Categories
Berita

Siapa Saja Penulis Favorit Sandiaga Uno?

Tentu menjadi sebuah kejutan saat Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno mengajak ketemuan. Berbincang soal sepakterjangnya saat remaja,  tentang apa yang akan dilakukan untuk Jakarta dan kegemasannya dalam berapresiasi. Saat saya bertandang, Bang Sandi juga bercerita soal kegemarannya membaca dan penulis favoritnya.

Saat ditanya siapa pengarang favoritnya, cowok yang dikenal dengan jurus bangonya itu  dengan sumringah mengatakan, “ Kalo soal pengarang lokal, nggak ada yang bisa menyaingi Pramoedya Ananta Toer,” buatnya novel tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca sungguh luar biasa dan nyaris memenangkan nobel sastra. Empat novel yang sempat dilarang oleh pemerintah itu  tak dihargai di negeri sendiri. Padahal, karya-karya Pram pernah diterjemahkan ke dalam 36 bahasa.

Kalo dari kalangan penulis muda, bang Sandi memfavoritkan E.S Ito lewat karyanya Rahasia MeedeMisteri Harta Karun VOC. Kejeniusan pengarangnya yang menggabungkan antara sejarah dan fiksi memikat siapapun yang suka dengan teka-teki. Buat bang Sandi, E.S Ito adalah Pram muda.

Nah, kalo yang terakhir bukan karena teman akrabnya. Bang Sandi menyukai  penulis Ahmad Fuadi karena karya-karyanya yang penuh dengan pesan hebat dan mengajarkan bahwa kita harus selalu optimis dalam melihat masa depan. Novel Trilogi: Negeri 5 Menara, Ranah 3 Warna dan Rantau 1 Muara telah membuka semua daya imajinasi dan sangat inspiratif serta menjadi bacaan wajib buatnya.

Ketiga penulis idolanya tadi terus menggedor spirit cowok alumnus SMA Pangudi Luhur dalam setiap aktifitasnya. Makanya, lewat kegiatan #JakartaBerlari bang Sandi kerap berbagi ke tempat-tempat mengasikan, salah satunya ke Taman Baca Masyarakat. “A good reader makes a good leader’. Seorang pemimpin adalah pembaca yang baik. Pergi ke Taman Baca dan perkaya khasanah anak muda, “ pungkasnya. (*)

Categories
Cerpen

Nenek Penunggu Kereta

Sudah kukatakan pada diriku sendiri, jangan lagi-lagi meminjamkan buku pada siapa pun. Kalau kemudian, ketika kau terima buku itu dalam keadaan buruk, kau akan misuh sepanjang jalan sampai tanpa sengaja ban depan sepeda motormu menggilas ekor dari kucing buluk yang mengantuk berat dan tepar di pinggir jalan itu.

“Nggeoong!” teriak kucing itu kemudian lari terbirit-birit. Padahal aku ingin meminta maaf padanya. Sialnya, sepanjang mataku yang terus mengikuti ke mana arah ia berlari, aku terbayang wajah temanku yang berkata, “besok kupinjam lagi, sekarang sedang banyak sekali tugas kuliah.” Bodo amat, kataku dalam hati. Mataku saat itu sulit lepas dari ujung sampul depan yang melengkung, halaman yang dicoret-coret pulpen dan warnanya sedemikian pudar. Aku nyaris tidak mengenali lagi buku milikku sendiri. Aku baru membeli buku itu di sebuah pameran buku sebulan lalu, baru kubuka belum dibaca seluruhnya dan seorang teman mampir ke rumah, tertarik lalu meminjamnya—mana bisa aku menolak, sedang ia melihat rak buku di kamarku begitu banyak buku-buku yang masih disegel yang barangkali ia yakini belum semuanya khatam kubaca. Satu bulan kemudian aku mendapati bukuku seperti habis nyemplung di comberan.

Keparat!

Apa ia tidak pernah membeli buku? Atau ia mengira buku-buku yang kumiliki dapat diberi cuma-cuma dari penerbit? Atau memang ia terlatih untuk meminjam buku, merusaknya dan akan dikembalikan ketika si peminjam menagihnya? Ah, wirog buntung!

Dadaku sedemikian panasnya, bahkan mentari di atas ubun-ubun tak lagi kupedulikan. Ini jalanan untuk pertama kalinya kulewati—dan barangkali yang terakhir kalinya. Aku tidak sudi datang ke rumahnya lagi hanya untuk mengambil bukuku yang dipinjamnya. Baik hati betul aku ini. Keparat kuadrat. Jalanannya buruk, perangai orang-orangnya buruk, lebih-lebih pemerintahnya. Sialnya, aku satu kota dengannya dan dengan orang-orang buruk lainnya.

“Pilih kami, maka akan kubangun kota ini jadi lebih baik,” Silit borok! Kehancuran kota, kok, dirayakan. Aku nyaris lupa ini musim pemilihan walikota. Suara yang barusan kudengar, rupanya berulang-ulang diucapkan oleh tim suksesnya, di sebuah lapangan bola samping jalan raya yang padat disesaki bejubel orang dan membuat macet tak ketulungan. Apa mereka sebegitu murahnya? Dibayar nasi bungkus, kaos gambar si calon yang sudah pernah menjabat—dan tidak memberikan perubahan baik selama hampir 5 tahun—, dan mungkin uang sepuluh ribuan lima lembar untuk lima tahun berikutnya—ditambah stiker-stiker.

Aku muak sekaligus iba pada orang-orang yang gila jabatan. Apa hidupnya tidak akan bahagia bila tidak melakukan hal itu? Tunggu, apa kebahagiaan yang ingin ia capai? Dan orang-orang berkerumun itu, tidakkah dilihatnya jalanan berlubang, bangunan-bangunan kumuh berderet, taman kota yang lebih sering dijadikan tempat mesum, bendera-bendera partai yang tugasnya menutup markah dan rambu lalu lintas juga spanduk-spanduk kecil yang tumbuh di pohon-pohon itu? Masihkah mereka merasa dipedulikan dan percaya soal, “akan kubangun kota jadi lebih baik”? Aduuuh, kotaku…, mestikah kupeduli kau?

Barangkali, baiknya kotaku tak perlu lagi ada pemimpin. Tak ada pengaruhnya di mataku.

“Setop!” Seorang nenek menghentikan lajuku dan juga pengendara lainnya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Jemari keriputnya menggenggam sebuah papan bundar dengan gagang setengah meter, dicat merah dan bertuliskan apa yang barusan ia katakan pada kami. Lalu ia mengangkatnya setinggi yang ia bisa lakukan. Mulanya aku tidak mengerti sampai kemudian aku sadari dua meter di depan ada sebuah rel kereta. Detik berikutnya sebuah kereta melaju kencang. Suaranya betul-betul mengganggu, tapi aku merasa terselamatkan. Sebab paling tidak, suara orator abal-abal di lapangan tadi lenyap untuk sesaat.

“Silakan…,” ucap nenek itu bergetar. Seketika orang-orang berebut jalan seolah dua menit kemudian jalanan itu akan ambruk. Sedangkan aku masih berdiam. Entah apa yang melintas di benakku, maksudku, mana dahulu yang harus kupikirkan? Jadi, aku parkirkan sepeda motor di pinggir rumah gubuk yang nenek itu tinggali.

“Apa yang barusan nenek lakukan? Bukankah itu bahaya?” tanyaku menghampiri kursi yang barusan didudukinya. Ia sesaat terlihat tidak peduli. Membuang muka dariku dan menyesap, mungkin, secangkir kopi di sebelahnya.

“Paling tidak kamu masih bisa melihat aku setua apa sekarang.”

“Memangnya, sudah berapa lama nenek melakukan hal begitu tadi?”

Aku menebak ia sedang membagi energinya dan jatah bicaranya. Jadi, cara ia menjawab cukup merentangkan kelima jari tangan kanannya dan jari kirinya membentuk bulatan.

“Lima puluh tahun?” Apalagi yang bisa ditebak orang dari isyarat itu? Kemudian ia mengangguk. Tak sedikit pun aku bahagia telah berhasil memecahkan petunjuknya.

“Dapat dana dari pemerintah? Minimal, dari PT. KAI?” belum nenek itu menjawab, aku terus nyerocos yang ditujukan lebih kepada diriku sendiri, “aku heran, di jalan ini tidak ada kantor pengawasan atau apa pun dari lembaga pemerintah. Lima puluh tahun? kupikir pemerintah kita sedeng!”

“Kamu sudah terlalu banyak bicara. Apa yang kusuka maka akan kulakukan. Peduli amat soal-soal begituan. Bikin pendek umur,” katanya enteng. Aku terkesima dengan apa yang dikatakannya? itukah rahasia panjang usianya?

Setelah ia menyeruput sisa kopinya sampai tandas, ia pamit untuk masuk ke rumahnya—yang diawal kukatakan gubuk tadi.

“Tunggu, Nek….”

“Apalagi? Kau ingin kuseberangi sekalian? Tenang saja, kereta akan lewat sekitar enam jam dari sekarang, kau akan baik-baik saja.”

“Bukan itu…, begini…,”

“Kenapa mendadak sulit sekali bicara? Hidupmu sudah merdeka, apa pun bebas kau katakan dan lakukan hari ini.”

“Boleh kujadikan cerpen?” aku lupa berkisah kalau aku gemar menulis. Buku yang dipinjam kawanku di pembuka tadi adalah buku dari penulis idolaku. Jadi wajar adanya bila aku murka sedemikian rupa.

“Apanya?”

“Kisah nenek barusan, atau soal nenek dan kereta, atau apa pun yang sudah nenek katakan tadi….”

“Apa kau janji kalau kubolehkan akan lekas angkat kaki dari sini?”

Aku mengangguk menunggu kalimat berikutnya keluar. Sialnya, ia malah terus melangkah lambat memasuki pintu rumahnya.

“Jadi apa jawabannya, Nek? Boleh atau tidak?”

“Kupikir hanya nenek-nenek macamku saja yang boleh tuli.”

“Maksudnya, Nek?”

“Selain tuli, ternyata kamu juga bodoh, ya. Tadi kukatakan, hidupmu sudah merdeka, apa pun bebas kau katakan dan lakukan hari ini.”“

Jadi?”

“Pergilah sekarang.”

Entah mengapa, baru kali ini aku merasa begitu gembira. Rupanya masih ada orang yang asyik diajak berbincang di kota ini. Tanpa buang waktu, aku gegas meluncur ke rumah. Ada cerita yang harus kutuliskan. Paling tidak sebelum orang lain mendahuluiku, bisa jadi kaulah itu orangnya.

Cilegon, 08 Agustus 2017

Categories
Opini

Agar Buku Tetap Terawat

Teman-teman pasti  punya buku di rumah. Coba hitung ada berapa: Sepuluh, seratus, atau seribu. Waah…asyik ya kalau punya banyak buku. Soalnya buku itu punya peran penting untuk nambah wawasan. Buku yang kita kenal sebagai berkas kertas yang terjilid itu adalah wahana paling efektif untuk merekam segala informasi ilmu pengetahuan, tekhnologi dan budaya.

Cuma sayang disayang, masih banyak orang yang menganggap buku relatif mahal. Jadi, buat temen-temen yang beruntung bisa beli buku, jangan dicuekin aja buku-bukunya. Buku-buku itu harus dirawat agar tidak kotor, rusak atau hilang. Tapi..gimana caranya? Eit, jangan bermuram durja dulu. Wes ewes ewes, nih, ada tips khusus buat para pecinta buku:

  • Berikan Identitas. Semua buku harus diberi tanda. Caranya bisa dengan cat, cap, stempel, plat atau lainnya. Yang penting tanda tersebut bikin kita mudah mengenal identitas buku. Seperti: asal beli buku, tanggal kepemilikan, harga buku. Tujuannya agar buku yang dipinjam tidak berpotensi untuk lenyap.
  • Buat Daftar Buku. Buku-buku yang dikoleksi sebaiknya dibuatkan daftarnya pada sebuah buku induk.Modelnya terserah Pokoknya daftar itu memuat informasi tentang nomor, judul, pengarang, penerbit, dan tahun terbit. Jadi kita bisa tahu jumlah buku yang ada dan gampang melakukan cek and ricek buku yang keluar.
  • Menjaga Buku Tetap Awet. Setiap buku baru langsung diberi sampul plastik. Kalau buku tersebut dirasa penting sekali dan tebal sebaiknya dijilid dengan hardcover. Terus, jangan sekali-kali melipat kertas pada halaman tertentu sebagai tanda di mana halaman berhenti membaca. Meskipun sepele, kebiasaan itu sebenarnya dapat memperpendek umur buku. Halaman buku jadi mudah robek jika lipatan itu didiamkan. Jadi, lebih baik menandai dengan pembatas buku saja.
  • Membuat Rak. Buku-buku yang berserakan di banyak tempat tentu menyulitkan kita untuk mencari buku yang dibutuhkan. Buatlah rak sesuai dengan kebutuhan dan jumlah koleksi. Lalu susun dan pilah-pilah penempatannya  sesuai dengan subjek buku. Tujuannya agar mempermudah dalam mencari buku yang dibutuhkan. Setelah dibaca, buku juga harus dikembalikan ke tempat semula.
  • Menghindari Musuh Buku. Kecoa, rayap, tikus, kutu buku (book lice), fungi, ngengat (moths) adalah musuh-musuh buku yang biasanya rawan merusak kertas. Cara menghindarinya adalah dengan melakukan penempatan rak tadi di lokasi strategis, maksudnya, jangan berdekatan dengan kamar mandi. Bersihkan rak buku dari kotoran dan debu secara berkala. Buku-buku tidak boleh disusun terlalu rapat pada rak-rak, karena menghalangi sirkulasi udara. Sebagai pencegahan, pada rak-rak buku diletakan bahan-bahan yang berbau seperti kamper, naftalen, campuran choloform untuk mengusir serangga. Semua bahan-bahan itu menguap perlahan lahan dengan mengeluarkan bau yang tak disukai oleh serangga.
  • Buat Peraturan. Jangan segan-segan membuat tata-tertib bagi si peminjam. Misalkan kalau ada teman yang ingin pinjam harus dibatasi jumlah bukunya, lalu tanggal pengembaliannya harus dijanjikan. Tapi kita juga jangan segan-segan membagi ilmu kepada orang lain dengan meminjamkan buku.

Gimana temen-temen? OK punya nggak tipsnya. Semoga ada manfaatnya buat kita semua.

Yap, Keep reading !

Categories
Opini

Library Tour

Mendirikan perpustakaan di rumah adalah salah satu cara terbaik agar kita selalu menjadi sahabat setia buku. Namun, belum cukup sampai di situ. Ada banyak hal pula yang seru kita lakukan agar nyawa buku lebih terasa dalam tubuh kita. Ya, karena buku ternyata bukan hanya menjadi media untuk dibaca saja. Lebih dari itu, buku juga bisa mengajak kita untuk belajar menulis dan mengantarkan kita untuk bertualang menggali segala informasi yang tak pernah diduga. Buat komunitas taman baca yang kebetulan ada di dekat lingkungan kamu, coba buat wisata edukasi asik yang lebih mendekatkan kita dengan dunia buku sesungguhnya. Lewat kunjungan menarik dan jalan-jalan seru ke tempat-tempat alternatif, akan menambah pengalaman wisata perpustakan berkesan.

Berikut tempat yang mesti kamu kunjungi secara rutin:

• Penerbit

Semua orang pasti pernah membaca buku. Tapi, tahukah, buku yang sedang kamu baca itu punya cerita menarik dalam proses pembuatannya. Mulai dari proses penulisan, editing sampai masuk ke percetakan. Perjalanan mulai dari penggalian ide sampai menjadi wujud buku yang bisa kita dapatkan di toko buku itu cukup panjang. Makanya, dengan kita berkunjung ke penerbit buku, semua kisahnya itu bisa kamu dapatkan. Kita jadi tahu bagaimana kalau ingin pengalaman kita bisa dituangkan dan dijadikan buku. Selain itu dengan berkunjung ke kantor penerbit, kita bisa banyak tahu hal terutama soal apa saja kriteria penulisan yang jadi standarisasi agar bahan tulisan layak untuk dibukukan.

• Redaksi Majalah

Sama halnya dengan penerbitan buku. Proses penerbitan media berkala (surat kabar dan majalah) juga melewati tahapan penulisan, editing dan cetak. Namun, proses penggodokan yang dilakukan di redaksi lebih ketat dan cepat. Berita yang akan di angkat mesti sesuai dengan fakta dan segera diinformasikan. Karena sifat medianya berkala. Kalau kita berkunjung ke redaksi seperti masuk ke dalam dapur masakan. Semua ide yang muncul dalam rapat redaksi dikemas, lalu ditulis berdasarkan investigasi langsung di lapangan dan penelusuran bahan pustaka. Kemudian para reporter menyetorkan kepada editor untuk di cek dan ricek hasil tulisannya. Setela tulisan dan foto lengkap, tim visual mempercantik dalam suguhan layout majalah. Sampai pada akhirnya masuk percetakan dan didistribusikan ke lapak-lapak koran dan toko buku. Setiap redaksi majalah pasti akan senang jika para pembacanya punya niatan mengunjungi markasnya. Maka, tak usah sungkan, coba main-main ke salah satu redaksi yang sesuai dengan komunitas kamu.

• Toko Buku

Suka baca, mesti suka datang ke toko buku. Kalau sudah menjadi aktifitas rutin, berarti kamu sudah benar-benar mengenal dan pentingnya sebuah buku. Kini, tularkan kebiasaan kamu kepada teman-teman yang lain. Ajak, para anggota komunitas untuk secara berkala berwisata ke toko buku. Mungkin terdengar aneh, kok berwisata ke toko buku. Tapi ini adalah suatu sikap penting buat membiasakan kepada anak-anak. Memupuk sejak dini untuk selalu mencintai buku.

• Bertemu Penulis/Editor

Punya penulis favorit? Atau kagum dengan kisah yang kita baca dari sebuah buku? Tentu pembaca akan kagum dengan sang penulisnya. Dan, keinginan untuk mengenal lebih dekat terus bergelora. Membuat janji ingin bertemu dengan penulis punya banyak manfaat. Dari sana kita bisa mendapatkan pengalaman langsung bagaimana cara menulis yang baik. Bagaimana penulis bisa meyakinkan penerbit atas karyanya.

• Taman Baca

Sebagai pengelola taman baca sudah semestinya saling bersilaturahmi. Berkunjung ke taman baca lainnya bisa saling bertukar pengalaman dalam hal pengelolaan taman baca. Karena taman baca itu unik. Tiap taman baca punya ciri yang khas. Sesuai dengan karakternya di tempat masing-masing.

• Klub Baca

Coba gabung dengan klub-klub baca yang ada. Nimbrung di klub akan menambah wawasan pengetahuan kita. Berdiskusi perihal satu buku dengan prespektif pembaca masing-masing. Dengan bernkunjung ke klub baca, kita akan menjadi tahu bagaimana seharusnya menyikapi sebuah buku.

• Pameran Buku

Biasanya buku-buku yang ada di toko buku itu sangat cepat berubah keberadaanya. Buku-buku yang kurang mendapat sambutan yang cukup baik akan cepat ke luar dari rak. Namun, bukan berati buku tersebut jelek. Bisa jadi cukup penting buat sebagian orang. Nah, salah satu cara untuk memburu buku lama itu adalah dengan mengunjungi pameran buku.

• Penjual Buku Bekas

Kalau lagi cari buku-buku lama dengan harga murah biasanya kita pergi ke pasar loak yang menjual buku bekas. Memang agak kumuh tempatnya. Tidak senyaman kalau pergi ke toko buku yang wangi. Tapi, tempat satu ini memiliki sensasi beda. Selain harga yang ada disini sangat murah, sebenarnya kita bisa mendapatkan pelajaran lain yang luar biasa. Ya, belajar dari sosok penjualnya. Si Penjual sangat menghargai buku-buku yang dijajakannya. Lewat kegigihannya merawat buku, kita sebagai pembaca merasa tertolong dalam mencari pilihan bahan pustaka yang dibutuhkan.