Categories
Artikel Opini

Suara Lain dari Lubang Kecil

Saya tidak mengatakan bahwa puisi-puisi sekarang jelek dari pada puisi-puisi dulu, akan tetapi saya memberi pandangan bahwa cara pandang penyair menulis puisi sekarang lebih reflektif dari pada kritis. Sehingga puisi yang lahir lebih puitis daripada analitis.

Oleh. Heri Maja Kelana

Belakangan masyarakat Indonesia dihebohkan dengan minyak goreng yang langka sehingga harganya menjadi mahal. Kasus ini menggelikan, Indonesia pengekspor Crude Palm Oil (CPO) tetapi di Indonesia sendiri minyak goreng langka dan mahal. Hal ini menjadi catatan buruk, terlebih yang menjadi tersangka adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan.

Belum lama ini di media sosial, banyak beredar amaran terkait ISBN (International Standard Book Number) “Berdasarkan Rekomendasi dari ISBN Internasional, buku hasil dari kegiatan siswa dan gerakan literasi tidak diberikan ISBN. Silahkan diterbitkan sendiri”. Pada teks tersebut tertada TIM ISBN.

Pertama yang akan saya soroti dari teks email TIM ISBN ini adalah kesalahan penulisan “silahkan” seharusnya ditulis “silakan”. Di sini saya melihat ada pola pikir ketergesaan dari TIM ISBN yang notabene sebagai institusi pemerintahan di bawah Perpustakaan Nasional.

Pola pikir ketergesaan dalam memecahkan masalah ini sebenarnya banyak terjadi pada institusi pemerintahan. Atau mungkin hal ini sebuah instruksi langsung dari presiden, terkait pemecahan masalah yang harus segera diatasi. Padahal apabila dilihat serta dikaji, masalah yang dipecahkan menimbulkan masalah baru. Sebagai contoh kasus pada dunia pendidikan, ketika terdampak pandemi kemarin.

Pada tulisan ini saya tidak akan membahas minyak goreng atau ISBN juga kasus-kasus lainnya yang terjadi di Indonesia. Saya hanya ingin membahas puisi di Hari Puisi Nasional sekarang ini.

Sebagai seorang penulis puisi, saya sering memerhatikan puisi yang terbit di koran-koran atau buku-buku. Bahkan beberapa kali saya mengisi kelas kepenulisan puisi yang diadakan oleh temen-temen Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Puisi-puisi yang saya baca sudah terbuka serta bebas dari ancaman politik. Maksud saya, di zaman sekarang puisi sudah tidak lagi berada pada ketakutan doktrin pemerintahan serta politik. Akan tetapi, puisi justru sedang berada dalam amcaman yang hebat. Yaitu ancaman kapitalis.

Pada esai Oktavio Paz “The Other Voice” atau “Suara Lain”, mengatakan bahwa “Pada paruh kedua abad ke-18 terdapat gagasan-gagasan dan wawasan yang agak kompleks dan penuh kekuatan, sentimen-sentimen, aspirasi-aspirasi, dan mimpi-mimpi – yang jelas, ada yang gila – yang menggumal pada Revolusi Prancis dan Amerika.”

Saya sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Paz, puisi yang dulu penuh dengan gagasan, wawasan, serta penuh kekuatan, sekarang sudah tidak lagi kuat. Bahkan cenderung cair dan hanya memotret peristiwa.

Paz juga mengatakan bahwa kehidupan dan zaman sekarang ini bermula dari Revolusi Prancis dan Amerika. Begitu pula terjadi pada ranah politik, filsafat, serta Pendidikan. Lalu puisi berada di pihak mana dan pihaknya siapa sekarang?

Menjadi penting untuk diperhatikan, bahwa lemahnya puisi akan berkaitan dengan lemahnya ranah filsafat serta pendidikan. Puisi yang apabila dilihat pada masa lalu sangat intim dengan filsafat serta pendidikan, bahkan tidak sedikit demagog memanfaatkan puisi sebagai alat politiknya. Namun sekarang, sistem kapitalisme yang menguasai berbagai elemen dari teks puisi, mulai dari tanda hingga makna. Kapitalis memperlihatkan keperkasaannya menguasai puisi, lebih dari seorang diktator.

Kapitalis Memperlihatkan Keperkasaannya

Lantas apakah akan terjadi ekses terhadap masyarakat? Jawabannya “ya”. Sebagai contoh kecil, apakah kita sekarang berpikir secara ilmiah ketika mengkritik? Saya tidak yakin bahwa mengkritik di zaman sekarang ilmiah serta netral. Terlebih sesuatu yang ilmiah itu kalah oleh suara warganet.

Kemunculan kapitalis berbarengan dengan modernitas, di mana salah satu cirinya adalah kebebasan (liberty), kesamaan (equality), persaudaraan (fraternity). Saya menyorori “kebebasan” dan “kesamaan”.

Kebebasan dan kesamaan ini menimbulkan masalah yang sangat pelik, terjadi bukan hanya di Indonesia, pun di negeri-negara maju di Eropa juga di Amerika. Tetapi hal ini dibalut dengan persaudaraan (fraternity), yang menjadikan masyarakat seolah-olah damai, tentram, serta harmonis. Lalu apa yang dikatakan dalam puisi?

Puisi berada pada ancaman yang nyata. Ancaman yang meninabobokan kekuatan puisi, mengolah puisi menjadi kebutuhan pasar, karena sudah tidak ada lagi orang yang berdiri di depan membacakan puisi melawan ketidakadilan. Puisi sudah menjadi bagian dari arus besar kapitalisme.

John F. Kennedy berbicara bahwa “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Pertanyaan sekarang adalah siapa yang akan membersihkan ketika kapitalis kotor serta bengkok? Kapitalis di sini sedang memperlihatkan keperkasaannya.

Puisi Suara Lain dari Lubang Kecil

Saya tidak mengatakan bahwa puisi-puisi sekarang jelek dari pada puisi-puisi dulu, akan tetapi saya memberi pandangan bahwa cara pandang penyair menulis puisi sekarang lebih reflektif dari pada kritis. Sehingga puisi yang lahir lebih puitis daripada analitis. Mungkin juga pengaruh dari narasi koran, majalah, televisi, hingga media sosial yang seragam.  Sehingga teks melahirkan imperium tanda-tanda, tetapi tanda-tanda tersebut kosong. Yang terdapat hanya buaian, membuat pembaca tenang serta rileks.

Di Hari Puisi Nasional, saya sebagai penulis dan penikmat puisi merasa bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena masih ada yang mau dan terus menulis puisi, sedih karena puisi masih menjadi suara dari lubang kecil. Puisi belum kembali perkasa seperti ketika dulu Chairil “mengorek dan menggali kata hingga dalam”.

Kembali pada apa yang saya sampaikan di awal tulisan ini terkait kasus minyak goreng serta ISBN, bahwa ini adalah visualisasi realitas yang lahir dari liberty dan equality.

Tabik.

Leave a Reply