilah saksi yang melihat had betul kepada Kompeni’, dengan meminum air itu yang ikut oleh segala menteri-menterinya dan orang besar-besar Bima itu adanya. Setelah itu masing-masing menaruh bekas tangannya dahulu daripada letakkan cap surat persumpahan itu, putus dan selesailah kerja sumpah itu”.

Akhirnya, rombongan Sultan Abdul Hamid meninggalkan Makassar pada Sabtu, 25 Syawal (16 Juni 1792). Hari itu, perahu-perahu mengangkat sauh dari Pelabuhan Galesong. Setelah berlayar sembilan hari, sultan tiba di Bima pada Senin, 5 Zulkaidah (25 Juni). Perjalanan dilanjutkan ke Sarita dan tiba di Nangaromo pada Rabu, 7 Zulkaidah (27 Juni 1792).

 

*Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM).

 

 

Keterangan foto:

Dua buku yang memuat catatan perjalanan Sultan Abdul Hamid ke Makassar pada tahun 1792.

Leave a Reply