Belajar sama-sama/Berkarya sama-sama/Kerjasama-sama.

Semua orang itu guru/Alam raya sekolahku/Sejahteralah bangsaku.

(Yayak Kencrit)

 

Berbagi Potensi Antar Pegiat Literasi

Lirik lagu Sama-Sama, gubahan Yayak Kencrit yang kerap dinyanyikan anak-anak jalanan, langsung berdendang dalam benak saya saat Moh. Alipi dan Dr. Kastum dari Subdit Keaksaraan dan Budaya Baca, Kemendikbud, menginformasikan akan ada kegiatan residensi peningkatan kapasitas bagi para pegiat literasi Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Watak komunal dalam urat nadi TBM begitu kuat dan mengental pada lirik lagu Sama-Sama; lagu yang tidak pernah kita lihat di layar televisi, tidak pernah kita dengar di radio-radio komersil, namun kerap dinyanyikan bersama dalam forum-forum pendidikan pemberdayaan masyarakat, panggung-panggung suara menuntut keadilan, pengamen jalanan, workshop maupun bengkel kesadaran kalangan aktivis dan relawan kemanusiaan yang sudah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Lagu Sama-sama menjadi lagu penyemangat kebersamaan dan semangat selalu belajar, belajar, dan belajar, dari kehidupan sebagai bangsa yang memanusiakan manusia. Dari titik itulah bakal pijakan saya dan relawan Iboekoe/Radiobuku menjalankan amanah sebagai pelaksana sekaligus tuan rumah residensi bagi pegiat literasi.

Sebelumnya, sekitar minggu pertama Juli 2017, saya diminta hadir di lantai 8 gedung E, Kemendikbud, untuk pertemuan pembahasan persiapan residensi. Dalam pertemuan, selain menghasilkan kesepakatan jadwal dan pelaksanaan, kriteria dan kewajiban peserta residensi, juga kesepakatan konten materi residensi. Untuk waktu dan tempat pelaksanaan residensi diputuskan selama empat hari tiga malam, 10-13 Agustus 2017, di Kampung Literasi Iboekoe, desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara untuk materi residensi ada empat yang bakal jadi asupan utama dalam proses residensi: Manajemen TBM, Jaringan dan Kemitraan, Menanamkan Jiwa Relawan, dan Menulis Kreatif. Selain mengunyah dan memamah empat materi pokok tersebut, peserta residensi diharapkan mempunyai karya tulis dengan konten cerita reflektif sebagai relawan dan pegiat literasi TBM yang akan diterbitkan jadi buku.

Bagaimana empat materi residensi tersebut bisa jadi pemantik meningkatnya kapasitas dan kemampuan pegiat literasi TBM? Seperti yang sudah diketahui bersama, Taman Bacaan Masyarakat, Rumah Baca, Pojok Pustaka dan semacamnya, relatif mempunyai kecenderungan lahir, tumbuh, berkembang secara organik dan mempunyai karakter kerja-kerja secara komunal. Kebersaman dalam Taman Baca menjadi kunci proses belajar baik bagi relawan, pengelola, maupun warga belajar TBM. Maka, falsafah “Nutu Gabah” menjadi pilihan untuk pondasi proses residensi. Ketika gabah (mata biji-biji padi) berada dalam lesung dan ditutu menggunakan alu (alat penumbuk/pemukul), kemudian gabah-gabah mulai terkelupas kulitnya menjadi beras, semata bukan karena tumbukan/pukulan alu, tapi karena gesekan antar mata biji padi. Ibarat kata, para peserta adalah gabah-gabah yang setiap bijinya mengandung beras berkwalitas, sementara program residensi adalah wadah (lesung), dan materi residensi adalah alu yang dimainkan oleh pemateri/pembicara.

Bagi kebanyakan orang Jawa, umumnya mengenal istilah Mlampah Sinambi Ngolek Dalan (Melangkah Sambil Mencari Jalan). Apa yang tersirat dari istilah tersebut, tidak lain merupakan tuturan dan tuntunan dalam proses belajar. Dalam proses belajar tidak ada kata salah, yang ada adalah kurang tepat. Benar dan salah dalam proses belajar bukan hal yang bersifat mutlak, tapi lebih pada situasional, kondisional dan persoalan sudut pandang. Setiap peserta residensi dan pengelola Taman Baca punya potensi, kelebihan, dan sudut pandang masing-masing sesuai dengan bentukan kultur lingkungan setempat. Tinggal bagaimana mengelola potensi dan kelebihan tersebut dalam proses belajar bersama yang mampu menghasilkan energi saling berbagi. Untuk bisa saling berbagi, maka pengkondisian tempat dan lokasi residensi, pemahaman keterbukaan setiap peserta, kebersamaan saling menjaga dan saling membutuhkan, sampai kemudian melahirkan ikatan emosional yang kuat antar peserta maupun penyelengara, adalah syarat utama dalam berbagi potensi.

 

Mengunyah dan Memamah Amanah

Untuk mempraksiskan empat materi residensi amanah Bindiktara: Pertama, Manajemen TBM, pematerinya adalah Heny Wardaturrahmah, Ketua Forum TBM Provinsi Yogyakarta sekaligus founder Mata Aksara. Kedua, Jaringan dan Kemitraan, kita mengundang Kepala Desa Panggungharjo cum pendiri Kampoeng Dolanan dan Pojok Budaya Pandes, Wahyudi Anggoro Hadi sebagai pemateri. Ketiga, Menanamkan Jiwa Relawan, materi kita percayakan kepada Nanang Garuda, dosen jurusan Media Rekam, Institut Seni Indonesia sekaligus founder Museum Rumah Garuda. Keempat, materi Menulis Kreatif, kita minta Muhidin M Dahlan untuk mengolahnya. Selain empat materi tersebut, sengaja kita tambahkan satu materi lagi; Sorogan Esai (belajar mengedit tulisan esai) yang dipandu oleh Fairuzul Mumtaz, penulis sekaligus editor freelance. Sementara saya, kebagian jatah sebagai fasilitator keseluruhan materi residensi, mengawal dan mengedit karya tulis peserta residensi sampai terbit menjadi buku. Lalu dibagian apa dan mengambil peran bagaimana para relawan Kampung Literasi Iboekoe dalam Residensi Pegiat Literasi? Selain Ageng Indra  sebagai salah satu peserta residensi mewakili Iboekoe, ada Alfin Rizal dan Prima dibagian publikasi dan properti kebutuhan acara dibantu Suhairi. Fitria melakukan kerja-kerja dokumentasi dibantu Lukman. Nurul dan Icha mengurusi adminstrasi. Di luar tanggung jawab tugas kepanitiaan, mereka mengajak semua peserta melakukan wawancara di studio Radio Buku secara bergiliran. Sementara Safar Banggai,  mengurai dan mengingatkan hal-hal luput dari kepanitiaan.

Melalui materi Menejemen TBM, Heny Wardaturahmah mengajak semua peserta untuk memetakan potensi dan keunggulan TBM masing-masing dengan cara membuat kelompok diskusi kecil dan mempresentasikan hasil pemetaannya. Sementara Wahyudi Anggoro Hadi, membuka materi Jaringan dan Kemitraan dengan sebuah pertanyaan, “Siapa sebenarnya penyelenggara dan pelaksana negara?” Dari pertanyaan tersebut, kemudian terurai dengan gamblang bahwa penyelenggara dan pelaksana negara ada tiga unsur: rakyat, pemerintah, dan swasta. Ketiganya mempunyai peran dan fungsi yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika salah satu unsur tidak bergerak dan lumpuh, maka kebangkrutan sebuah negara akan tiba pada saatnya. Itulah kenapa ketiga unsur harus bermitra dan berjejaring dalam mencerdaskan dan kemandirian kehidupan bangsa. Tiba saat materi Menanamkan Jiwa Relawan, Nanang Garuda mengajak semua peserta nonton dan diskusi film dokudrama “Jas Merah Sang Garuda”. Sebuah film hasil riset untuk kebutuhan disertasi yang mencoba melacak sejarah lahirnya garuda sebagai lambang dan simbol negara. Ada ironi yang miris namun mampu menggugah semangat nasionalisme. Bela negara itu tidak harus dengan cara mengangkat senjata maupun latihan baris berbaris bergaya militeristik. Tapi dengan pengetahuan dan memudahkan akses buku bacaan sebagai wadah kemerdekaan berpikir itu sudah wujud nyata dari bela negara.

Memasuki materi Menulis Kreatif, Muhidin mengajak peserta melakukan empat perjumpaan dalam esai. Perjumpan pertama terkait Sejarah, Hasrat, Topik. Perjuampaan kedua: Membuka Diri, Membuka Esai. Perjumpaan Ketiga; Anatomi, Jembatan, dan Penutup. Sementara Perjumpaan keempat Kelancaran dan Penguasaan Ejaan. Menulis esai tanpa melakukan empat perjumpaan tersebut, maka jangan harap esai yang kita tulis mempunyai pondasi yang kuat dan asyik dibaca. Selanjutnya adalah materi Sorogan Esai bersama Fairuzul Mumtaz. Dengan mengambil dua contoh tulisan peserta, yaitu tulisannya Indah Yanti, peserta dari Kampung Literasi Atap Langit, Bangka, dan tulisan karya Mashambal Ghozali, peserta dari Istana Rumbia, Wonosobo. Kedua tulisan tersebut kemudian dibuka dan dibentangkan lewat layar proyektor, lalu dibedah dan diedit bersama-sama.

 

Mengayuh Sepeda, Menanam Cerita

Selain di Iboekoe, Jl. Sewon Indah, No. 1, dusun Prancak Glondong, lokasi kelas belajar bersama residensi juga dilakukan di Museum Rumah Garuda, Jl. Sewon Asri, dusun Sawit. Kemudian di Kampoeng Dolanan dan Pojok Budaya, dusun Pandes, sekaligus tempat peserta menginap selama 3 malam 4 hari. Pilihan tempat dan lokasi belajar selama residensi disesuaikan dengan penunjang kebutuhan materi kelas belajar bersama. Di luar kelas, peserta diberi kesempatan blusukan ke kampung dan kampus (ISI-Sewon dan AKBID), juga dusun-dusun menyusuri dinding-dinding rumah warga dengan aneka rupa karya visual publik; baik karya seni mural, graffiti, streat art, sampai karya instalasi orang-orangan sawah penjaga padi sekaligus media pengusir burung pemangsa biji-biji padi.

Tidak cukup blusukan pagi hari sambil mandi sinar mentari, atau sore hari melewati hamparan sawah dan melirik terbenamnya matahari di ufuk barat, peserta pun mendapat jadwal melancong dan plesiran ke Kampoeng Mataraman; menikmati distinasi edukasi wisata desa dengan suasana rumah-rumah Jawa berbentuk Limasan diantara hamparan areal persawahan dan pohon-pohon pekarangan yang rimbun. Duduk-duduk santai di bangku taman Kampoeng Mataraman atau bersenda gurau di bawah naungan atap pendopo sambil memainkan gadget dan selfie.

Tidak cukup melancong dan plesiran di Kampoeng Mataraman, malam Minggu menjelang hari terakhir dan penutupan residensi, para peserta melepas penat dalam riuhnya Festival Kesenian Yogyakarta #29 di Pyramid Art Space Jl. Parangtritis KM 4. Di area Festival Kesenian Yogyakarta, para peserta residensi seakan Umbar (Istirahat) dan Mak Byar (Plong/Lega) setelah melewati proses residensi.

Untuk menempuh jarak dan menjangkau satu tempat residensi ke tempat residensi lain, semua peserta mengayuh dan mengonthel sepeda Onta (sepeda tua dan klasik). Sepeda-sepeda mereka berjalan beriringan menyusuri jalanan dusun, kampung, dan desa. Sambil mengayuh sepeda, 19 orang pegiat literasi peserta residensi seakan menanam cerita yang akan mereka bawa untuk taman bacanya.

Guwosari-Bantul, 3 September 2017

Faiz Ahsoul, Koord. Iboekoe