Awan berarak cerah tiada titisan hujan, pohon melambai tanda syukuran. Kususuri perjalanan bertemankan senyuman di hari ini, hari bahagiaku.
—dinukil dari lirik nasyid Selamat Hari Lahir (Saujana, 2000)
Sungguh, Allah maha romantis. Semua yang terjadi di atas muka bumi ini, nyaris tak bisa ditebak. Skenario dari-Nya penuh misteri. Semua berawal saat aku kembali ke kota kelahiranku Kota Kembang, Bandung dan bertemu dengan seseorang yang kuharap akan menghabiskan masa tua bersama. Eby, sosok lelaki yang sempat membuat hatiku berbunga-bunga siang dan malam. Sesaat kemudian dirinya meninggalkan kubangan lara. Harapan untuk menua bersama hanya sebatas mimpi, setelah pertengkaran hebat itu terjadi. Aku mencoba untuk tetap tersenyum dan yakin akan skenario terbaik dari-Nya. Semua akan indah pada akhirnya.
Siang itu, kurebahkan tubuhku pada sebuah kursi rotan panjang di depan teras rumah, sembari menikmati sentuhan angin yang berhembus sangat lembut, memberikan kedamaian dan kesejukkan bagi hatiku. Tiba-tiba di seberang rumah, kulihat ada lelaki yang tak asing lagi bagiku sedang duduk mengerjakan sesuatu dengan serius, dia terlihat begitu tampan dan aku terus memandanginya. Iya benar, dia adalah Doni sahabat karib Eby. Aku tertunduk tersipu malu dan mencoba menggali ingatan awal perkenalanku dengannya di sebuah toko elektronik. Suara khas darinya terus terngiang-ngiang di benakku. Aku pun tersenyum dan kembali masuk ke dalam rumah.
Hari terus berganti. Sebuah keyakinan kuat terus meneguhkanku, bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar, kalaupun ditakdirkan berjodoh pasti akan bersama apapun jua yang terjadi, begitu pun sebaliknya. Batinku terus berkecamuk. Apakah mungkin aku bisa memilikinya? Siapa aku? Aku berusaha bangkit dari keterpurukan serta rasa ketakutan yang kucipta sendiri. Mencoba membuka pintu hati dan membiarkan semua kemungkinan itu terjadi.
Witing tresno jalarane songko kulino.
Cinta bisa tumbuh karena sering bertemu.
Begitulah, pertama kali aku bertemu Eby saat masih di Kota Kembang. Kami sama-sama bergerak di bidang kegiatan bakti sosial peduli anak bangsa. Dari kegiatan dan berbagai pertemuan inilah, membuat kami sering bertatap muka dan menjalin komunikasi. Hingga akhirnya perasaan cinta itu tumbuh dan berkembang di antara kami berdua. Aku tak bisa melewatkan masa romantis itu. Saat Eby menyatakan cintanya di malam pergantian tahun, dimeriahkan pesta kembang api dan disaksikan jutaan manusia.
“Clara, Aku cinta padamu, maukah kau menerima cintaku!” teriak Eby di depan kerumunan banyak orang dan mereka memandangi kami berdua.
“Aku mau menerimamu, asal kau bisa membuatkanku pesta kembang api yang sangat meriah,” pintaku gembira. Seandainya waktu bisa diulang, aku akan meminta ia untuk setia bukan minta dibuatkan pesta kembang api, sayangnya?
Aku tersadar dari lamunanku.
Apa yang aku pikirkan? Kenapa aku mengingat kejadian itu lagi. Semua sudah berakhir, buang jauh-jauh pikiran tentang Eby dan sekarang yang harus kau pikirkan hanya masa depanmu. Haruskah aku berpikir tentang Doni saja?
Seiring berjalannya waktu, aku menjalin hubungan dengan Doni. Dia adalah sosok yang penuh sensasi, tidak mudah untuk orang baru bisa masuk kedalam hatinya. Pertama bertemu, dia kelihatan seperti orang yang galak, serem dan sombong, tapi setelah mengenal dia lebih dalam ternyata aku bisa jadi orang yang istimewa di hatinya. Hubunganku dengan Doni begitu penuh rasa, ada rasa amarah, rasa kekanak-kanakan, rasa cemburu, rasa kehilangan. Sesuatu yang berbeda yang aku rasakan saat aku berada didekatnya, aku merasa terlindungi dan aku sangat menghormatinya. Meskipun dia bukan sosok romantis, setidaknya aku berhasil melupakan Eby. Setelah 4 tahun menjalin hubungan hatiku semakin yakin ingin hidup bersamanya, kami berusaha menikmati pacaran jarak jauh. Tetap terus menjalin komunikasi dan menunjukkan perhatian setiap harinya melalui alat komunikasi.
Aku pasrahkan perasaanku pada sang pencipta, tak henti bibirku berucap. Ya Allah ikatkanlah hubunganku dengannya dengan tali pernikahan. Bagi kami jarak tercipta bukan untuk memisahkan, tetapi agar rindu ini terus hidup dan tak pernah redup di antara kami. Menanti kehadirannya adalah hal terindah dalam hidupku. Setelah sekian lama terpisah, kini tiba saatnya ia memenuhi janji suci. Doni datang ke pulau Sumatera.
“Senang sekali ya lihat aku datang?” Doni menggodaku.
Aku hanya bisa tersenyum dan tak bisa berkata apa-apa. Sungguh bertemu setelah lama berpisah itu sangat menyenangkan, aku pun sudah menjadwalkan semua kegiatan yang ingin aku lakukan bersamanya. Sampai dirumah tak lupa kukenalkan dia dengan ibu dan kakakku mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan, bertambah lagi alasanku untuk bahagia.
“Don, mau makan di Cafe Nara Keke?” tanyaku.
“Boleh, di mana tempatnya?” tanya Doni.
Setelah menunjukkan alamatnya dengan jelas. Kami pun bergegas. Ketika baru tiba di sana aku langsung ke Toilet, Doni yang mencari tempat duduk. Setelah dari toilet aku langsung mencari Doni, kulihat Doni tidak sendiri, ada sosok laki-laki yang menemaninya. Siapa itu? Aku langsung menuju tempat duduk Doni dan betapa kagetnya ternyata laki-laki itu Eby, aku terdiam dan bingung dengan keadaan ini.
“Clara, kenapa berdiri saja, duduk sini,” ajak Doni.
“Iii …ya,” aku menjawab dengan gugup.
“Selamat ya, Clara, semoga hubungan kamu langgeng sama, Doni.” Kata Eby sembari menjabat tanganku.
Seketika jantung ini berdegup kencang, kulihat wajah Doni dalam hatiku berharap Doni tidak terpancing omongan Eby. Tapi betapa kagetnya aku saat Doni berkata.
“Semua ini juga berkat kamu, Eby, aku bisa bertemu Clara. Oh ya, tahun depan insya Allah kami akan melangsungkan pernikahan,” ucap doni dengan wajah santai tapi serius.
Mendengar Doni berkata seperti itu, aku terkesiap bangkit dari kursi dan menuju pintu keluar café. Terdengar suara samar memanggilku. Aku terus berlari dan tak menghiraukan semuanya. Saat itu aku hanya ingin pergi sejauh mungkin, tanpa aku sadari dari kejauhan ada sebuah mobil melaju kencang, aku tak bisa mengelak seketika penglihatanku berubah menjadi gelap.
“Clara!”
Terdengar samar-samar seseorang memanggil namaku, perlahan kubuka mata dan kulihat ada seseorang yang sedang menangis sembari memegang tanganku dengan begitu erat. Aku masih terbaring lemah di rumah sakit.
“Kamu sudah sadar, Sayang?” tanya Doni.
Aku pun mengangguk pelan.
Kami berdua tersenyum tanda bersyukur.
“Maaf sayang, Aku harus segera pergi,” ucap Doni dengan sedikit menunduk.
Aku terdiam, membayangkan perpisahan itu lagi.
“Pergiku untuk kembali dan menghalalkanmu,” senyum merekah dibibir manis Doni menyakinkanku akan janji sucinya, tepat tanggal 05 Mei di hari kelahiranku, kami akan melangsungkan pernikahan.
Betapa aku bahagia mendengar kata-kata itu, aku tersenyum diiringi tetesan air mata bahagiaku. Betapa Allah maha romantis, semua akan indah pada akhirnya. Jangan pernah menyerah, karena Allah tahu apa yang lebih baik buat kita dan kita harus terus berusaha dalam doa.(*)