1.
Saya mengajak anak-anak untuk berdiri di halaman tempat kami biasa belajar. Anak-anak saya minta duduk melingkar dan diam beberapa saat.

“Sekarang pejamkan mata, dan apa yang kalian rasakan?” tanya saya diikuti dengan hembusan angin sejuk yang menerpa pepohonan hijau yang mengelilingi tempat kami belajar.

“Sejuk, Pak Guru!” jawab Aisah.

“Ya, anginnya yang semilir membuat sejuk,” tambah Bayu.

“Sejuk sekali,” seru Rafli.

“Sekarang buka mata kalian. Saksikan lingkungan sekeliling kalian. Amati dengan baik. Apakah kalian menemukan masalah yang harus diselesaikan di sekeliling kita?” saya bertanya.

Anak-anak diam beberapa saat dengan pandangan mengamati lingkungan sekeliling dengan cermat.

“Apakah kalian menemukan masalah?” tanya saya kembali.

“Halaman tempat kita belajar banyak sampah dedaunan Pak Guru,” jawab Diki.

“Ya, betul banyak sampah,” seru teman-teman lainnya.

Saya tersenyum senang. Sepertinya anak-anak menemukan satu persoalan yang sama: banyak sampah dedaunan yang berserakan.

….

Sampai di sini, tanpa anak-anak ketahui, saya telah berhasil mengajak anak-anak untuk menemukan dan mengidentifikasi masalah. Masalah yang bersumber pada hal-hal yang mereka rasakan. Hal yang anak-anak temui melalui pengamatan yang intensif atas lingkungan di sekitarnya.

2.
“Setelah kalian sepakat bahwa masalah yang ada di sekeliling kita itu adalah berseraknya sampah-sampah dedaunan ini. Maka pertanyaannya, kenapa masalah itu muncul dan bagaimana cara mengatasinya?” tanya saya kemudian.

Anak-anak diam. Semuanya berpikir. Mengerahkan daya imajinasinya untuk mencoba menyelesaikan persoalan atas permasalahan yang sudah anak-anak ungkapkan, yaitu tentang sampai dedaunan yang berserakan.

“Sampah ini berasal dari dedaunan yang rontok dari pohon-pohon di sekitar tempat kita belajar. Untuk itu, cara menyelesaikan masalahnya adalah dengan menebang pohon-pohon di sekitar, sehingga sampah-sampah bias diatasi,” usul Mughni.

“Jangan ditebang pohon-pohonnya. Sebab nanti lingkungan sekitar sini jadi panas dan tidak rindang lagi. Sekalipun masalah sampah dari reruntuhan dedaunan pohon-pohon di sini, tetapi menebang pohon bukan solusi tepat. Paling memungkinkan adalah selalu menyapu halaman dengan rajin,” usul Nanda.

“Wah, jika setiap hari kita menyapu dua sampai empat kali pasti capek. Seperti melakukan hal bodoh. Apakah tidak ad acara lain?”

…..

Ya, semua anak terus berpikir dan berdiskusi dalam mengimajinasikan cara menyelesaikan persoalan yang telah mereka identifikasi. Sampai kemudian anak-anak menyepakati hasil imajinasi yang menurut anak-anak paling tepat dalam menyelesaikan persoalan yang ada di sekeliling mereka.

…..

“Pak Guru, akhirnya kita menyepakati bahwa cara terbaik menurut kami dalam menyelesaikan persoalan sampah di sekeliling kita ini adalah dengan sehari tiga kali menyapu, yaitu pagi hari, siang hari, dan sore hari. Yang semuanya dilakukan dengan jadwal piket,” kata Sri mewakili teman-temannya.

Saya tersenyum senang pada anak-anak. Mereka telah bisa menemukan solusi atas imajinasi anak-anak dalam merasakan sebuah persoalan di sekelilingnya, dan menyelesaikannya dengan diskusi yang intensif antar anak-anak.

3.
“Setelah kalian menyepakati hasil imajinasi kalian dalam menyelesaikan persoalan sampah, maka Pak Guru minta, mulai sekarang buat rencana aksi dalam menyelesaikan masalahnya mulai besok. Apakah kalian siap?” tanya saya.

“Siap!” seru anak-anak senang.

Dan mulai esoknya, saya menyaksikan sendiri anak-anak membuat jadwal piket membersihkan halaman tempat belajar. Serta aksi-aksi anak-anak yang rutin setiap pagi hari, siang hari, dan sore hari selalu menyapu halaman tempat kami belajar dengan penuh suka cita.

…..

Di sinilah saya menemukan aksi nyata anak-anak dalam menyelesaikan persoalan berdasarkan pada hasil imajinasi mereka yang telah disepakati bersama. Karena telah menjadi kesepakatan bersama, maka saya melihat sendiri bahwa aksi nyata anak-anak dalam bekerja menyapu halaman tempat belajar dilakukan dengan sangat senang sekali.

4.
Di hari yang lain, saya kembali belajar bersama anak-anak di halaman tempat kami belajar yang sekarang rapid an bersih.

“Sudah seminggu kalian bekerja bakti secara bergiliran dalam membersihkan sampah-sampah di halaman tempat kita belajar. Sekarang, Pak Guru ingin kalian menceritakan pengalaman kalian dalam membersihkan sampah secara singkat di sini. Apakah ada yang akan memulai lebih dahulu!” kata saya kepada anak-anak yang antusias belajar.

“Saya, Pak Guru!” Wiwi angkat bicara.

“Silahkan!” jawab saya.

“Saya mendapatkan jadwal piket membersihkan sampah setiap hari Sabtu dan Minggu di sore hari. Awalnya saya kira hari itu tepat bagi saya. Tapi, setelah kegiatan piket membersihkan sampah dedaunan baru berjalan sehari. Ternyata hari itu saya sering diajak Ayah dan Ibu ke rumah Nenek yang sering sakit-sakitan. Awalnya saya bingung untuk ungkapkan persoalan ini pada teman-teman karena ini sudah menjadi kesepakatan bersama. Tapi, akhirnya saya ceritakan ke Pipit, ternyata Pipit mau menukar jadwalnya membersihkan sampah dedaunan itu dengan saya. Saya pun membersihkan sampah deduanan jadi hari Senin dan Kamis sore hari. Tentu saja, saya sangat senang membersihkan sampah dedunan, pekerjaan sederhana tetapi menyenangkan dan menyehatkan…”

Selanjutnya anak-anak satu per satu membagikan pengalamannya dalam melaksanakan kewajiban untuk membersihkan sampah dedaunan di sekitar tempat kami belajar. Anak-anaksangat antusias dan senang.

…..

Di sinilah anak-anak sedang dikondisikan untuk membagikan pengalamannya dalam membersihakan sampah dedaunan sebagai suatu kebutusan bersama dalam menyelesaikan masalah sekitar yang telah dirasakan, dimajinasikan, dan dilaksanakan.

Tentu saja, membagikan pengalaman sebagai refleksi diri anak-anak atas tugasnya dalam melaksanakan hasil keputusan bersama merupakan hal yang penting dan menarik pagi anak-anak. Hal ini disebabkan antar anak menjadi tahu pengalaman-pengalaman menyenangkan yang akan menjadi khasanah hidup anak-anak ke depannya.

5.
Semua penjelasan di atas menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan berpikir anak-anak melalui kegiatan: merasakan, mengimajinasikan, menemukan, dan membagikan menjadi suatu model kegiatan belajar yang kreatif bagi anak-anak khususnya dalam pengembangan kemampuan berpikir melalui kegiatan:

Merasakan atas berbagai persoalan yang ada disekeliling anak-anak, yang dapat diketahui melalui pengamatan oleh anak-anak, yang hasil pengamatan akan didiskusikan bersama anak-anak untuk mendpatkan kesepakatan atas persoalan yang dianggap krusial untuk diatasi.

Mengimajinasikan sebagai upaya atas mencari konsep dan gagasan paling tepat dalam mengatasi persoalan yang telah ditemukan dan disepakati secara bersama-sama oleh anak-nak, hasil imajinasi anak-anak adalah solusi yang telah disepakati bersama anak-anak.

Melalukan yaitu merealisasikan gagasan tentang mengatasi persoalan yang ada di lingkungan sekeliling nak-anak, hasil imajinasi sebagai solusi persoalan ini dilakukan dalam diskusi antar anak dalam menemukan cara penyelesaian terbaik menurut kesepakatan anak-anak.

Bagikan artinya setelah anak-anak melakukan aksi nyata dalam meyelesaikan persoalan, sehingga dengan dibagikan ini, anak-anak akan tahu kenyataan teman-teman lain dalam melaksanakan tanggung jawab untuk mengatasi persoalan, ini akan memberikan gagasan baru pada anak-anak dalam merefleksikan apa yang telah dilakukan, sehingga antar anak pun akan saling belajar yang menambah pengalaman dan pengetahuan baru.

Di sinilah tampak bahwa kegiatan belajar yang berbasis pada merasakan, mengimajinasikan, melakukan, dan membagikan merupakan kegiatan belajar yang akan mampu mengembangkan kemampuan berpikir anak-anak.

——-
HERU KURNIAWAN
Pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto
Penulis Buku Parenting dan Bacaan-Aktivitas Anak-anak
www.rumahkreatifwadaskelir.com WA. 081564777990
Ig. herukurniawan_1982 Email:

heru_1982@yahoo.com