Malam dingin saya melangkah keluar rumah. Udara yang cukup dingin membuat badan sedikit menggigil. Jaket tebal pun tak mampu menghangatkannya. Langkahku ku percepat untuk mengurangi rasa dingin. Teman-teman sudah menunggu di tempat nongkrong. Beberapa gelas kopi hangat dan sebungkus rokok sudah tersedia sebagai teman tambahan.

Kami pun ngobrol dengan celoteh canda. Saya di tengah gerombol mendengarkan curhatan selama aku merantau di kota sebelah. Tak tahu apa yang dibahas. Intinya kami bisa senang dan berkumpul dengan teman.

“Tib, kamu bawa buku? Nongkrong saja bawa buku.” Kata temanku tiba-tiba.

Yah, baru pertama kali aku membawa buku di depan teman sejawat. Bukan karena niatan ingin mengenalkan buku ataupun memamerkan bahwa sedang menularkan literasi. Akan tetapi, saya sekadar sedang asyik baca buku yang sedang dinikmati. Memang kalau sudah asyik membaca pasti inginnya cepat diselesaikan.

“Tidak kok. Ini lagi nanggung sebentar lagi selesai.” Jawab saya singkat sambil menyeruput kopi.

Saya baru menyadari bahwasanya sedang di tengah orang-orang yang belum menikmati buku. Membaca buku di tengah pegiat literasi, pelajar, mahasiswa, sekolah mungkin sudah biasa. Bagaimana bilamana kita satu-satunya yang sedang membaca di tengah lingkungan yang tidak membaca. Apalagi orang yang sedang ngopi dan merokok kita seperti sorotan sok pintar, sok kotaan, sok mahasiswa dan lain sebagainya.

“Tib, dulu ya kita pernah ngaji bareng, sekolah bareng, main bareng. Tapi sekarang kok malas banget. Tapi jujur ya, aku sebenarnya pengan belajar, ngaji lagi dan kerja.” Cerita panjang dari temannya lagi.

“Iya, Tib. Coba apa yang kamu lakukan di Purwokerto diterapkan di kampung sendiri.” Sambung temannya lagi sambil menghisap seputung rokok.

Tadinya penuh dengan canda tawa. Sekarang beralih lebih serius. Mereka tertuju fokus padaku. Saya diam sejenak. Mengambil nafas pelan untuk mensterilkan pikiran dan hati. Saya sedikit berdosa pada kampung halaman. Saya belum bisa berbuat apa-apa untuk kampung halaman.

Tak ada kata lain selain saya harus belajar dari mereka yang memiliki semangat. Literasi tak sekadar membaca. Literasi tak sekadar memberikan buku untuk dibaca. Literasi lebih dalam bagaimana membaca alam untuk bisa menuju ahsani taqwin. mereka bukan orang tak tahu tapi orang yang ingin tahu.

Tidak ada yang lebih keren dari pada hati. Hati adalah pondasi cinta. Hati adalah alat komunikasi menuju Sang pencipta. Literasi menjadi bagian spiritual dalam kegiatan nafas masih bekerja. Menjauhlah dari golongan maghdub dan mendekatkanlah pada addholin. Walaupun masih berkurang dalam literasi namun tulus untuk mengabdikan untuk alam dan semesta.

Literasiku belum cukup sampai di sini.[]