Saudara-saudaraku sekalian, para panglima integritas, kalian membuat saya iri. Karena, kalian kini berdiri lebih depan dari saya dalam upaya mewujudkan masyarakat antikorupsi, dan dilantik langsung oleh salah seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang. Sebagai pegiat literasi sejati yang langsung berjuang di lapangan, berhadapan dengan berbagai permasalahan keliterasian di daerah masing-masing saja sudah membuat saya iri, apalagi sekarang menyandang gelar baru: Panglima Integritas. Sungguh, iri saya menjadi berlipat, sekaligus menandakan hormat dan respek saya pada kalian semua.

Tugas kalian sungguh tidak mudah. Kalian kini menjadi sosok terdepan dalam melawan para pelaku tindak pidana kriminal luar biasa yang melukai rasa keadilan masyarakat, pelaku kriminal yang efek merusaknya sungguh luar biasa dan sistemik, yang kehadirannya  seakan mati satu tumbuh seribu, seolah tiada jera, meski KPK menghadang mereka di depan mata. Kalian sungguh akan menghadapi orang yang “KEBAL & BEBAL” — jahat banget tapi kerap “bertopeng” kesantunan sosial sangat tinggi, sangat berwibawa, sangat relijius, demi mengejar kredibilitas di hadapan publik.

Makhluk tanpa jera. Bagaimana mereka bisa jera, dari ratusan koruptor yang telah divonis: hanya 3 yang mendapat vonis maksimal, seumur hidup: mantan Ketua MK Akil Mochtar, pengusaha Adrian Waworuntu dan Brigjen Teddy Hernayadi. Dr data Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2016 rata-rata vonis hakim dalam kasus korupsi hanya 26 bulan penjara, dan hukuman mati belum pernah dijatuhkan.

Artinya apa? Bagaimana bisa dibuat jera, kalau katanya extra ordinary crime, tapi lembaga peradilan belum menganggapnya sebagai tindak pidana berat — padahal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31/1999 sudah mengadopsi jenis hukuman ini (hukuman mati). Tepatnya dalam Pasal 2 ayat 2. Juga dalam hal “MENIMBANG” di UU No 20/2001 tentang  perubahan atas UU No 31/1999 tentang pemberantasan tipikor jelas tertulis: TINDAK PIDANA KORUPSI PERLU DIGOLONGKAN SEBAGAI KEJAHATAN YG PEMBERANTASANNYA HARUS DILAKUKAN SECARA LUAR BIASA!

Haruskah kita menyerah? Tidak! Mari berdiri bersama-sama KPK menghadapi mereka, menjadi panglima-panglima yang berdiri di garis terdepan yang tidak lagi semata memaknai keaksaraan dan kewicaraan sebagai melawan angka rendahnya minat baca dengan hestek #lawanUnesco misalnya, tapi #LAWANKORUPSI! Tidak semata menganggap keliterasian sebagai keaksaraan dan kewicaraan di level teknis, tapi sudah masuk ke tingkat literasi fungsional, bertindak, mewujudkannya dalam  keseharian hidup, mengadvokasi sekeliling — mendorong upaya-upaya pemaksimalan hukuman lewat gerakan massa, dan upaya-upaya lain yang sifatnya penjeraan, seperti: pemiskinan, penyitaan aset hasil korupsi, penjara seumur hidup atau hukuman mati, dan meyakinkan upaya pidana maksimal itu bukan pelanggaran HAM mengingat perbuatan koruptor justru lebih dahulu melanggar HAM karena merugikan negara, mengganggu dan merobek nurani serta rasa keadilan masyarakat. Di samping tentunya, tetap melakukan berbagai langkah-langkah “sederhana” tapi berbuah dahsyat di masa depan: menyampaikan pesan-pesan anti korupsi, pesan-pesan untuk selalu jujur dan amanah kepada warga yang menjadi sasaran TBM dan pustaka keliling yang saudara-saudara dirikan dan kelola selama ini, lewat permainan, games, simulasi-simulasi, seperti yang sudah direncanakan dan dijalankan, yang membuat saudara-saudara terpilih sebagai Panglima Integritas.

APAKAH pemiskinan koruptor, misalnya, atau perampasan aset adalah sebuah tuntutan yang mengada-ada?

Tentu tidak, karena perihal pemiskinan sudah disinggung dalam  UU Tipikor 31/1999 dan UU TPPU (pencucian uang) — namun regulasi yang mengatur lebih jelas mengenai mekanismenya belum tersedia hingga kini, yang menjadi sebab lembaga penegak hukum seringkali kesulitan melaksanakan penyitaan dan perampasan aset koruptor. Pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, hingga kini masih mandek di DPR. Dengan upaya keras semua elemen, termasuk panglima-panglima integritas, kita bisa meruntuhkan “tembok tebal” gedung DPR dan mengetuk nurani wakil rakyat di sana , untuk meminta mereka segera mengesahkannya.

Mungkin ada yang bertanya, berat sekali tugas itu. Kalau berpikir, kita seorang diri yang melakukannya, iya. Tapi bukankah keliterasian mengajarkan kita untuk memiliki kompetensi dasar dan melakukan C4, yg di dalamnya ada Creativity dan Collaboration (selain Communication dan Critical Thinking). Kita berjejaring membuat kekuatan dan dengan kreatif menggerakkan masyarakat untuk membangun kekuatan sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjd bukit untuk mewujudkan hal itu. Percayalah, kalian tidak sendiri, karena sangat banyak orang yang sudah sangat muak dengan koruptor dan perilaku koruptif.

Keliterasian, kecerdasan para Panglima Integritas harus melangkah — dan saya percaya tidak sedikit yang sudah melaksanakannya — pada tahap 3 E:
to educate (mendidik), to empower (menguatkan), dan to enrich (memperkaya cara pandang), sebagaimana yang telah saudara-saudara lakukan dalam beberapa hari belakangan ini, saat berkumpul di Jakarta, terwujud dalam kreativitas-kreativitas nyata yg saudara-saudara tampilkan di WA Grup — dan ditempelkan di ruang ini–  yang menurut saya sangat kreatif dan punya daya gedor yang kuat untuk menyadarkan masyarakat tentang teramat perlunya perang melawan koruptor dan perlunya masyarakat menjadi kelompok penekan lahirnya regulasi yang berpotensi menjerakan, seperti pemberian hukuman maksimal dan terwujudnya UU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Jadi, sekali lagi, literasi bukan semata hestek melawan Unesco, atau meributkan data Unesco itu hoax atau bukan! Tapi, mendidik, memberdayakan, memperkaya cara pandang, dan memberi pencerahan kepada masyarakat. Itu sekaligus berarti, para Panglima Integritas harus menjadi pembelajar-pembelajar sejati tanpa akhir untuk terus memperkaya  wawasan diri sendiri sembari memperkaya wawasan orang lain. Tentu, saudara-saudara sudah mengenal istilah HOTS, High Order Thinking Skill, yang merupakan modal untuk mewujudkan 6 literasi dasar, dan 4 kompetensi dasar dalam gerakan literasi nasional.

Panglima sebagai jabatan amanah, yang dikehendaki oleh banyak orang bisa diwujudkan juga dengan aktivitas-aktivitas keliterasian yang “sederhana”, seperti

I. Memviralkan isu, men-trendingtopic-kan isu dan dukungan kepada KPK dengan menggunakan hestek : #taliintegritas #antikorupsi #berdiribersamakpk, dan lain-lain.

II. Konsisten mengabarkan apa yang selama ini dilakukan KPK, yang bukan semata OTT (Operasi Tangkap Tangan), tapi juga memberikan pendidikan dan pembelajaran tanpa henti tentang kejujuran, tentang integritas.

III. Membuat pelatihan, menggali ide, melontarkan usulan untuk ditanggapi, tentang hal-hal yang berkaitan dengan upaya melawan koruptor dan memberantas korupsi,
Untuk itu:
Sebisa mungkin definisi korupsi menurut perspektif hukum, yang secara gamblang dijelaskan dlm 11 buah pasal dalam UU 31/99 ( UU Pemberantasan Tipikor)  juncto UU 20/2001 (tentang perubahan atas UU 31/1999) — Pasal 2, 3, 5 – 13 — dipelajari dengan teliti oleh teman-teman, yang di dalamnya ada 30 jenis/bentuk tindak pidana korupsi, dan bisa dikelompokkan dalam 7 kelompok — untuk kemudian nanti diwujudkan secara kreatif dalam berbagai simulasi dan kegiatan edukatif di TBM/Pusling masing-masing (Sekali lagi, supaya tidak mudah tertipu dengan penampilan dan kesantunan sosial sosok-sosok koruptor. Pokoknya kalau dia melakukan ini, dia koruptor, dan berani untuk — presumption of guilty), yakni:
1. MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ( Psl 2,3)
2. SUAP- MENYUAP (5, 6, 11, 12, 13)
3. PENGGELAPAN DALAM JABATAN (8,9,10)
4. PEMERASAN (12 E, G, F )
5. PERBUATAN CURANG ( 7 A,B,C,D, 7 (AYAT 2), 12 H)
6. BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN (12 I)
7. GRATIFIKASI (12 B jo 12 C).

Selain itu, juga ada tindak pidana lain yang berkaitan dg tindak korupsi, yang tertuang dalam Pasal 21 – 24 bab III UU 31/2009, juncto UU 20/2001:
1. MERINTANGI PROSES PEMERIKSAAN PERKARA KORUPSI (21)
2. TIDAK MEMBERI KETERANGAN ATAU MEMBERI KETERANGAN YANG TIDAK BENAR (22 Jo 28)
3. BANK YANG TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN REKENING TERSANGKA ( 22 Jo 29)
4. SAKSI/AHLI YANG TIDAK MEMBERI KETERANGAN ATAU MEMBERI KETERANGAN PALSU (22 jo 35)
5. ORANG YANG MEMEGANG RAHASIA JABATAN TIDAK MEMBERIKAN KETERANGAN ATAU MEMBERIKAN KETERANGAN PALSU (22 ju 36)
6. SAKSI YANG MEMBUKA IDENTITAS PELAPOR (24 Jo 31)

IV. Membuat simulasi-simulasi yang — jika perlu, tidak ada di dalam definisi itu tetapi punya “sumbangsih” pada kasus korupsi, atau bisa dijadikan wacana untuk dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi.

1. Seperti soal korupsi waktu, misalnya.
Selasa (10 Oktober 2017), saya mengisi acara di “rumah sendiri”, (Jurusan Kriminologi) FISIP – UI bersama dosen Kriminologi Mas Ferdinand T Andi Lolo, dan Mas Wuryono Prakoso dari KPK (Saya juga sempat berdiskusi tatap muka dengan Mas Agung dari KPK) dan Mbak Meutia Ganie (dosen Sosiologi FISIP-UI). Yang kami bahas bukan pada 7 plus 6 poin itu saja, tapi satu hal yang bisa berkaitan dengan korupsi itu sendiri. Yakni, berapa banyak aparat tanpa sadar, kualitas pelayanan publiknya jelek karena meremehkan “korupsi waktu “. Dan, kita kalah duluan dibanding, misalnya, Mesir.

Beberapa poin pengamatan dan studi kepustakaan yang coba saya bagikan, antara lain:
– Bolos kerja atau meninggalkan ruangan, urung kerja sebelum jam aktif kerja selesai, menjadi persoalan yang kian dianggap sepele, padahal memiliki konsekuensi yang sangat berat. Di negara-negara berkembang, fenomena ini nyaris menjelma sebagai budaya yang diakui atau tidak, masih sangat mengakar.

Tak cuma di Indonesia, rendahnya kedisiplinan oknum PNS ataupun karyawan swasta di Mesir, mendapat perhatian serius dari Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta). Menurut lembaga ini, Islam menegaskan pekerjaan adalah salah satu bentuk amanat yang wajib ditunaikan si penanggungjawab. Jika amanat yang dimaksud itu tak ditunaikan, ia dinyatakan telah berkhianat.

Bolos kerja dengan sengaja dan tanpa alasan yang kuat adalah bentuk pengkhianatan terhadap pekerjaan itu. Termasuk beranjak meninggalkan pekerjaan sebelum jadwal resmi yang ditetapkan.

Sejumlah lembaga fatwa resmi negara-negara Timur Tengah sepakat dan  mengadopsi fatwa yang dikeluarkan Dar al-Ifta. Di antaranya, Lembaga Wakaf Uni Emirat Arab, Lembaga Fatwa Kuwait, dan Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi. Lembaga Fatwa Arab Saudi menambahkan, tidak diperbolehkan pula memanipulasi data kehadiran. ((Ayo ngaku, siapa yang masih suka titip absen?))

MARI sedikit bersimulasi, kira-kira berapa persen PNS di negeri ini yang “korupsi waktu” 1 jam setiap hari. Telat datang, izin dengan alasan ini-itu, memperpanjang waktu istirahat, lebih sibuk main games atau buka internet pada jam kerja daripada melayani publik, memperpanjang waktu rehat, dll?

Ada peserta yang menjawab, “Ya, 25%!”

Okelah, kita simulasi — meski angka ini mungkin BERLEBIHAN. PNS sekarang, kan makin disiplin.

Jumlah PNS 2016 dengan rasio 1,77 PNS /100 warga, mencapai 4,5 juta orang. Belanja pegawai di APBN 33,8% atau setara dengan Rp. 707 Triliun.

Jika Rp. 707 T/4.500.000 = 157.111.111/PNS/th = Rp. 13.092.592 per bulan/ 22 hari kerja= Rp 595.11,845/8 jam = (nilai belanja per pegawai per jam ): Rp. 74.389,7.

Kalau setiap hari ada 1000.000 PNS korupsi waktu 1 jam, berarti korupsinya: Rp. 74.389,7306 x 1 jt = 74.389.730. 639, 73 x 22 hari x 12 bln = 19. 638. 888. 888.888/th kerugian negara.

Artinya, setiap tahun ada sekitar Rp 19,64 T kerugian negara hanya karena korupsi waktu.

Belum terhitung “efek dominonya”, kerugian warga yang terlambat dilayani, yang membuat mereka juga telat masuk kantor, dan akhirnya melakukan korupsi waktu dari tempatnya bekerja.

Sayang, korupsi waktu tidak  termasuk dalam satu dari 7 plus 6 jenis korupsi menurut KPK,

Siapa bilang TIME bukan MONEY dan tidak bisa dikorupsi?

Terbayang, jika semua izin-izin dan keterlambatan sekian menit pun dihitung sebagai cuti setengah hari, sebagaimana yang diterapkan di sejumlah perusahaan di Jepang, berapa uang negara/perusahaan yang bisa diselamatkan? Apalagi, kalau cuti yang berlebih itu dikonversi ke dalam nilai “penghasilan”/ “belanja” pegawai, dan kemudian penghasilan pegawai tersebut dipotong dengan nilai rupiah dari jumlah cuti yang diambilnya?

Dan, mungkin sahabat-sahabat #relawanliterasi para Panglima Integritas bisa membantu negeri ini untuk mensosialisasikan sedari dini kepada pemustaka-pemustaka cilik, yang kerap hadir di TBM tentang pentingnya “waktu” dan “tepat waktu”. Karena membaca dan memaknai waktu adalah bagian dari keliterasian, yang mengabadikan masa lalu, membaca masa kini dan merumuskan masa depan.

2. Simulasi juga bisa tentang hukum tabur-tuai, keseimbangan alam:
Ada satu ilustrasi yang menarik tentang hal ini, ketika HEAD dan HAND tak meninggalkan HEART.
Bila kita digaji lima juta, tetapi kita berkarya seperti orang yang digaji 10 juta demi passion memunculkan KARYA, maka semesta dan pemilikNya akan membayar lebihnya dengan:
KARIER yang melejit,
KESEHATAN,
KELUARGA SEJAHTERA,
dan
KETURUNAN YANG CERDAS

Sebaliknya,
dengan gaji lima juta, namun kita bekerja layaknya orang yang digaji 2,5 juta, semata bekerja, maka semesta dan penciptaNya akan menuntut sisanya dengan:
PENYAKIT,
KESULITAN,
UTANG,
dan
beragam MASALAH lainnya.

Itulah hukum keseimbangan alam.

Tentu, masih banyak simulasi-simulasi lain bisa dilakukan oleh para Panglima Integritas disesuaikan dengan kearifan budaya di mana TBM/Pusling saudara-saudara berada.

Betul kata Bang Saut, integritas bukan dipelajari dan didapatkan di KPK (semata), tapi nilai-nilai integritas itu justru ada di daerah para Panglima Integritas berada. Tinggal kita mau menggalinya atau tidak!

Tabik!

*) Materi (lengkap) ini disampaikan dalam “Studium Generale: Praktik Pendidikan Antikorupsi Berbasis Literasi dan Pelantikan Panglima Integritas”, Pusat Edukasi Anti Korupsi – KPK – FTBM, Bidakara, Jakarta, 12 Desember 2017.