Penulis : Muhsin Kalida*
Kita tahu, bahwa kualitas sumber daya manusia, pada hakekatnya ditentukan oleh faktor pendidikan. Pendidikan yang berkualitas dan berkepribadian tentu akan menghasilkan manusia yang berkualitas dan berkepribadian pula. Oleh karena itu pendidikan harus menjadi prioritas dalam setiap program pembangunan.
Di era milenial ini, ternyata masih ada anggapan, bahwa pendidikan hanya dapat diperoleh melalui bangku sekolah. Tentu anggapan demikian tidak bisa dibenarkan, karena ternyata di negara kita pendidikan tidak selalu ditempuh melalui sekolah. Pendidikan bisa ditempuh dengan berbagai jalan, diantaranya pendidikan nonformal maupun informal. Hal ini sesuai dengan filosofi, long–life education, thalabul ’ilmi minal mahdi ila lahdi, mencari ilmu itu dimulai dari lahir sampai liang lahat, nampaknya filosofi ini di kalangan kita masih lemah untuk dipahami dan dipakai menjadi acuan.
Jika paradigma pendidikan terlampau menekankan pada pendidikan sekolah (formal), akan berdampak terjadinya banyak ketidakseimbangan orientasi pendidikan, dan justru akan menyebabkan terjadinya ketimpangan nilai dan ketidakseimbang hak dan kewajiban pendidikan. Pendidikan nonformal dan informal, baik pendidikan keluarga maupun pendidikan masyarakat, sama-sama memiliki posisi tawar yang kuat dalam menentukan kualitas kepribadian warga negara. Oleh karena itu, perlu ada usaha-usaha menjadikan komponen pendidikan tersebut menjadi harmonis dan seimbang.
Ruang Lingkup TBM
Taman Bacaan Masyarakat (TBM), sampai pada saat ini, sebenarnya belum ada yang mendefinisikan secara tunggal mengenai istilah itu, karena masih banyak berbagai pendapat. Bahkan, ada yang mangartikan TBM identik dengan perpustakaan, tetapi non-syar’iyyah. TBM itu suatu lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat akan informasi, mengenai ilmu pengetahuan dalam bentuk bahan bacaan dan bahan pustaka lainnya. Pengelola TBM adalah masyarakat yang dipercaya atau memiliki niat berpartisipasi untuk memberikan layanan kebutuhan tersebut, memiliki kemampuan pelayanan dan keterampilan dalam menyelenggarakan. Jadi, siapapun boleh menjadi pengelola, selama memiliki kemampuan dan kemauan kuat untuk menyelenggarakan. Tidak ada tuntutan, tidak harus sarjana atau lulus ilmu perpustakaan, karena konsep TBM adalah dari, oleh dan untuk masyarakat.
Tujuan mendirikan TBM di tengah-tengah masyarakat adalah menyediakan buku-buku untuk menunjang kegiatan pembelajaran, menjadi sumber informasi yang berguna bagi keperluan umum, memberikan layanan informasi tertulis, digital, maupun bentuk media lainnya yang dibutuhkan, serta memberikan layanan referensi. TBM juga memiliki fungsi sebagai sumber belajar bagi masyarakat melalui program pendidikan nonformal dan informal, tempat yang bersifat rekreatif melalui bahan bacaan, memperkaya pengalaman belajar masyarakat, menumbuhkan kegiatan belajar masyarakat, tempat pengembangan life skill, dan lain sebagainya. Jadi, keberadaan TBM di masyarakat diharapkan mampu mendorong dan mempercepat terwujudnya masyarakat belajar (learning society).
TBM yang menyebar di seluruh tanah air, pada dasarnya didirikan oleh masyarakat dan di-support sebagian oleh pemerintah. Pemerintah memang telah berusaha melakukan pembinaan, tetapi juga memiliki kemampuan yang terbatas. Keberadaan dan menjamurnya TBM menunjukkan bahwa ada kebutuhan akan bacaan masyarakat, sebagai upaya peningkatan potensi. Ini wajar, sebab setiap manusia memerlukan informasi untuk meningkatkan taraf hidup. Untuk itu maka perlu adanya kerjasama yang harmonis antar elemen masyarakat, baik pemerintah maupun swasta dalam pengelolaan dan pengembangan TBM.
Menurut lokasi dan operasionalnya, TBM pada umumnya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Bisa terletak di pedesaan, perkotaan, obyek-obyek komunitas, kaum marjinal, anak jalanan, pos ronda, dan lain-lain. Bahkan jam buka layanan juga fleksibel, menyesuaikan kebutuhan masyarakat pengguna.
Secara luas, TBM bisa mencakup semua lini yang ada di wilayah desa/kelurahan dalam sebuah kota. TBM bisa dipandang sebagai basis pemasyarakatan perpustakaan di tengah-tengah masyarakat, karena kebutuhan riil masyarakat akan informasi atau buku bisa langsung dipenuhi oleh TBM tanpa harus pergi ke perpustakaan umum di pusat kota. Semakin banyak berdiri TBM, semakin besar kemungkinan masyarakat dilayani.
TBM itu Perpustakaan Humanistik
Kalau kita memaknai istilah taman, tentu di pikiran kita bertanya kenapa namanya taman, padahal bentuknya perpustakaan. Taman adalah tempat yang nyaman. Taman itu kebun yang terdapat bunga, tempat duduk yang dihiasi bunga, tempat untuk bersenang-senang. Taman bacaan masyarakat, adalah sebuah istilah yang dihasilkan dari kajian yang mendalam untuk menyederhanakan istilah perpustakaan. Secara psikologis diharapkan orang yang datang ke TBM senyaman orang yang duduk di sebuah taman yang penuh dengan bunga, orang yang berada di TBM penuh dengan senyuman, semua pelayanan selalu dengan senyuman yang humanis, dan tanpa mengurangi apa yang diharapkan, yaitu belajar.
Istilah TBM, awal tahun 2000an mulai banyak dikenal di kalangan pegiat budaya baca. Tetapi di kalangan masyarakat luas masih memerlukan kekuatan besar untuk mempopulerkan. Artinya, mensosialisasikan istilah saja masih memerlukan waktu yang panjang, apalagi program pengembangan kelembagaan TBM itu sendiri. Tetapi dalam dekade belakangan, TBM bisa masuk ke pelosok-pelosok, bukan saja di tingkat kecamatan atau desa, tetapi bisa sampai pada level RT-RW, komunitas kecil, semua bisa mendirikan dan memiliki TBM. Bahkan, muncul TBM yang memiliki basis tertentu sesuai dengan komunitas yang ada. Misalnya TBM berbasis nelayan, TBM berbasis hasil hutan, TBM DAS (Daerah Aliran Sungai), dan lain-lain.
Sampai saat ini masih ada asumsi pada masyarakat, bahwa perpustakaan itu hanya untuk pelajar dan mahasiswa, kalau pinjam harus mendaftar sebagai anggota, jam kunjung juga dibatasi oleh kantor, dilarang memakai sandal jepit, dan lain-lain. TBM bukan tidak sama dengan perpustakaan, tetapi juga tidak harus berbeda. Kreativitas dalam mendesain TBM justru terbuka luas, TBM lebih sederhana dan bisa lebih unik dari perpustakaan, berkunjung di TBM bisa diwacanakan seakan memasuki taman wahana layanan informasi yang humanis dalam mendapatkan pendidikan.
Masyarakat yang berkunjung ke TBM tidak harus memakai sepatu, tidak harus berbaju yang necis, mungkin juga bisa tidak usah mendaftar sebagai anggota terlebih dahulu, dan lain sebagainya. TBM akan menjawab bahwa siapa saja boleh memanfaatkan, baik yang bisa membaca atau yang belum, pakai sepatu atau sandal, niat berkunjung atau hanya mampir sepulang dari kebun, siang hari atau malam hari ketika ronda, pagi hari ketika momong si kecil atau sore hari ketika rapat dasawisma, semua bisa dilayani oleh TBM secara fleksibel.
Mendirikan TBM, Mudah dan Asyik
Proses mendirikan TBM, pada dasarnya sangat mudah, karena hanya memerlukan dua hal pokok, yaitu pengelola serta sarana dan prasarana. Tenaga pengelola, juga tidak terlalu mengikat, ada ketua, tenaga administrasi, dan mungkin bisa ditambah tenaga teknis. Seorang ketua TBM hendaknya memiliki kemampuan di bidang kepemimpinan yang baik, jika dimungkinkan juga sebagai pengembang dan berpengalaman di masyarakat, dan akan lebih bagus lagi jika memiliki kemampuan di bidang kemitraan dan penggalangan dana. Ketua TBM adalah seorang driver, ke mana TBM akan diarahkan tergantung kepada sopirnya. Mendirikan TBM yang bisa dipertimbangkan matang adalah memilih lokasi yang strategis dan mudah dijangkau, menentukan konsep penataan ruang, memilih koleksi buku, menyiapkan promosi, menggerakkan masyarakat untuk memanfaatkan, menyusun program, melaksanakan program pengembangan, dan membangun jaringan.
Sementara petugas administrasi dan tenaga teknis, membantu dalam hal keadministrasian dan teknis secara penuh. Diantaranya menjaga ruangan agar senantiasa kondusif (membersihkan, mengatur suhu, pencahayaan, suara dan aroma), menyampul dan memberi identitas buku, mengadministrasikan keuangan lembaga, menyusun katalog, mengatur sirkulasi, membersihkan buku, menata dan merapikan buku sesuai kategori, mengontrol buku masuk dan keluar, serta menyiapkan kartu anggota.
TBM usahakan memiliki tenaga sukarelawan (volunteer), yaitu tenaga sukarelawan yang memiliki kesiapan untuk membantu dalam menjalankan manajemen pengelolaan TBM. Volunteer tidak memiliki keterikatan tugas, tetapi bisa diberi tanggung jawab dan wewenang. Misalnya adalah mahasiswa yang magang, atau siapa saja yang memiliki minat untuk mengabdi tetapi belum siap secara total atensi.
Kemandirian TBM
Pegiat pemberdayaan TBM biasanya berorientasi nirlaba, tidak mencari keuntungan. Sementara TBM harus tetap bertahan dan harus berkembang, maka TBM perlu mandiri secara kelembagaan. TBM bisa bernafas lega, bisa bergerak dengan leluasa, kebutuhan primer dan skunder bisa terpenuhi, karena melakukan pemandirian lembaga (capacity building). TBM dihadapkan pada tuntutan adanya pengembangan atau bahkan perubahan-perubahan paradigma dan orientasi yang baru. Selain menjadi pengembang organisatoris di dalam tubuhnya sendiri, TBM juga memiliki tugas dan fungsi menjadi agen sosial dan pengabdi masyarakat, menjadi center of exellence dan feeder bagi organisasi yang lain. Untuk memandirikan TBM seorang pengelola harus meningkatkan peningakatan di bidang capacity building, networking, fundraising, dan publishing.
Empat hal di atas merupakan program ini penting, karena TBM membutuhkan ketahanan hidup (survival). Setiap TBM pasti membutuhkan keberlangsungan hidup secara berkelanjutan. Perlu kita ketahui bersama, bahwa capacity building, networking, fundraising, dan publishing sangat penting. Jika TBM tidak mempertimbangkan 4 (empat) hal ini, tentu TBM tidak akan beroperasi, artinya adalah mati.
Pengembangan organisasi juga menjadi penting, TBM membutuhkan alat dan bahan untuk melakukan pengembangan dan memperbesar skala organisasi dan program. Sehingga dukungan sangat dibutuhkan, dan dari waktu ke waktu dituntut semakin besar.
Membangun konstituen, TBM selain berusaha membangun ketahanan hidup dan pengembangan organisai, tidak kalah pentingnya adalah memperbesar sumber. Yaitu orang yang memberi atau menyalurkan dana/buku, building a constituency. Jadi perlu ada need sebuah organisasi pentingnya dukungan simpatisan. Kemudian berpikir jangka panjang, creating a viable and sustainable organization, TBM perlu mempersiapkan eksistensi dalam jangka panjang. Artinya TBM bukan lahan proyek sekali jalan sekali selesai. Karena thalabul ‘ilmi minal mahdi ilal lahdi, pendidikan itu sepanjang hayat, tidak boleh berhenti. Sehingga tidak ada dalil mengelola TBM atau lembaga TBM berhenti karena masa pendidikan selesai. Kreasi dan keberlanjutan TBM masih terus menerus dibutuhkan oleh masyarakat.
Maka, muncullah TBM Kreatif dan Rekreatif, yaitu TBM yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kreasi dan rekreasi. Dikatakan TBM Kreatif, artinya TBM bukan hanya didesain untuk menyediakan bahan bacaan dan tempat membaca, tetapi juga sebagai wahana dan wadah untuk menciptakan sebuah kreatifitas warga masyarakat. TBM dikatakan Rekreatif berarti kehadiran masyarakat ke TBM bukan hanya mencari buku, tetapi juga wisata, wisata pustaka.
Penutup
Experience is the best teacher, pengalaman adalah guru yang terbaik. Meniru pengalaman berharga orang lain merupakan satu cara yang efektif untuk belajar, kemudian dikembangkan sedemikian rupa sampai muncul pada diri sendiri. Tulisan ini bagian terkecil dari menumbuhkan potensi yang belum tumbuh dari dunia TBM, tetapi harapan dari yang kecil ini, semoga bisa memberi peluang yang lebih besar untuk berinisiatif dan berkreasi bagi gerakan pemasyarakatan budaya baca. Wallahu’alam bishawab.
*Muhsin Kalida. Penerima anugerah Nugra Jasadarma Pitaloka 2018. Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, motivator dan pegiat literasi nasional, serta pengelola TBM Cakruk Pintar (Sleman, DIY).