Judul: Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: Cet. IV 2021
Tebal: 176 hlm

Saat kita berhadapan dengan sesuatu yang salah, maka secara refleks hati kita menyatakan ketidaksetujuan. Tapi, persoalannya, tidak semua ketidaksetujuan itu kita ekspresikan secara nyata melalui perkataan dan tindakan yang melawan. Hal inilah yang sering terjadi pada diri perempuan.

Banyak hal di sekeliling kita sebagai perempuan, baik dalam bentuk kenyataan sosial dan budaya, yang salah dan tidak selaras dengan diri perempuan. Misalnya, kenyataan agama, sosial, dan budaya yang memandang perempuan cukup di rumah saja, tidak perlu bekerja dan sekolah, hingga dilarang untuk unggul dari laki-laki.

Kenyataan ini tentu membuat suara perempuan ingin melawan. Tapi, apakah perempuan berani untuk melawan? Kenyataan yang kita jumpai tidak. Perempuan banyak memilih untuk diam dan menghilangkan suara perlawanan dari hatinya. Dari sinilah, ketidakadilan terhadap perempuan yang dikonstruksi agama, sosial, dan budaya terus melembaga dengan kuat di masyarakat kita.

Problematika inilah yang kemudian semangatnya disajikan dalam Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini. Novel yang selesai ditulis pada tahun 1996 ini mengangkat suara suara perempuan yang melawan atas konstruksi agama, sosial, dan budaya yang tidak berpihak pada perempuan.

Konstruksi agama, sosial, dan budaya ini diprototipekan dengan masyarakat Bali, di mana masalyarakat Bali yang beragama Hindu hidup dalam struktur kasta dengan budayanya yang patriakhi. Dari sinilah, tokoh-tokoh perempuan seperi Sekar (Kenanga), Telaga, dan Sari dihadirkan sebagai juru suara perempuan yang melakukan perlawanan terhadap konstruksi agama, sosial, dan budaya yang tidak berpihak pada perempuan.

Suara perempuan itu diparadekan oleh Sekar yang merupakan anak perempuan Sudra, yang ibunya korban kekejaman atas keluarga PKI dan pemerkosaan. Sekar dan ibunya hidup dalam kemiskinan yang akut. Kenyataan ini membuat sekar berambisi untuk bisa menikah dengan lelaki Brahmana.

Dengan cara inilah, Sekar bisa mengatasi persoalan sejarah, kemiskinan, dan sosialnya. Jalan yang ditempuh Sekar adalah dengan menjadi penari Bali. Dengan perjuangannya menjadi penari Sekar berhasil menikahi anak keluarga Brahmana Pidada. Sekar pun hidup cukup dan menjadi Brahmana.

Tapi, persoalan itu tidak cukup di situ. Saat menjadi keluarga kaya Brahmana, Sekar justru semakin menderita dengan berbagai persoalan keluarga yang tidak menerimanya. Pertengkaran dengan ibu mertua, lingkungan, hingga suaminya sendiri. Semua terjadi karena Sekar adalah permpuan Sudra.

Suara Sekar sebagai prototipe perempuan terus dibungkam oleh lingkungannya yang patriarkhi. Ini membuat hidup Sekar tidak bahagia. Sekar menderita. Bahkan, ketika anaknya sudah besar, Telaga, Sekar terus berpolemik dengan lingkungannya.

Persoalan Sekar semakin memuncak ketika Telaga, anak yang dicintainya telah dewasa. Sekar sangat ingin Telaga bisa mewarisi mimpinya untuk jadi perempuan Brahmana yang terbaik. Tapi, Telaga malah memilih menikah dengan Sasmitha dari kalangan Sudra yang dicintainya.

Tanpa disadari, Sekar yang berganti nama menjadi Kenanga kini menjadi bagian budaya patriarkhi sendiri. Sekar bangga dengan ke brahmanaannya. Bangga dengan keptriarkhiannya sendiri. Di sinilah, idealisme Sekar yang dulu pun luntur.

Pertanyaannya, demikiankah karakter suara perempuan melawan yang mudah terbungkam dengan kenyataan yang sudah menjadi bagian dari dirinya sendiri? Inilah ruang kritik atas Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini.

Di satu sisi, novel ini mengangkat suara perempuan yang kritis dan melawan atas konstruksi agama, sosial, dan budaya yang tidak berpihak pada perempuan. Akan tetapi, suara suara perempuan yang melawan dalam novel ternyata dibuat problematik. Perempuan dengan suara melawan yang direpresentasikan oleh Sekar dan Telaga ternyata bernasib tragis.

Dua perempuan yang berhasil meraih mimpi perlawanannya membuat keduanya mengalami ketragisan hidup dalam keberhasilan perlawanannya. Sekar terus mennderita dalam kebrahmanaan yang diinginkannya, sedangkan Telaga juga menderita dalam pilihan cinta dan kesudraannya.

Jika demikian adanya maka Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini menyatakan suatu sikap betapa konstruksi agama, budaya, dan sosial masyarakat kita telah menciptakan siapapun yang melawan pasti kalah dalam ketidakbahagiaan. Jika demikian adanya maka ini memberikan ruang penting untuk gerakan bersama dalam memperbaiki tatanan keagamaan, kesosialan, dan kebudayaan yang lebih menjujung kesetaraan buat kita sesemua

Litbang Forum TBM