Sangat tepat membicarakan soal literasi di tengah perayaan Sumpah Pemuda.
Kita lebih sering membicarakan Sumpah Pemuda sebagai momentum penting persatuan nasional. Pertemuan para pemuda dan organisasi pergerakan kepemudaan dari berbagai daerah pada 27-28 Oktober 1928 itu selamanya akan dikenang sebagai salah satu konsensus terpenting dalam perjalanan sejarah bangsa ini.
Dari sejak Sekolah Dasar kita diajarkan hal itu. Dan banyak dari kita yang mungkin masih ingat versi ringkas dari tiga butir ikrar yang disepakati di Kramat Raya itu:  bertumpah darah satu, bertanah air satu dan berbahasa persatuan yang satu yaitu Indonesia.
Tiga ikrar yang di kemudian hari dikenal sebagai Sumpah Pemuda itu secara verbal menyatakan nasionalisme terhadap tanah air yang saat itu masih berada dalam tindasan kolonialisme.

Tentu saja, para pemuda itu bukan generasi pertama yang tidak menyukai penjajahan. Riwayat perlawanan terhadap kolonialisme Spanyol, kemudian Portugis dan akhirnya Belanda jauh lebih tua ketimbang Sumpah Pemuda.

Berbagai perlawanan, baik dalam skala kecil hingga yang mengobarkan perang akbar, sudah terjadi di berbagai pulau di seantero Nusantara.
Hanya saja, perlawanan terhadap kolonialisme pada abad 20 memang sangat berbeda dengan perlawanan-perlawanan sebelumnya.
Yang paling membedakan adalah metode perlawanannya. Kolonialisme tidak lagi dihadapi semata-mata dengan senjata, melainkan dengan cara-cara modern melalui organisasi, surat kabar, hingga diskusi dan rapat-rapat akbar.
Kita tidak bisa memahami mengapa hal itu bisa terjadi tanpa menyinggung berkah yang justru disediakan oleh kolonialisme: pendidikan.
Politik Etis memungkinkan sekolah-sekolah modern bermunculan dan pelan-pelan dapat diakses kaum bumiputera. Kendati awalnya sangat segmented dan hanya dapat diakses oleh sedikit sekali kaum bumiputera, namun yang sedikit itulah yang kemudian mengerek gerbong perubahan.
Para pemuda yang berkumpul di Kramat Raya pada 27-28 Oktober 1928 adalah kelompok kecil elite bumiputera yang dapat mengakses pendidikan.
Para pemuda yang hadir di Kramat Raya itu adalah generasi kedua, bahkan ada yang ketiga, dari kelompok para aktivis pergerakan yang mengabadikan hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Mereka tidak lagi termakan oleh iming-iming, atau bujuk rayu, atau hoax jika menggunakan istilah sekarang, yang mengatakan bahwa bersama Belanda adalah sebaik-baiknya pilihan.

Bacaan dan teori-teori politik yang mereka akses membuat mereka tidak lagi percaya bahwa Belanda adalah “majikan yang alami”.
Kendati tumbuh dalam sistem pendidikan kolonial, mereka tahu bahwa bercokolnya Belanda bukanlah proses alamiah, juga bukan takdir yang tidak bisa ditolak.
Kehadiran Belanda itu sudah dimengerti sebagai buah dari proses politik ratusan tahun lamanya, proses yang banyak di antaranya berisi kekejian, darah dan air mata.
Abad 20 memungkinkan mereka mendapatkan asupan informasi yang cukup bahwa gelombang dekolonisasi, arus perlawanan terhadap kolonialisme, juga terjadi di berbagai belahan dunia yang sebagian besarnya hanya pernah mereka dengar dari bahan bacaan.
Mereka kenal Jose Rizal dari Filipina, Kemal Attaturk dari Turki, hingga Sun Yat Sen dari Tiongkok. Mereka paham bahwa Eropa tak selamanya digdaya, dan Asia tak selamanya menjadi pecundang.
Mereka sudah khatam berbagai cerita tentang, misalnya, mengapa Jepang secara menggegerkan berhasil mengalahkan Kekaisaran Rusia pada awal abad 20.

Literasi, pada akhirnya, memainkan peran yang sangat mendasar dalam proses dekolonisasi Belanda di tanah air.

Pengetahuan dan kecakapan
Per definisi, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan literasi baca tulis sebagai pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, dan menggunakan teks tertulis untuk mencapai tujuan.
Jauh sebelum rumusan itu ditemukan, para pemuda yang menelurkan Sumpah Pemuda (juga para seniornya yang melahirkan Boedi Otomo, Sarekat Islam hingga Indische Partij) sudah mempraktikkan hal itu. Mereka adalah generasi yang sangat cakap dan bermutu tinggi dalam hal literasi.
Dengan segala macam keterbatasan, mereka mampu memanfaatkan setiap serpihan informasi yang diperoleh untuk membaca gerak sejarah dunia dan merumuskan langkah-langkah strategis untuk kepentingan pergerakan nasional.
Tidak hanya melek literasi, mereka adalah generasi yang jauh dari kata cupet. Mereka tidak cupet dalam pergaulan, tidak pernah membatasi pergaulan.
Mereka berjejaring dengan koleganya dari Eropa yang berambut pirang, dengan rekan-rekannya yang berkulit cokelat dari India, dengan yang bermata sipit di Tiongkok, hingga yang berhidung besar dari Timut Tengah dan Afrika Utara.
Mereka menyadari bahwa kolonialisme tidak identik dengan ras dan suku, dan perjuangan pun harus dilakukan dengan berjejaring bersama siapa pun yang mau berbagi solidaritas. Apa pun agamanya, bangsanya, bahasanya, ras dan etnisnya.
Mereka adalah anak-anak tanah airnya, sekaligus anak-anak dunia. Menjunjung tinggi tanah yang dipijak kakinya dan langit di atas kepalanya, namun sekaligus membuka diri pada berbagai hal baik yang datang dari mana pun dan kapan pun.
Inilah pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda.
Literasi terbukti sangat menentukan dalam sejarah bangsa ini. Tugas kita bersama adalah memastikan bahwa literasi itu pula yang akan membimbing bangsa ini menyongsong masa depan yang lebih baik.[]
Editor: Wisnu Nugroho (Kompas.com)