Sudah kukatakan pada diriku sendiri, jangan lagi-lagi meminjamkan buku pada siapa pun. Kalau kemudian, ketika kau terima buku itu dalam keadaan buruk, kau akan misuh sepanjang jalan sampai tanpa sengaja ban depan sepeda motormu menggilas ekor dari kucing buluk yang mengantuk berat dan tepar di pinggir jalan itu.
“Nggeoong!” teriak kucing itu kemudian lari terbirit-birit. Padahal aku ingin meminta maaf padanya. Sialnya, sepanjang mataku yang terus mengikuti ke mana arah ia berlari, aku terbayang wajah temanku yang berkata, “besok kupinjam lagi, sekarang sedang banyak sekali tugas kuliah.” Bodo amat, kataku dalam hati. Mataku saat itu sulit lepas dari ujung sampul depan yang melengkung, halaman yang dicoret-coret pulpen dan warnanya sedemikian pudar. Aku nyaris tidak mengenali lagi buku milikku sendiri. Aku baru membeli buku itu di sebuah pameran buku sebulan lalu, baru kubuka belum dibaca seluruhnya dan seorang teman mampir ke rumah, tertarik lalu meminjamnya—mana bisa aku menolak, sedang ia melihat rak buku di kamarku begitu banyak buku-buku yang masih disegel yang barangkali ia yakini belum semuanya khatam kubaca. Satu bulan kemudian aku mendapati bukuku seperti habis nyemplung di comberan.
Keparat!
Apa ia tidak pernah membeli buku? Atau ia mengira buku-buku yang kumiliki dapat diberi cuma-cuma dari penerbit? Atau memang ia terlatih untuk meminjam buku, merusaknya dan akan dikembalikan ketika si peminjam menagihnya? Ah, wirog buntung!
Dadaku sedemikian panasnya, bahkan mentari di atas ubun-ubun tak lagi kupedulikan. Ini jalanan untuk pertama kalinya kulewati—dan barangkali yang terakhir kalinya. Aku tidak sudi datang ke rumahnya lagi hanya untuk mengambil bukuku yang dipinjamnya. Baik hati betul aku ini. Keparat kuadrat. Jalanannya buruk, perangai orang-orangnya buruk, lebih-lebih pemerintahnya. Sialnya, aku satu kota dengannya dan dengan orang-orang buruk lainnya.
“Pilih kami, maka akan kubangun kota ini jadi lebih baik,” Silit borok! Kehancuran kota, kok, dirayakan. Aku nyaris lupa ini musim pemilihan walikota. Suara yang barusan kudengar, rupanya berulang-ulang diucapkan oleh tim suksesnya, di sebuah lapangan bola samping jalan raya yang padat disesaki bejubel orang dan membuat macet tak ketulungan. Apa mereka sebegitu murahnya? Dibayar nasi bungkus, kaos gambar si calon yang sudah pernah menjabat—dan tidak memberikan perubahan baik selama hampir 5 tahun—, dan mungkin uang sepuluh ribuan lima lembar untuk lima tahun berikutnya—ditambah stiker-stiker.
Aku muak sekaligus iba pada orang-orang yang gila jabatan. Apa hidupnya tidak akan bahagia bila tidak melakukan hal itu? Tunggu, apa kebahagiaan yang ingin ia capai? Dan orang-orang berkerumun itu, tidakkah dilihatnya jalanan berlubang, bangunan-bangunan kumuh berderet, taman kota yang lebih sering dijadikan tempat mesum, bendera-bendera partai yang tugasnya menutup markah dan rambu lalu lintas juga spanduk-spanduk kecil yang tumbuh di pohon-pohon itu? Masihkah mereka merasa dipedulikan dan percaya soal, “akan kubangun kota jadi lebih baik”? Aduuuh, kotaku…, mestikah kupeduli kau?
Barangkali, baiknya kotaku tak perlu lagi ada pemimpin. Tak ada pengaruhnya di mataku.
“Setop!” Seorang nenek menghentikan lajuku dan juga pengendara lainnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Jemari keriputnya menggenggam sebuah papan bundar dengan gagang setengah meter, dicat merah dan bertuliskan apa yang barusan ia katakan pada kami. Lalu ia mengangkatnya setinggi yang ia bisa lakukan. Mulanya aku tidak mengerti sampai kemudian aku sadari dua meter di depan ada sebuah rel kereta. Detik berikutnya sebuah kereta melaju kencang. Suaranya betul-betul mengganggu, tapi aku merasa terselamatkan. Sebab paling tidak, suara orator abal-abal di lapangan tadi lenyap untuk sesaat.
“Silakan…,” ucap nenek itu bergetar. Seketika orang-orang berebut jalan seolah dua menit kemudian jalanan itu akan ambruk. Sedangkan aku masih berdiam. Entah apa yang melintas di benakku, maksudku, mana dahulu yang harus kupikirkan? Jadi, aku parkirkan sepeda motor di pinggir rumah gubuk yang nenek itu tinggali.
“Apa yang barusan nenek lakukan? Bukankah itu bahaya?” tanyaku menghampiri kursi yang barusan didudukinya. Ia sesaat terlihat tidak peduli. Membuang muka dariku dan menyesap, mungkin, secangkir kopi di sebelahnya.
“Paling tidak kamu masih bisa melihat aku setua apa sekarang.”
“Memangnya, sudah berapa lama nenek melakukan hal begitu tadi?”
Aku menebak ia sedang membagi energinya dan jatah bicaranya. Jadi, cara ia menjawab cukup merentangkan kelima jari tangan kanannya dan jari kirinya membentuk bulatan.
“Lima puluh tahun?” Apalagi yang bisa ditebak orang dari isyarat itu? Kemudian ia mengangguk. Tak sedikit pun aku bahagia telah berhasil memecahkan petunjuknya.
“Dapat dana dari pemerintah? Minimal, dari PT. KAI?” belum nenek itu menjawab, aku terus nyerocos yang ditujukan lebih kepada diriku sendiri, “aku heran, di jalan ini tidak ada kantor pengawasan atau apa pun dari lembaga pemerintah. Lima puluh tahun? kupikir pemerintah kita sedeng!”
“Kamu sudah terlalu banyak bicara. Apa yang kusuka maka akan kulakukan. Peduli amat soal-soal begituan. Bikin pendek umur,” katanya enteng. Aku terkesima dengan apa yang dikatakannya? itukah rahasia panjang usianya?
Setelah ia menyeruput sisa kopinya sampai tandas, ia pamit untuk masuk ke rumahnya—yang diawal kukatakan gubuk tadi.
“Tunggu, Nek….”
“Apalagi? Kau ingin kuseberangi sekalian? Tenang saja, kereta akan lewat sekitar enam jam dari sekarang, kau akan baik-baik saja.”
“Bukan itu…, begini…,”
“Kenapa mendadak sulit sekali bicara? Hidupmu sudah merdeka, apa pun bebas kau katakan dan lakukan hari ini.”
“Boleh kujadikan cerpen?” aku lupa berkisah kalau aku gemar menulis. Buku yang dipinjam kawanku di pembuka tadi adalah buku dari penulis idolaku. Jadi wajar adanya bila aku murka sedemikian rupa.
“Apanya?”
“Kisah nenek barusan, atau soal nenek dan kereta, atau apa pun yang sudah nenek katakan tadi….”
“Apa kau janji kalau kubolehkan akan lekas angkat kaki dari sini?”
Aku mengangguk menunggu kalimat berikutnya keluar. Sialnya, ia malah terus melangkah lambat memasuki pintu rumahnya.
“Jadi apa jawabannya, Nek? Boleh atau tidak?”
“Kupikir hanya nenek-nenek macamku saja yang boleh tuli.”
“Maksudnya, Nek?”
“Selain tuli, ternyata kamu juga bodoh, ya. Tadi kukatakan, hidupmu sudah merdeka, apa pun bebas kau katakan dan lakukan hari ini.”“
Jadi?”
“Pergilah sekarang.”
Entah mengapa, baru kali ini aku merasa begitu gembira. Rupanya masih ada orang yang asyik diajak berbincang di kota ini. Tanpa buang waktu, aku gegas meluncur ke rumah. Ada cerita yang harus kutuliskan. Paling tidak sebelum orang lain mendahuluiku, bisa jadi kaulah itu orangnya.
Cilegon, 08 Agustus 2017