Categories
Opini

Membaca Bikin Kreatif dan Imajinatif

Inilah kisah tentang Fatur. Anak usia TK yang sudah gemar membaca buku. Meskipun aku tau, ia belum bisa membaca buku. Tapi ia selalu memintaku dan orang yang ada di sekelilingku untuk membacakan buku.

Setiap pulang sekolah, ia selalu balap lari bersama Vista ke taman baca. Berebut buku lalu duduk di pangkuanku. Hanya untuk memintaku membacakan buku. Buku ini dan itu. TIdak cukup satu buku. Bahkan lima sampai sepuluh buku.

Setelah hampir selesai dibacakan buku, aku menyodorkan sebuah buku. Di dalamnya ada gambar kura-kura. Ada dinosaurus. Ada ikan. Ada telor. Ada buaya. Dan ada burung.  Lalu, aku memintanya untuk bercerita.

“Aku tidak bisa membaca, Ka.” ucapnya.

“Ayo, cobalah ceritakan. Pasti kamu bisa” Jawabku sambil mengusap kepalanya.

“Ceritakan saja gambarnya” tambahku.

“Baik Ka. Kucoba, ya.” Jawabnya.

Baru hitungan detik, ia mengambil buku yang ada ditanganku dan mulai bercerita malu-malu.

“Suatu saat dinosurus pergi ke sungai. Dinousaurus mencuri telor burung. Ia kabur. Menyebrangi sungai dan meloncat ke punggung kura-kura. Kura-kuranya terbalik dan dinousaurus tenggelam”

Siapa sangka, bocah sekecil itu bisa bercerita! Cerita yang begitu kreatif! Begitu imajinatif!

Aku paham betul fatur sama sekali belum bisa baca. Inilah ajaibnya membaca. Membaca bukan hanya sekadar membaca tulisan di dalam buku. Tapi juga membaca hasil pengalaman cerita. Membaca apa yang dibacakan seseorang kepadanya.

Luar Biasa!

Categories
Opini

Ayahku Malaikatku, Guruku Pustakaku #4

Antara Aku, Waktu, dan Guruku

Guruku. Guruku itu Pak Guru. Pak Guru itu kaya akan ilmu, suka berbagi ilmu, dan tidak suka menyianyiakan waktu. Saat sore, guruku selalu membaca buku dan menunggu. Menunggu anak-anak yang haus perihal ilmu. Mengajak anak-anak bermain dan berkarya dengan media buku. Guruku juga sepertihalnya perpustakaan berjalan. Yang seketika ditanya tentang ini dan itu selalu saja menghadirkan jawaban kreatif dan diluar ekspektasi kebanyakan orang. Bahkan apa yang disampaikan mampu merangsang ide gagasan anak-anak dan relawan hingga tumbuh berkeliaran.

Sesibuk apapun menjadi relawan, guruku selalu mengatakan satu hal. Sempatkan waktu untuk berkarya. Jangan menjadi relawan yang menyerupai lilin, menyala terang untuk banyak orang tapi ia sendiri luntur terbakar.

Malam hari. Adalah saat-saat yang mulia bagi relawan. Setelah pagi dan siang mengalirkan keringat untuk mengabdi dan mengabadikan ilmu untuk masyarakat, kini girilan relawan duduk santai melingkar penuh khidmat. Tidak lain hanya untuk menantikan seseorang. Yang sekali bicara membuat semuanya terdiam. Tidak ada satu hal pun yang ingin terlewat. Kata-katanya begitu menyihir semangat relawan. Siapa lagi kalau bukan guruku.

Setiap malam. Setiap malam guru itu selalu meluangkan waktu. Membimbingku dan memotivasiku. Tersebab hobiku bermain dengan buku maka saya menggeluti dunia kepenulisan dan dunia buku. Berbagai kompetisi lomba pun disarankan untuk selalu ambil bagian oleh sang guru. Alhasil, atas bimbingan yang disertai iklim kompetisi yang ketat antar relawan mendorongku mengikuti berbagai ajang perlombaan. Hasilnya adalah Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional 2016, TOP 20 Nominator Cipta Esai Tingkat Nasional 2016, Juara II Pemuda Pelopor Bidang Pendidikan Tingkat Provinsi Jawa Tengah 2017, Juara I Pemuda Pelopor Kabupaten Banyumas 2017, dan berbagai kejuaraan lainnya.

Apa yang semua dilakukan bukanlah untuk eksistensi relawan. Namun untuk membiayai kontrakan dan pendidikan. Ya, semua relawan didik untuk mandiri dan tidak berharap pada uluran tangan. Menulis buku dan ikut perlombaan adalah cara relawan mendapatkan penghasilan. Dalam memenuhi kebutuhan.

Begitulah yang diajarkan oleh guruku. Guruku yang mengajarkan kebaikan dan kemandirian. Guruku yang meluangkan waktunya hingga larut malam. Guruku yang membangun pikiran dan wawasan. Guruku yang membuat lingkungan sekitar berpendidikan. Kaulah Guruku, Kaulah Pustakaku!

Guruku, pustakaku!

 

Antara Sekarang dan Masa Depan

Apa yang diperbuat saat ini adalah penentu apa yang akan didapat di masa depan. Begitu juga dengan apa yang dilakukan teman-teman relawan pustaka hari ini. Mengabdikan dirinya untuk membimbing dan mendampingi masyarakat dengan buku sebagai media berkegiatan. Setidaknya apa yang dilakukan relawan pustaka hari ini tidak hanya mencerdaskan diri pribadi namun juga dapat melahirkan generasi masyarakat yang berkarakter, masyarakat yang cerdas, dan masyarkat yang berwawasan luas.

Categories
Opini

Ayahku Malaikatku, Guruku Pustakaku #3

Antara Rela dan Melawan

Bukan suatu hal yang mudah untuk menjadi relawan. Terlebih relawan pustaka. Tanggung jawab dan kewajiban harus selalu dihadirkan. Mulai dari kegiatan membaca buku. Mengisi tas yang selalu dibawa pergi dengan buku. Bercerita kepada orang disekitar tentang buku. Selalu ada di setiap kerumunan anak-anak, remaja dan orang tua yang tidak lain untuk membicarakan dan menceritakan tentang buku. Membangun komunikasi yang bagus terhadap orang lain dengan media buku. Menulis sebagai bentuk eksplorasi hasil pengalaman membaca buku. Mempublikasikan tulisannya ke media massa dan penerbit buku. Dan, mengajak orang disekitar untuk gemar membaca buku.

Menjadi relawan tidak seindah apa yang dibicarakan bukan? Begitulah pengalaman menjadi seorang relawan. Mungkin begitu juga teman-teman relawan lainnya. Melaksanakan kewajiban dan banyak hal di atas keterbatasan. Menebar kebaikan sebagai media investasi masa depan. Oleh sebabnya, relawan itu setidaknya memiliki dua sisi. Terkadang rela dan terkadang melawan.

Rela. Rela untuk berjuang memikirkan masa depan orang disekitar. Rela mengeluarkan tenaga untuk mencangkul tanah yang dipenuhi pepohonan lebat. Yang kemudian disulap sebagai tempat bermain dan belajar masyarakat. Rela setiap hari mengumpulkan pundi-pundi rupiah (sistem jimpitan 500-1000 rupiah per relawan) untuk membuat kegiatan masyarakat yang meriah. Rela menghutang untuk pengadaan barang penunjang.

Melawan. Melawan ketentuan yang telah disepakati diri sendiri dan teman-teman. Melawan untuk memenangkan ego sendiri dalam memenuhi kebutuhan. Dan melawan dengan segala bentuk perlawanan yang menyakitkan. Meski sampai saat ini tak berani diucapkan.

Diantara dua sisi yang dimiliki relawan, Pak Guru selalu menyampaikan beberapa hal. Lampaui keterbatasan dan tebarlah kebaikan. Keterbatasan. Keterbatasan bukan menjadi alasan. Alasan yang dijadikan untuk tidak melakukan banyak hal. Oleh sebabnya, keterbatasan harus dilawan. Meski tidak memiliki sesuatu (terbatas), akan tetapi kita masih bisa berpikir untuk mendapatkan (sesuatu yang diinginkan).

Kemudian menebar kebaikan. Menebar kebaikan itu sama dengan menebar harapan. Meskipun kita tidak berharap untuk mendapatkan imbalan atas kebaikan yang dilakukan namun barangkali setidaknya anak-anak keturunan kitalah yang nantinya akan mendapatkan keberkahan.

Categories
Opini

Ayahku Malaikatku, Guruku Pustakaku #2

Begitulah kisah tentang aku dan Ayahku. Tapi aku masih saja ingin menenalkan berbicara perihal ayah. Aku teringat ayahku. Ayahku adalah malaikat yang suka bermain, bercanda, dan tertawa lepas bersama anak-anak kecil di sekelilingnya. Bukan denganku. Mengesalkan! Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti itu. Namun tanpa disengaja kemarin saya baru saja menemukan sebuah buku. Buku yang sederhana. Berisi kisah nyata dan penuh makna. Buku itu berjudul “Cara Terbaik Mendidik Anak Sendiri Adalah Dengan Cara Mendidik Anak Orang Lain”. Seketika itu aku tersadar. Barangkali itu pula cara yang paling baik yang dilakukan ayahku. Mendidikku dengan mendidik anak-anak disekitarku.

Kecintaan ayahku pada anak-anak mengalir dalam diriku. Itulah yang membuatku sampai saat ini suka bermain dan belajar dengan anak-anak. Saat aku sudah kuliah semester tiga takdir mempertemukanku dengan dosen Bahasa Indonesia. Pak Heru Kurniawan namanya. Namun ia lebih akrab ditelinga dengan sebutan Pak Guru. Saat orang-orang memanggil pak guru ya itulah Heru.

Saat itu pak guru menampilkan film kegiatan bersama anak-anak komunitasnya, Rumah Kreatif Wadas Kelir. Selesai memutar film, dosen tersebut menawarkan teman-teman mahasiswa di untuk menjadi relawan di tempatnya. Namun, tidak satu pun mahasiswa mengacungkan jarinya.

Sehari setelah itu, temanku mengajak untuk bermain ke tempat Pak Guru. Saya pun terdiam. Menghela nafas panjang. Dan berpikir tidak terlalu dalam. Sore itu juga saya sampai di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Tampak anak-anak kecil sedang duduk melingkar. Mata berbinar penuh semangat belajar. Membaca selembar kertas kecil. Lalu mulai bermain bersama salah satu relawan yang belum kukenal. Betapa bahagiannya melihat anak-anak generasi bangsa yang sejak kecil belajar dan buku sebagai media bermain bersama.

Saat itu pula saya bertemu dengan Pak Guru. Meminta bergabung untuk menjadi relawan. Seketika itu beliau memandangku dengan tajam dan menampakkan kedua bola mata yang seolah-olah mempertanyakan keseriusanku menjadi relawan.

“Besok kau harus sudah ada di sini. Saya hanya beri waktu satu hari. Atau tidak menjadi relawan sama sekali!”

Demikian kata-kata yang sontak membuat hatiku terkejut dan mengutuk pikiran hingga harus berpikir panjang.

“Ki Hajar Dewantara tidak suka dengan orang yang ragu-ragu dalam mengambil keputusan”

Begitu tambahan kata yang menyempitkan pikiran sekaligus membulatkan tekadku. Tanpa ragu. Malam harinya aku meninggalkan Ayah dan keluargaku. Ibu hanya mengantarkanku sampai depan pintu. Aku pun pamit mencari ilmu. Sesak tangis terdengar merdu dari bilik pintu. Kupalingkan wajahku dan berjanji untuk menghapus air mata itu dengan ilmu.

Semenjak itulah saya mejadi relawan pustaka di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Bergabung untuk mencapai visi misi bersama. Mengabdi dan mengabadikan ilmu semata. Mengabdikan diri dengan belajar mengelola dan memfasilitasi masyarakat. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua. Tujuannya menjadikan masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Selanjutnya, mengabadikan ilmu dengan membaca. Membaca buku, membacakan buku ke anak-anak, membaca untuk mengkampanyekan buku pada masyarakat, membaca untuk belajar, membaca untuk berkarya, hingga membaca agar hidup sejahtera.

Categories
Opini

Ayahku Malaikatku, Guruku Pustakaku #1

“Bacalah!”

Demikian kata perintah pertama yang melandai Nabi Muhammad. Kata yang sederhana. Penuh makna.

Hatinya dipenuhi rasa gemetar mengutuk pikiran. Bibirnya pun tidak mampu berucap. Hawa dingin menjulur menyelimuti tubuh Nabi Muhammad.

“Ma ana bi qari”

(Saya tidak bisa membaca)

Kata demikian diulang tiga kali olehnya untuk menjawab perintah membaca yang diperantarai Malaikat Jibril. Ya, Nabi Muhammad saat itu tidak bisa membaca dan tidak tahu apa yang harus dibaca. Setelah dipeluk oleh malaikat Jibril dan dibisikkan kata perintah membaca yang terakhir, barulah beliau paham dan mengerti.

Demikian pula kata perintah yang melandai pada diriku.

“Diwacani bukune! Ngko dadi teyeng!”

(Bukunya dibaca! Nanti jadi bisa!)

Begitu kalimat perintah yang sampai di daun telingaku setiap di penghujung maghrib. Kata-kata itu berasal dari lelaki berkepala empat dengan bibir merah kehitam-hitaman. Ya, Ayahku. Malaikat pembaca ulung yang berteman baik dengan secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok Djarum.

Saat itu aku hanyalah anak kecil yang duduk di kelas satu SD. Layaknya anak kecil yang lainnya lebih suka bermain dari pada membaca. Jika disuruh untuk membaca, aku pun bingung. Mengapa harus membaca? Buku apa yang harus kubaca? Dan satu pertanyaan lagi. Setelah membaca, jadi bisa apa?

Ketegasan dan sikap keseriusan malaikatku, selalu membuatku takut dan memaksaku untuk masuk ke ruang tidur sekaligus ruang belajar kecilku. Tidak lebih sekadar untuk membaca beberapa lembar buku. Meskipun pada akhirnya kepalaku jatuh dan tersangga oleh kedua tanganku yang melipat di atas meja persegi.

Malaikat tidak pernah bosan. Selalu saja memerintahku untuk membaca. Sejak aku masih duduk di bangku SD hingga lulus SMA. Entah apa yang diinginkan olehnya. Namun setidaknya saya menjadi tahu, dari hasil pengalaman membaca saya telah mengantarkan saya sebagai anak yang selalu ranking sepuluh besar dalam kelasnya. Baik saat SD maupun SMA. Satu hal lagi yang saya juga tidak tahu sebabnya secara pasti, setiap kali ada kegiatan, teman-teman selalu menunjukku untuk memimpinnya. Untuk berbicara di didepannya.

Ingat. Ini bukan berarti saya sedang mengagungkan diri pribadi, akan tetapi barangkali itulah sebagian kecil yang saya rasakan manfaatnya dari hasil pengalaman membaca. Mungkin itu pula yang diinginkan oleh malaikatku. Agar aku bisa suka dengan buku. Agar aku bisa gemar membaca buku. Agar aku bisa berprestasi. Dan, agar aku mampu memberi lebih manfaat kebaikan kepada orang lain.*

Categories
Opini

Library Tour

Mendirikan perpustakaan di rumah adalah salah satu cara terbaik agar kita selalu menjadi sahabat setia buku. Namun, belum cukup sampai di situ. Ada banyak hal pula yang seru kita lakukan agar nyawa buku lebih terasa dalam tubuh kita. Ya, karena buku ternyata bukan hanya menjadi media untuk dibaca saja. Lebih dari itu, buku juga bisa mengajak kita untuk belajar menulis dan mengantarkan kita untuk bertualang menggali segala informasi yang tak pernah diduga. Buat komunitas taman baca yang kebetulan ada di dekat lingkungan kamu, coba buat wisata edukasi asik yang lebih mendekatkan kita dengan dunia buku sesungguhnya. Lewat kunjungan menarik dan jalan-jalan seru ke tempat-tempat alternatif, akan menambah pengalaman wisata perpustakan berkesan.

Berikut tempat yang mesti kamu kunjungi secara rutin:

• Penerbit

Semua orang pasti pernah membaca buku. Tapi, tahukah, buku yang sedang kamu baca itu punya cerita menarik dalam proses pembuatannya. Mulai dari proses penulisan, editing sampai masuk ke percetakan. Perjalanan mulai dari penggalian ide sampai menjadi wujud buku yang bisa kita dapatkan di toko buku itu cukup panjang. Makanya, dengan kita berkunjung ke penerbit buku, semua kisahnya itu bisa kamu dapatkan. Kita jadi tahu bagaimana kalau ingin pengalaman kita bisa dituangkan dan dijadikan buku. Selain itu dengan berkunjung ke kantor penerbit, kita bisa banyak tahu hal terutama soal apa saja kriteria penulisan yang jadi standarisasi agar bahan tulisan layak untuk dibukukan.

• Redaksi Majalah

Sama halnya dengan penerbitan buku. Proses penerbitan media berkala (surat kabar dan majalah) juga melewati tahapan penulisan, editing dan cetak. Namun, proses penggodokan yang dilakukan di redaksi lebih ketat dan cepat. Berita yang akan di angkat mesti sesuai dengan fakta dan segera diinformasikan. Karena sifat medianya berkala. Kalau kita berkunjung ke redaksi seperti masuk ke dalam dapur masakan. Semua ide yang muncul dalam rapat redaksi dikemas, lalu ditulis berdasarkan investigasi langsung di lapangan dan penelusuran bahan pustaka. Kemudian para reporter menyetorkan kepada editor untuk di cek dan ricek hasil tulisannya. Setela tulisan dan foto lengkap, tim visual mempercantik dalam suguhan layout majalah. Sampai pada akhirnya masuk percetakan dan didistribusikan ke lapak-lapak koran dan toko buku. Setiap redaksi majalah pasti akan senang jika para pembacanya punya niatan mengunjungi markasnya. Maka, tak usah sungkan, coba main-main ke salah satu redaksi yang sesuai dengan komunitas kamu.

• Toko Buku

Suka baca, mesti suka datang ke toko buku. Kalau sudah menjadi aktifitas rutin, berarti kamu sudah benar-benar mengenal dan pentingnya sebuah buku. Kini, tularkan kebiasaan kamu kepada teman-teman yang lain. Ajak, para anggota komunitas untuk secara berkala berwisata ke toko buku. Mungkin terdengar aneh, kok berwisata ke toko buku. Tapi ini adalah suatu sikap penting buat membiasakan kepada anak-anak. Memupuk sejak dini untuk selalu mencintai buku.

• Bertemu Penulis/Editor

Punya penulis favorit? Atau kagum dengan kisah yang kita baca dari sebuah buku? Tentu pembaca akan kagum dengan sang penulisnya. Dan, keinginan untuk mengenal lebih dekat terus bergelora. Membuat janji ingin bertemu dengan penulis punya banyak manfaat. Dari sana kita bisa mendapatkan pengalaman langsung bagaimana cara menulis yang baik. Bagaimana penulis bisa meyakinkan penerbit atas karyanya.

• Taman Baca

Sebagai pengelola taman baca sudah semestinya saling bersilaturahmi. Berkunjung ke taman baca lainnya bisa saling bertukar pengalaman dalam hal pengelolaan taman baca. Karena taman baca itu unik. Tiap taman baca punya ciri yang khas. Sesuai dengan karakternya di tempat masing-masing.

• Klub Baca

Coba gabung dengan klub-klub baca yang ada. Nimbrung di klub akan menambah wawasan pengetahuan kita. Berdiskusi perihal satu buku dengan prespektif pembaca masing-masing. Dengan bernkunjung ke klub baca, kita akan menjadi tahu bagaimana seharusnya menyikapi sebuah buku.

• Pameran Buku

Biasanya buku-buku yang ada di toko buku itu sangat cepat berubah keberadaanya. Buku-buku yang kurang mendapat sambutan yang cukup baik akan cepat ke luar dari rak. Namun, bukan berati buku tersebut jelek. Bisa jadi cukup penting buat sebagian orang. Nah, salah satu cara untuk memburu buku lama itu adalah dengan mengunjungi pameran buku.

• Penjual Buku Bekas

Kalau lagi cari buku-buku lama dengan harga murah biasanya kita pergi ke pasar loak yang menjual buku bekas. Memang agak kumuh tempatnya. Tidak senyaman kalau pergi ke toko buku yang wangi. Tapi, tempat satu ini memiliki sensasi beda. Selain harga yang ada disini sangat murah, sebenarnya kita bisa mendapatkan pelajaran lain yang luar biasa. Ya, belajar dari sosok penjualnya. Si Penjual sangat menghargai buku-buku yang dijajakannya. Lewat kegigihannya merawat buku, kita sebagai pembaca merasa tertolong dalam mencari pilihan bahan pustaka yang dibutuhkan.