Saat itu aku ditanya oleh guruku, “Siapa yang pernah dibacakan cerita oleh orangtua kalian”. Aku tengok kanan kiri tidak temanku yang tunjuk tangan. Di dalam kelas hanya ada 4 anak yang mengangkat tangannya. Begitu juga dengan diriku tidak tunjuk tangan. Ya, saya saat kecil tidak pernah dibacakan buku.
Guruku bertanya kembali “Siapa yang hari telah membaca buku?”. Lagi-lagi hanya 4 anak yang mengangkat dan 3 diantaranya adalah yang tadi mengangkat tangan sebelumnya. Guruku menjelaskan bahwa saat orangtua kalian membacakan buku kemungkinan besar kalian menjadi pembaca buku.
Saya berfikir dan berintropeksi diri. Saat kecil rumahku penuh dengan anak-anak. Sudah hal biasa selepas maghrib ruang tamu menjadi tempat mengaji. Mulai dari belajar sholawat, belajar tauhid, dan dibacakan cerita Nabi. Yang paling mengenang ialah saya duduk dipangkuan bapakku dan teman-temanku duduk melingkar.
Baru kusadari bahwa cerita bapakku dulu itu sangat berharga dalam hidup saya. Bapakku memang bukanlah pendongeng. Akan tetapi, cerita yang beliau bawa setiap malamnya bersama teman-teman sangat menyerap dalam pikiran. Hingga saat ini daya ingat itu masih melekat erat.
Dan kecintaan saya terhadap agama semakin kuat dan menambah keimanan. Setidaknya kewajiban sholat 5 waktu tidak pernah saya tinggalkan. Dan kegiatan membaca buku keagamaan dan kitab sudah menjadi makanan setiap harinya. Kitab pondok pesantren ternyata termasuk literasi juga. Aku menyadari ini virus dari bapakku dulu. Dan tidak terkecuali apa yang dilakukan saat ini pada teman-temanku.
Untuk memberikan kebaikan tidak harus dalam bentuk uang atau barang. Dengan memberikan kenangan dengan kebaikan literasi bagian dari suatu generasi kecintaan terhadap pengetahuan. Dari ini berusaha menyempatkan waktu membacakan buku anak-anak kecil di lingkungan saya seperti apa yang bapakku lakukan dulu. Diharapkan anak di depan akan kecintaan terhadap pengetahuan semakin menguat.
Khothibul Iman
Relawan Pustaka Wadas Kelir