Ini era milenial. Kami yang lahir di “era kolonial”, mesti tahu diri.

Selangkah lagi seorang lelaki berusia 31 tahun akan menjadi kanselir termuda Austria dalam sejarah, sekaligus pemimpin termuda di Eropa, menggeser posisi Emmanuel Marcon, presiden termuda Perancis di usia 39.

Patut menyimak gayanya yang “sungguh milenial”: gaul, pandai membangun jejaring, menghadiri berbagai pesta dan perayaan, berkumpul di pub, ikut gowes, dan terkoneksi dengan generasi muda yang sering tidak dilibatkan dalam keputusan politik.

Ketika ditawari menjadi Ketua Partai Rakyat, ia bersedia dengan syarat: kebebasan memilih rekan kerja tanpa melalui birokrasi partai.

Slogannya pun terkesan gaul, sangat simpel khas anak twitter 140 karakter, tapi tetap punya kedalaman makna: Black is Cool (Hitam itu Keren).

Teringat saat mengisi sesi “Strategi Menebar Virus Literasi di Indonesia”, di Pulau Dutungan, Barru dalam rangkaian “Barru Membaca Literacy Weekend and Bookcamp 2017”, beberapa waktu lalu. Di hadapan puluhan relawan literasi dari belasan komunitas literasi se Sulawesi Selatan yang hadir–rata-rata seusia dengan anak saya, Gen Y–saya memaparkan tentang “Kekuatan C” modal anak milenial yang terwujud nyata dalam “gaya” Kurz yang “gaul, pandai membangun jejaring, menghadiri berbagai pesta dan perayaan, berkumpul di pub, ikut gowes, dan terkoneksi dengan generasi muda yang sering tidak dilibatkan dalam keputusan politik serta menuntut kebebasan memilih rekan kerja”:

Collaboration
Communication
Community
Connectivity
Creativity
Crowd
Celebration
dan tetap:
CRITICAL THINKING

Empat di antara 8 C itu adalah kompetensi dasar yang diperlukan untuk menopang 6 indikator literasi dasar yang harus dijalankan jika ingin bertahan di era milenial ini.

Sungguh, generasi milenial bukan generasi yang menakutkan, jadi nggak harus dicurigai macam-macam. Mereka, warganet dengan multitalentanya dan bisa mengerjakan banyak hal dalam waktu yang bersamaan, cuma suka “mengejutkan”, yang kerap tidak kuat ditampung oleh jantung “generasi kolonial”.

Mereka pada dasarnya sangat literat. Saya yakin, mereka mau menjadi relawan literasi dengan BERBAGAI pola dan moda–karena sebagaimana halnya model demokrasi yang tidak “one size fit all”, tapi perlu dipadu dengan konteks lokal–asal menyenangkan buat mereka dan memenuhi unsur 8 C. Tetap gaul, happy-happy, memberdayakan tapi tidak mau diperdaya (simak ulang bagaimana Kurz mengajukan syarat saat diminta menjadi ketua partai. Dia cari yang “satu frekwensi” dalam berjejaring dan berkolaborasi, bukan semata sebagai petugas partai!).

Dan, di sini kuncinya, mereka tak semata berpretensi untuk “menjadi”. Tapi juga, “menjadikan“. Mereka ingin melihat warga sekitarnya tercerahkan, dan adik-adik yang datang ke taman bacaannya atau yang dijemputnya lewat pustaka berjalannya kelak bisa seperti Kurz. Saya merasakan hal itu, saat sesi tanya jawab dengan para relawan literasi muda dengan segala terobosannya di acara itu. Dengan segala apa yang mungkin disebut oleh generasi kolonial sebagai “pemberontakan” terhadap aturan, etika dan tatanan mapan yang menyamankan kaum tua.

Juga, harus dilengkapi dengan satu syarat lain, yang saya tangkap sangat kental dalam buku keren “Suara dari Marjin, Literasi Sebagai Praktik Sosial” yang ditulis Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah (Remaja Rosda Karya, Bandung, 2017): bukan pseudoliterasi. (Kalau mau tahu lebih lengkap tentang hal ini, silakan baca bukunya, yang mengajak kita untuk tidak semata sibuk membahas betapa tertinggal, terbelakang dan terbawahnya kita dalam urut-urutan negara literat dunia atau semata sibuk selfie-selfian sambil memegang buku dan menunjukkan jari-jemari membentuk huruf L).

Selamat datang Generasi Milenial.
Tak akan ada lagi kalimat, “Anak ingusan, tahu apa kamu. Sana, cuci kaki, sikat gigi, tidur. Ini urusan orangtua!”**