Sebelum internet datang dari kota lalu merasuk masuk ke kampung-kampung bahkan hingga pelosok-pelosok, orang Indonesia, termasuk saya, masih menggunakan cara-cara konvensional untuk memperoleh informasi. Cara-cara konvensional tersebut erat kaitannya dengan tradisi cetak berikut hasil-hasil produksinya, terutama buku, koran dan majalah, dan teknologi audio-visual berupa saluran radio dan televisi.
Namun, baik cara konvensional maupun audio-visual tidak semua orang kampung mampu mendapatkan aksesnya. Hanya orang-orang yang berlebih saja yang dapat menikmati “kemewahan” seperti itu, jadi informasi hanya menjangkau segelintir orang belaka. Atau bila ada orang yang tidak punya tapi ngebet hendak memiliki informasi, hendak tahu ihwal dunia di luar lingkungan sekitarnya, terpaksa harus berjuang “menduakan” bahkan “mentigakan” kemampuan keuangannya dengan kebutuhan yang mendesak benak. Atau bisa pula “mendekati” orang yang mempunyai aksesnya, dengan mengorbankan rasa malu.
Untuk menjadi tahu saat internet belum umum di kampung berarti informasi kebanyakannya saling dibagikan dari mulut ke mulut melalui mekanisme tradisi lisan yang memang merupakan kemampuan bawaan setiap orang sejak lahir. Artinya informasi yang berasal dari luar sana itu tidak banyak yang beredar di masyarakat, sehingga bila ada informasi baru yang diterbitkan oleh orang atau pihak punya aksesnya akan segera menyebar di tengah-tengah masyarakat. Demikian terus bertahan di benak dan mulut orang, hingga pada saatnya dengan informasi lainnya yang baru.
Akibat mekanisme penyebaran informasi melalui tradisi lisan itu akan membentuk kemampuan benak untuk dapat menyimpannya lebih lama. Dengan kata lain, otak yang jarang menerima informasi baru atau pergantiannya berselang-seling menyambangi kepala jadi mempunyai jeda untuk terus mengingat-ngingatnya. Sehingga wajar belaka, bila dulu zaman sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, saya punya kebiasaan untuk menghapal di luar kepala fakta-fakta yang berkisar di sekitar nama-nama ibu kota provinsi dan negara-negara lain, nama mata-mata uang, presiden-presiden, perdana menteri, peristiwa-peristiwa bersejarah baik yang terjadi di tanah air maupun di luar negeri. Atau konon, dulu pernah ada orang yang mampu mengingat ratusan nomor telepon. Itu semua karena informasinya masih terbatas.
Dalam pengalaman saya, itu semua terjadi hingga pertengahan tahun 2000-an. Setelah berkenalan dengan internet sekaligus teknologi era digital itu masuk ke kampung-kampung, mula-mula dalam bentuk warung internet, informasi menjadi deras sekali datangnya hingga kita sama-sama kewalahan. Kewalahan dalam arti informasi itu jadi menyebabkan agak sukar untuk menerimanya, membacanya, dan meresapkannya. Informasi yang awalnya hanya dalam bahasa daerah dan bahasa nasional menjadi pelbagai bahasa sedunia. Gencarnya informasi juga menyita waktu untuk mengumpulkannya, ketimbang membacanya. Apalagi kesempatan untuk mempertalikannya dengan konteks yang membarenginya dan jarak untuk meresapkannya di dalam benak.
Banjir informasi dari internet tersebut menyebabkan orang meninggalkan atau secara sengaja atau tidak terkurangi waktunya dari menimbanya dengan jalan konvensional. Misalnya, saya, meski tidak meninggalkan kebiasaan membaca buku dan majalah serta produk tradisi cetak lainnya, mulai mengunduh dan mengumpulkan pelbagai informasi dari internet itu sejak paruh kedua tahun 2000-an. Ya, dengan teknologi informasi yang baru itu kita semua dipermudah untuk mengaksesnya. Namun, paradoksnya juga tidak kurang-kurang, karena keluasan informasi itu nyatanya tetap saja berada di luar sana, tidak masuk, tidak terbaca, dan tidak diresapkan di dalam benak. Sehingga yang ada tetap saja ketidaktahuan seperti ketika internet belum ada, saat informasi masih langka. Dengan banjir informasi itu tetap saja membuat kita bodoh.
Untuk mewadahi informasi dari internet, awalnya saya hanya mengandalkan disket besar dan kecil yang hanya punya kapasitas ratusan kilobyte. Sehingga yang terwadahi hanya berupa file teks saja, tidak audio apalagi video. Namun, teknologi penyimpanan itu terus berkembang dari waktu ke waktu. Selang beberapa lama, saya dapat menggunakan compact disk (CD) dan flashdisk yang dapat mewadahi hingga ratusan megabyte. Dengan teknologi ini, selain teks, saya juga jadinya dapat mengumpulkan file audio meskipun tidak banyak, sekaligus mencoba mengumpulkan file video. Apalagi setelah mampu membeli hardisk eksternal yang mula-mula kapasitasnya ratusan gigabyte dan sekarang mencapai terabyte. Demikian pula, flashdisk kian berkembang teknologinya, hingga setara dengan hardisk eksternal.
Di sisi lain, telepon genggam yang awalnya hanya digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan singkat, seperti yang pernah saya miliki pada awal tahun 2000-an, berkembang menjadi perkakas untuk mengakses informasi sekaligus mewadahinya. Ini saya rasakan sekali, setelah terpaksa keadaan “harus” memilikinya sejak akhir tahun 2016. Pasti saya termasuk orang “terbelakang” yang menggunakan telepon pintar. Karena sebelumnya saya tetap bersikeras bertahan untuk tidak memilikinya. Karena saya tidak mau terlalu ribet dengan berbagai godaan untuk terus terkoneksi ke dunia maya. Namun, karena desakan pekerjaan yang banyak dibagikan melalui dan hanya dapat diakses di media sosial, saya mengalah.
Akhirnya, kini saya merasa bahwa informasi sudah bertumpang-tindih sedemikian rupa, dan masih tetap berada di luar sana, tidak hadir di dalam diri saya. Informasi itu hanya tersimpan dalam rekaman sekian banyak disket, CD, flashdisk, hardisk eksternal, ditambah dalam telepon pintar yang setiap beberapa hari sekali saya kosongkan memorinya dan dipindahkan ke dalam hardisk laptop.
Dengan kekayaan informasi yang demikian berlimpah tersebut, seharusnya saya jadi banyak tahu kan? Tidak, saya tetap tidak tahu banyak. Karena informasi baru terus datang bertubi-tubi setiap saat, mustahil bagi saya untuk mengetahui semuanya. Untuk menjadi tahu, saya tetap mengulang lagi pencarian informasi melalui cara-cara konvensional dan mengakses internet. Jadi, informasi yang bertumpang-tindih terus terjadi setiap hari dan yang penting terus saya simpan dalam perkakas memori eksternal, dan barangkali sedikit yang menyangkut di ingatan. Jadi, dibandingkan dengan dulu, sekarang kemampuan mengingat saya dan anda sekalian barangkali terus diperlemah dengan meruyaknya informasi yang tidak membedakan asal-usul, apakah dari kota atau dari kampung.***
*Peminat literasi, tinggal di Bandung.
Ciawi, 19 Januari 2021