Erin Gruwell hanya ingin mengatakan bahwa penghinaan dan pembantaian itu hanya berjarak sejengkal. Suatu siang, Erin menyentak murid-muridnya dengan amarah yang tak biasanya tumpah. Amarah itu berasal dari selembar gambar karikatur yang dibuat salah satu muridnya.
Karikatur murid berkulit hitam itu terlihat bebal dengan hidung besar dan bibir tebal. Juga bodoh, dengan dahi kecil yang menggambarkan ukuran otak yang tak “normal.” Genocide bisa disebabkan oleh gambar seperti ini, kata Erin. Murid-muridnya hanya menatapnya dari bangku yang berjajar tak rapi. Tatap mereka kosong, seperti tak peduli. Hawa panas dari jendela seperti menyapu kelas. Seperti tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang bicara terbuka tentang ras atau kelas.
Erin mengawali karir mengajarnya dengan ambisi yang tumpah-ruah. Dia ingin murid-muridnya melihat warna kulit seperti cermin yang memantulkan pesan moral tentang perbedaan. Dunia di luar kelas sudah gaduh oleh baku-hantam antar gang. Erin ingin kelas menjadi ruang jeda ketika semua benci reda, namun tak terlupa. Kelas adalah sudut yang nyaman untuk membicarakan dendam, perbedaan, atau apa saja. Tentu itu terlalu muluk, meski tak mengada-ada.
Kebencian bisa dipicu oleh hal kecil, kata Erin lagi. Murid-muridnya menamparnya dengan pandangan sinis. Kau tak mengerti, kau tak mengerti, gumam mata-mata itu berkali-kali. Erin tak terlahir dengan stigma, seperti murid-muridnya yang berkulit hitam, kuning, atau sawo matang kecokelatan. Di Long Beach California, identitas warna kulit dipertaruhkan dengan senjata. Erin bertanya, siapa di antara mereka yang pernah terluka oleh senjata. Semua mengangkat t-shirt mereka, memamerkan amarah dalam cabikan luka. Semuanya, kecuali seorang murid berkulit putih dan Erin Gruwell, tentu saja.
Erin lalu bercerita Holocaust yang dipicu karikatur tentang Yahudi buatan Nazi. Kebencian itu tragedi, dengan kapital T yang besar sekali. Karena kebencian tak hanya menghapus nama, tetapi juga sebuah bangsa. Karena kebencian itu mengalir dalam darah, seperti wabah tak terindera. Aneh. Erin tak melihat luapan emosi dalam tatap mata murid-muridnya. Seolah-olah apa yang mereka alami di luar sana tak terjalin dengan belahan bumi lainnya. Erin bertanya, siapa di antara mereka yang pernah mendengar tentang Holocaust. Hanya satu yang mengangkat tangan, sang murid berkulit putih yang tubuhnya tanpa luka. Erin terhenyak. Ternyata dia memang tak mengerti apa-apa. Dia tak mengerti murid-muridnya.
Woodrow Wilson High School dalam film lama Freedom Writers itu mewakili kebanyakan SMA di pusat kota-kota besar di Amerika. Gedung-gedung pucat bercat kusam nyaris seperti penjara. Detektor logam di gerbang masuk mengendus aroma senjata. Pintu ganda hanya bisa dibuka dari dalam, untuk mencegah mereka yang ingin masuk seenaknya. Banyak yang percaya bahwa kekerasan dan kebrutalan yang tertahan di ruang-ruang kelas itu terakumulasi dan siap tumpah kapan saja. Murid-murid kulit berwarna ini terlabeli dengan stigma unteachable dan at-risk. Sekolah sering meyakini bahwa kekerasan adalah semacam “budaya” untuk melampiaskan ketakmampuan dan kemiskinan murid-murid kulit berwarna.
Sejak tahun 60-an, pakar pendidikan di Amerika risau terhadap kompetensi anak-anak dari kalangan working class ini. “Disadvantage” adalah label yang ditempelkan untuk anak-anak yang tidak punya pengalaman, akses, dan eksplorasi bahasa seperti anak-anak dari kalangan middle class. Bereiter dan Engelmann (1966) menyimpulkan bahwa kompetensi berbahasa dan struktur logika anak-anak miskin ini “cacat” karena mereka tidak dibesarkan dalam lingkungan dengan tradisi bahasa yang melatih kemampuan berpikir abstrak, analitis, dan tertib tata bahasa.
William Labov menyanggah teori defisit ini pada tahun 1972, dengan bukunya yang fenomenal, The Language in Inner City. Tak ada yang cacat dengan bahasa kaum minoritas, dalihnya. Mereka punya tata bahasa dengan struktur yang konsisten, dengan aturan yang berbeda dengan tata bahasa kalangan middle class. Yang salah, dengan demikian, adalah ideologi tersembunyi yang memarjinalkan pengguna bahasa non-mayoritas. Bahasa menjadi index status sosial, ekonomi, juga kemelek-hurufan. Bahasa mayoritas, dalam hal ini Standard English, menjadi semacam kapital. Penggunanya memiliki akses lebih baik terhadap kesempatan ekonomi dan struktur sosial.
Untung saja Erin Gruwell bukan termasuk guru-guru yang menganggap murid-muridnya berpikir dan berbahasa dengan “cacat.” Di era No Child Left Behind ini, label “at risk” yang menggantikan “disadvantaged” sesungguhnya menyampaikan pesan yang sama, bahwa sekolah mengusung misi mulia untuk mengembangkan dan “mendidik” budaya minoritas agar menjadi lebih beradab. Bahwa budaya minoritas orang-orang kulit berwarna itu tak sesempurna dan sebaik budaya “kulit putih” yang berkuasa. Namun Erin Gruwell ingin memahami murid-muridnya dengan memahami potensi mereka. Pendidikan multikultural yang terinspirasi William Labov, konon adalah upaya yang melihat apa yang dimiliki anak, dan bukan apa yang mereka tak punya. Pendidikan seperti ini mendefinisikan ulang konsep kapital sebagai pengetahuan apa saja yang dibawa anak dari lingkungannya. Karena pengetahuan itu bermakna dan memperkaya pelajaran di sekolah.
Mungkin cara termudah menghadapi isu rasial adalah berpura-pura masalah itu tak ada. Kita bisa bersikap buta warna dan memperlakukan setiap orang sama, apapun warna kulitnya. Namun realita tak begitu sederhana. Erin Gruwell mewakili sekelumit guru-guru yang mau membicarakan topik rasial dan kelas secara terbuka. Dia memahami bahwa murid-muridnya bertahan hidup bukan dengan mempelajari the Holocaust, namun dengan menyelamatkan diri dari holocaust-holocaust dalam kehidupan mereka. Bagi mereka, holocaust seperti ini nyata dan mengintai kapan saja, tak hanya terpajang dalam kesaksian hidup di buku teks tentang sejarah dunia. Ruang kelas hidup oleh dialog-dialog tanpa huruf kapital, ketika semua konsepsi dan teori terbahasakan dengan pengalaman hidup sehari-hari.
Di Indonesia, ruang kelas dan ruang dialog untuk anak steril dari diskusi tentang konsep-konsep berhuruf kecil seperti ini. “Pancasila,” “Nasionalisme,” dan “Toleransi” menjelma jargon yang teralienasi dari realitas sehari-hari.
Menyedihkan. Anak-anak tidak datang dari rumah dengan otak dan tangan kosong. Mereka datang dengan membawa segengam penuh konsep dan teori yang mereka ramu dengan keseharian mereka. Orang dewasa tinggal membuka pintu, memberikan ruang, menerima dan mendengarkan mereka berbicara tentang pancasila, toleransi, nasionalisme; semua jargon yang tak tercatat dengan huruf kapital.[]
*) Tulisan ini pernah dimuat di sini, dengan beberapa perubahan yang telah dilakukan oleh penulis. Dimuat di laman ini untuk penyegaran sebaran semata.