Categories
Kabar TBM

SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK LITERASI MASA DEPAN

Mungkin, masih sedikit pengelola taman bacaan masyarakat (TBM) yang percaya jika kisah mereka sangat pantas untuk diabadikan. Kisah-kisah itu pada akhirnya, mungkin, akan terlupa begitu saja seiring berjalannya waktu, seiring pencapaian-pencapaian baru, dan seiring terciptanya aneka kisah baru. Jangankan untuk mendokumentasikan, banyak dari mereka malah menganggap kisah-kisah itu biasa saja dan serasa sungkan menuturkan sembari merasa bahwa di luar sana masih banyak TBM lebih hebat. Hal serupa jua terjadi di kesemestaan TBM Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah dengan identitasnya sebagai kota pelajar dan kota pendidikan.

“Forum tuh udah lama banget loh bikin bukunya,” demikian ungkap Heni Wardaturrohmah (saat itu menjabat Ketua Forum TBM DIY) saat berjumpa dengan anak-anak muda Forum TBM DIY, suatu hari menjelang pertengahan 2019. Setelah dibahas sembari bercanda-tawa, sebuah tujuan kemudian disepakati bersama – antar anak-anak muda di Forum TBM DIY. Sebuah kesepakatan yang mungkin akan mencatat sejarah baru bagi dinamika Forum TBM DIY. Hari-hari setelah pertemuan itu, sekumpulan anak muda dari 5 kabupaten/kota itu menamakan diri sebagai Tim Buku Forum TBM DIY. Tim ini bertugas menyiapkan sebuah buku bersama bagi  Forum TBM DIY. Mulai dari membahas teknis, pengumpulan dan penyuntingan naskah, menyiapkan perkara cetak, hingga memikirkan soal acara perilisan.

Tim ini sendiri sempat mengalami beberapa kali bongkar pasang anggota hingga akhirnya tinggal 10 orang tersisa. Heni Wardaturrohmah (TBM Mata Aksara), Adityo Nugroho (Info Literasi Jogja), Alfa Aulia Nooraya (TBM Harapan), Marsahlan (TBM Katamaca), Eki Syauqi Muhammad (mahasiswa), Beny Abdurrahman (TBM Akar Pelangi), Nana Yuliana (EduTalks), Muhammad Bintang Akbar (TBM Bintang Matahari), Ika Ariyati (TBM Teras Baca), dan Syaeful Cahyadi (Perpustakaan Umum Dusun Jlegongan) adalah sosok di balik Tim Buku Forum TBM DIY. Mereka bekerja mengumpulkan naskah demi lahirnya sebuah buku bersama di tengah kesibukan masing-masing. Tentu saja tanpa bayaran sepeser pun!

Target awal untuk mengumpulkan 30 tulisan (6 tulisan per kabupaten/kota) nyatanya tidaklah mudah. Ada kesulitan untuk memenuhi target tersebut di beberapa kabupaten. Alasannya beragam, mulai dari segi usia para pengelola TBM di daerah tersebut, kurang aktifnya forum TBM tingkat kabupaten, hingga alasan klasik berupa kalimat, “Jangan saya lah, mending lainnya saja.” Belum lagi jika bicara sosialiasi ke wilayah-wilayah yang harus menempuh jarak lumayan jauh. Atau, masalah-masalah klasik lain saat ada kontributor mengirimkan profil utuh berupa tabel karena menganggap buku ini akan memuat profil lembaga.

Pun demikian, bukan berarti tulisan-tulisan dalam buku ini disusun dan disunting apa adanya. Tim Buku Forum TBM DIY sendiri menyiapkan sebuah panduan kepenulisan bagi para kontributor. Penyuntingan dilakukan melewati beberapa proses, salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan swa-sunting di tahap-tahap awal. Naskah terkumpul diberi masukan dan catatan untuk kemudian dikembalikan lagi. Bukan bermaksud membuat repot tapi semata sambil memperkenalkan penyuntingan dasar untuk para pengelola TBM. Naskah baru disunting sebanyak 3 kali oleh para editor Tim Buku Forum TBM DIY setelah melewati proses swa-sunting.

“Tapi Forum TBM DIY tuh gak punya kas loh, cetaknya besok gimana enaknya?” cetus Heni Wardaturrohmah beberapa bulan setelah tim ini terbentuk. Di saat hampir bersamaan, kami menemukan fakta bahwa mayoritas tulisan dari para kontributor sangat identik akibat adanya panduan kepenulisan dari tim. Serta, fakta lain bahwa ada beberapa tulisan tidak layak naik cetak karena kuantitasnya terlalu pendek.

Setelah Semuanya

            Sabtu, 20 Februari 2021 pagi hari, di sebuah ruang virtual aplikasi Zoom, tiga orang pembedah mengulas sebuah buku bersampul putih dengan citra seorang kusir delman sedang membaca buku, lengkap dengan blangkon dan surjan bercorak bunga. Tujuh puluh lima peserta mendengarkan sembari sesekali mengirimkan pesan di chat room untuk bertanya atau mengomentari si pembedah. Ini adalah puncak dari rangkaian peristiwa untuk mengulang memori 2013 tahun saat untuk pertama kalinya Forum TBM DIY mengeluarkan sebuah buku bersama. Maka, ini adalah kali kedua Forum TBM DIY mencetak buku berisi kisah para pengelola TBM. Kali ini bahkan dengan lebih banyak tulisan terkumpul dan pihak yang terlibat.

Tim Buku Forum TBM DIY memilih judul ‘Warita dari Tanah Istimewa’ untuk buku ini. Warita sendiri berarti cerita atau kisah (diambil dari bahasa Sansekerta) sementara frasa ‘dari tanah istimewa’ dipilih sebagai representasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku ini berisi 23 naskah hasil tulisan 23 pengelola TBM (dari target 30 pengelola) dari 4 kabupaten (Kulonprogo, Bantul, Gunung Kidul, dan Sleman) serta 1 kota (Kota Yogyakarta) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahap sebelumnya terkumpul 26 naskah dan ada 3 naskah tidak lolos tahap akhir dengan satu-dua pertimbangan tertentu.

Lahirnya buku ini bukan hanya menjadi satu pencapaian luar biasa untuk Forum TBM DIY tetapi juga menjadi salah satu bentuk kekompakan para pegiat literasi di dalamnya. Salah satu contohnya, dana operasional untuk mencetak buku ini merupakan hasil gotong royong dengan sebagian besar datang dari pengelola TBM di Yogyakarta. Dalam konteks lebih kekinian, Warita dari Tanah Istimewa menjadi contoh bagaimana anak-anak muda para pengelola TBM mampu melahirkan satu gebrakan baru yang selama ini mungkin hanya bisa terwujud dalam angan-angan.

Jika bicara tentang kualitas, buku ini bukanlah kumpulan halaman yang berbicara tentang kalimat-kalimat rumit dengan diksi melangit. Ia bukan pula tentang sajak-sajak indah untuk mengantarkan makna yang malah membuat si pembaca mengernyitkan dahi. Jauh melebihi semua itu, buku ini adalah sebuah kumpulan kisah para sosok dengan sebutan pengelola TBM atau pegiat literasi. Penulis atau kontributor buku ini datang dari aneka latar. Mulai dari ibu rumah tangga, anak muda, hingga staf pengajar yang sepenuh hati membaktikan tenaga dan pikiran bagi membuminya literasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kisah mereka tidak selalu tentang suka, ada kalanya pula tentang duka. Bukan pula selalu tentang literasi eksklusif, bahkan acap kali tentang kisah-kisah sederhana dari sudut-sudut Yogyakarta.

Setelah semuanya, buku ini akhirnya telah mewujud dalam suatu bentuk fisik. Buku setebal 208 halaman ini berisi kisah-kisah yang sangat menarik tentang perjalanan 23 TBM di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekumpulan kisah yang semoga menjadi catatan sejarah bagi perjalanan literasi di sebuah tanah istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah catatan empirik, bukan datang dari peneliti atau pemerhati, namun dilahirkan langsung dari para pejuang literasi di sudut-sudut Daerah Istimewa Yogyakarta, dari rahim-rahim gerakan yang menjadi pelita kecil perjalanan literasi di kota ini.

Maka, mengutip judul lagu milik sebuah grup musik dari kota ini, semoga kisah ini kelak menjadi kisah klasik untuk literasi di masa mendatang. Sebuah kisah klasik tentang para pengelola TBM dengan segala arah langkahnya. Dengan segala haru biru di sebaliknya, dengan puspa rupa para penulisnya, ini adalah Warita dari Tanah Istimewa; dari Yogyakarta, untuk literasi Indonesia!

Leave a Reply