Tamu bincang santai di layar instagram Forum TBM itu serasa mengguncangkan kesadaran. Ya, pada episode kelima Aku, Buku, dan TBM, Jumat 26 Februari 2021, Prof. Djoko Saryono hadir untuk menyiangi konsep-konsep yang telanjur lazim di benak. Lelaki yang mendaku diri “hanya manusia awam, pemulung bacaan ringan, dan pencari remah pengertian” itu lahir pada 27 Maret 1962. Ia seorang Guru Besar Universitas Negeri Malang.
Menurutnya, sastra itu identik dengan literatur. Ia berpedoman pada filosofi klasik bahwa sastra merupakan kemelekan. Adalah kesadaran tentang pengetahuan. Sastra itu sepadan dengan kata literatur, dalam arti pengetahuan tertulis, literature, literate, dan beujung dengan letters.
Dalam khazanah Bahasa Indonesia, istilah sastra adalah pengetahuan yang mendidik. Sastra berhubungan dengan pendidikan, dan sudah tentu bersierat dengan moral yang elok, apik, serta indah.
Sehingga, bagi Prof. Djoko, sastra adalah ibu dari literasi, sebagai pedoman berliterasi. Sastra merupakan pengetahuan mendalam yang digunakan untuk mendidik manusia. Bahwa yang melek aksara, melek bacaan, yang berhati-hati menggunakan pikiran, perasaan, dan yang senantiasa mengecek kebenaran, itu disebut literate.
Dengan demikian, kita yang mendaku pegiat literasi, layak sebagai manusia literat, sekira mengusung ibu literasi, sastra. Dan, ciri sastra adalah reflektif, sublimasi, tidak tergesa-gesa, penuh kehati-hatian. Maka jelas, tidak ada sastra yang memuja dan mengagungkan kedangkalan. Lantaran dari asalnya, sastra akan selalu mengajak orang memasuki dasar kedalaman makna-makna kehidupan.
Walhasil, sedianya literasi yang kita jalani ini berfungsi mendidik dan menghibur, sebagaimana fungsi sastra. Gerakan literasi seyogianya menggendong spirit sastra: reflektif, sublimasi, kontemplatif, tidak banal, tidak dangkal, dan tidak ngawur. Gerakan literasi mesti menuju kepada pembiasaan untuk tidak berpikir sembrono, tapi sebaliknya, hati-hati dan penuh empati. Sanggup memilah baik-buruk, penting-tak penting. “Jangan melakukan dulu, baru berpikr belakangan, apalagi merasa belakangan.” tegas Prof. Djoko.
Nah, di penghujung bincang santai, Prof. Djoko berpesan, TBM-TBM itu mesti bisa menjaga irama literat. Jangan sampai tumbuh, tapi cepat layu. Atau sedemikian rupa menggema namanya, tapi minus aktivitas. Prof. Djoko juga mewanti-wanti bahwa sesama pegiat TBM bisa saling melengkapi untuk sama-sama menuju masyarakat literat. Masyarakat yang tidak gampang termakan isu-isu disinformasi, hoaks, dan fake news. TBM-TBM semestinya menebar energi-energi kebaikan yang bisa merawat peradaban yang menghidupi kita semua. Dan, yang tak kalah penting, kini TBM harus berani memasuki jagat media sosial, sebagai implementasi menumbuhkembangkan masyarakat pascaliterat.
Ya, Prof, Djoko tampak sedemikian menandaskan pentingnya kehidupan pascaliterat, yang tidak berarti meninggalkan spirit literat. Karena, bagi Prof. Djoko, media sosial itu kini telah menjadi ruang kehidupan baru. Suatu konsekuensi dari digitalisasi, yang mencipta dunia virtual, dunia digital.
Lagi-lagi, Prof. Djoko menegaskan bahwa media sosial itu merupakan perluasan dari jagat konvensional manusia. Maka, suka tak suka harus kita masuki. Kita mesti berpartisipasi, sekira tak menghendaki para gerandong, para berandal, yang menghiasi halaman demi halaman media sosial. Dengan sepenuh keberanian, sekaligus santai, kita mesti memasukinya.
Memang, di dunia baru ini, kita akan menemu sesuatu yang baru, dan tidak banyak yang kita tahu, karena masih banyak yang belum terbentuk. Sebagaimana di jagat alamiah, masyarakat akan melewati proses panjang pembentukan etika dan sistem sosial, moralitas sosial, dan sebagainya. Nah, moralitas sosial, dan etika sosial di dunia digital itu pun kini baru terbentuk, sehingga wajar orang-orang belum menyepakati atas banyak hal. Dari situlah, Prof. Djoko mengistilahkan bahwa memasuki jagat digital itu sebetulnya sedang menjalani tawuran massal digital.
Saban hari, ada tawuran massal di situ. Oleh karenanya, ruang-ruang untuk tawuran digital harus direbut. Dalam antropologi simbolik, penguasaan ruang itu amat penting. Dan, kita mesti ke sana dengan semangat, serta dengan niat yang baik.
Hal itu pula yang kini lagi dijalani Prof. Djoko. Dan, ia pun mengajak kita, para literat, turut serta bersapa, bertegur, berinteraksi, berlatih, serta belajar memasuki kehidupan baru. Menebar kebaikan-kebaikan, menggeret literasi konvensional ke alam literasi digital. Sebab, sekali lagi, medium digital adalah manifestasi perluasan jagat alamiah. “Saya menjinjing bekal berupa buku-buku di jagat digital itu. Sebab saya masih percaya bahwa buku adalah sebuah pencanggihan cara berpikir, bernalar, dan cara hidup. Itulah sastra yang merupakan induk literasi.” ungkapnya.