Wisnu, nama panggilan anak laki-laki yang cerdas. Saat ini dia duduk di kelas 4 SD di Purwokerto. Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat dia selalu duduk pintu gerbang. Jam tangan selalu dilihatnya untuk mengingatkan saya untuk bermain bersamanya. Ya, saya di hari tersebut bermain pantomim bersama Wisnu dan teman-temannya.
Dia sangat berbeda dengan teman yang lainnya. Tak jarang dia mempersiapkan perlengkapan latihan di ruangannya. Terkadang sampai mencari kunci yang sempat hilang. Dia sangat antusias sekali mengikuti latihan pantomim. Sampai dia menanyakan kapan latihan kembali di setiap selesai latihan.
Cuaca cukup panas. Dengan ketukan pintu wali kelas Wisnu masuk dalam ruangan. beliau memanggil Wisnu dengan bisikan di telinganya. Saya tak bisa mendengar satu katapun. Tak lama kemudian dia murung sambil membawa tas. Air matanya keluar perlahan tak bisa dibendung. Baru beberapa langkah, dia berbalik memeluk tubuhku. Saya masih belum mengerti. Apa yang terjadi padanya.
“Ka, saya pamit ya” ucap Wisnu sambil bersalaman.
“Iya, tidak apa-apa.” Jawabku.
Guru menjelaskan padaku bahwasanya dia dilarang ikut pantomim oleh orangtuanya. Dengan alasan bahwa dia harus mengaji di setiap sorenya. Saya pun bisa memahaminya. Tidak ada yang salah dengan alasan tersebut. Saya pun melanjutkan latihannya kembali sampai selesai.
Saya pun berpamitan pulang. Ternyata Wisnu masih belum pulang. Dia berdiri di pintu gerbang. Saya menghampirinya. Kekecewaannya masih belum bisa terhilangkan. Saya mencoba menemani Wisnu sebelum pulang untuk mengatasi rasa kekecewaannya.
Pertama,saya berusaha memberikan pendampingan kepada Wisnu untuk menghadapi rasa kecewanya dengan memberikan penjelasan. Pendampingan ini bertujuan untuk membangkitkan kembali rasa percaya dirinya dan memberikan pembiasaan pada anak dalam menghadapi perasaan kecewa.
Selanjutnya saya mencoba menawarkan alternatif padanya seperti Wisnu boleh mengikuti latihan atau menonton temannya latihan dengan waktu yang berbeda. Jadi, tidak akan mengganggu kegiatan dia di rumah. Hal ini ternyata Wisnu sudah mulai tersenyum dan gembira. Dia sudah tak murung seperti tadi.
Tak ketinggalan juga saya dan Wisnu untuk berpikir bersama. Wisnu sudah terlanjur suka pada pantomim. Apalagi ditambah dia memiliki skill lebih unggul dibandingkan dengan teman-temannya. Kita berpikir bagaimana menyelesaikan masalah dan memberikan kesempatan pada Wisnu untuk diizinkan ikut latihan walaupun tak bisa mengiktu lomba. Ternyata Wisnu ikut berfikir. Dia pun memberikan solusi dengan menawarkan datang kerumahnya bersama-sama dan membujuk pada orangtuanya. Dan kami tetap menjaga sopan santun sebagai anak.
Dan terakhir ialah saya mencoba memberikan peneguhan padanya. Wisnu sudah mulai angkat bicara berarti dia sudah melewati rasa kekecewaannya. Perasaannya sudah mulai netral kembali.
“Wisnu, walaupun kau tak bisa mengikuti lomba, namun bukan berarti tak bisa ikut latihan. Bulan ini kita akan membuat pentas pantomim bersama teman-temannu” kataku padanya.
Wisnu menganggukan kepala. Dia sudah tak kecewa lagi. Kini saya mengantarkan wisnu pulang dengan senyuman.