Oleh: M. Rikaz Prabowo
Buku yang berawal dari sebuah penelitian ini mengungkapkan perjuangan dr. Rubini selama masa hidupnya di bidang kemanusiaan, sosial, dan politik dalam mencapai kemerdekaan Indonesia dari tahun 1930-1944. Penelitian ini dapat memperkaya khazanah sejarah pada periode perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat yang digerakkan oleh kaum dokter. Selain itu, dapat memberi sumbangan pada keragaman penulisan sejarah yang multidimensional dalam bidang sejarah kesehatan.
Berdasarkan hasil telaah dan kajian pada sumber-sumber yang ditemukan, maka diperoleh beberapa fakta sebagai berikut. Pertama, rasa kemanusiaan dan keinginan untuk membantu rakyat kecil telah hadir pada diri dr. Rubini sejak muda dimana ia memutuskan mendaftar di STOVIA pada tahun 1920. Pemikiran nasionalisme beliau ditempa ketika menjadi mahasiswa di STOVIA, didorong banyaknya forum studie club, dan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pergerakan nasional, serta dirinya juga tergabung dalam organisasi Paguyuban Pasundan. Kedua, dr. Rubini terlibat dalam berbagai upaya pengentasan wabah penyakit yang membebani rakyat seperti wabah malaria dan TBC selama di Kalimantan Barat. Ia juga dikenal sebagai dokter yang merakyat dengan memberikan pelayanan kesehatan keliling hingga ke wilayah pedalaman luar Pontianak. Selain itu, secara nyata ia juga terlibat dalam usaha penurunan angka kematian ibu dan anak dalam persalinan dengan membuka klinik kebidanan dan kedokteran di rumahnya. Turut dalam pergerakan politik kebangsaan pada 1938-1942 melalui Parindra dan klub societeit Medan Sepakat. Ketiga, pada masa pendudukan Jepang 1942-1944, dr. Rubini turut membantu meringankan beban rakyat dengan merawat korban-korban kemalangan akibat perang dan kekerasan tentara Nippon. Hal itu mendorongnya bersama aktivis-aktivis pergerakan yang tersisa untuk mengorganisir perlawanan pada Jepang melalui gerakan bawah tanah. Perlawanan dr. Rubini dan rekannya itu sayangnya dapat dipatahkan dan oleh Jepang dihukum mati pada 28 Juni 1944 (Insiden Mandor). Keempat, meski menuai kegagalan, perlawanan yang dipimpin oleh dr. Rubini telah mendorong perlawanan lain dari Suku Dayak pimpinan Pang Suma yang berpusat di Meliau (Sanggau). Bahkan cita-cita kemerdekaan dr. Rubini dan rekan-rekannya sesama dokter yang turut gugur ditangan Jepang, terus dilanjutkan oleh dokter-dokter lain yang selamat pasca 17 Agustus 1945 seperti dr. Salekan, dr. Soedarso, dan dr. Soeharso. Ketiga dokter tersebut terkenal sebagai pemimpin rakyat dan pro integerasi ke dalam RI.