Oleh. Atep Kurnia*
Bila kita mau tahu ucapan selamat Hari Raya Idulfitri dengan bahasa Sunda, ada baiknya menelusuri surat kabar Sipatahoenan sejak tahun 1925. Dalam koran itu banyak orang yang memasang ucapan selamat hari raya kepada khalayak pembaca. Ada yang pendek-pendek, ada pula yang panjang-panjang.
Namun, sebelum ke sana, mari kita simak keterangan ihwal asal-mula kebiasaan mengucapkan selamat Hari Raya Idulfitri itu dalam tradisi Sunda. Salah satu buktinya penjelasan Haji Hasan Mustapa dalam karyanya Bab Adat2 Oerang Priangan djeung Oerang Soenda lian ti eta (1913: 133).
Katanya, “Djeung adatna dina poe lebaran sabisa-bisa metakeun sili hormat nandakeun poe hade, malah lamoen ka noe bangsa djaoeh diperloekeun koe soerat” (dan kebiasaan pada hari lebaran sedapat mungkin melakukan saling hormat menghormati sebagai pertanda hari yang baik, bahkan bila kepada orang yang berjauhan [tempat tinggalnya] dapat dilakukan melalui surat). Dengan pernyataan tersebut, sebenarnya, Haji Hasan Mustapa hendak menyampaikan bahwa tradisi bersurat yang isinya berupa ucapan permohonan maaf dan selamat Hari Raya Idulfitri sudah berlangsung lama. Paling tidak sejak diselesaikannya naskah bukunya, yaitu tahun 1910.
Penjelasan lain saya dapat dari tulisan “Lebaran” (dalam Poesaka Soenda, Juni 1924; Sipatahoenan, 6 Januari 1934). Di situ ada uraian asal-usul ucapan selamat berlebaran dalam tradisi Sunda. Katanya, setelah salat Idulfitri, kita semua bersalaman dan bersilaturahmi kepada orang tua dan kepada para tetua. Ucapan yang biasa disampaikan saat itu sebagai berikut: “Moegi aja sih hapoenten kana samoedaja kalelepatan abdi ageng alit ti doenja doegi ka aherat …” (Semoga memaafkan kepada semua kesalahan saya, kesalahan besar kecil, dari dunia hingga akhirat). Atau “Abdi soemedja njanggakeun kalelepatan … moegi aja sih hapoenten …” (Saya hendak menyampaikan kesalahan … semoga dimaafkan …).
Kebiasaan ucapan tersebut konon berasal dari adat lama, saat ritual memuja zaman Kerajaan Majapait, yaitu hendak melebur dosa, membuang kotoran rohani yang menempel pada jiwa. Oleh karena itu, katanya, di Tatar Sunda, semula tidak mengenal ucapan selamat berlebaran, melainkan saling memaafkan dengan sesama manusia (“Koemaha noe mawi kararitoe pokpokanana? Teu aja sanes kadjabi ti noemoetkeun adat asal tea, imanna dina prakna moedja baheula, niat ngaleboer dosa mitjeun rereged anoe djadi panggoda. Anoe mawi oerang mah tara njalametkeun, make kasih salamet lebaran, da lain ka dinja soeroepna, tapi koedoe ngaleboer dosa, silih hampoera djeung papada djelema”).
Namun, generasi muda Sunda kemudian menuruti adat istiadat orang asing, sehingga mulai menggunakan kartu ucapan selamat lebaran, yaitu dengan menggunakan tulisan p.f. dan p.r. Padahal banyak di antaranya yang bahkan tidak bisa mengucapkan huruf-huruf tersebut, apalagi artinya (“Ana prak diganti koe kaom moeda, toetoeroet moending ka deungeun, hajoh make kartjis anoe ditoelisan p.f. sareng p.r. atoeh lain lainna deui djeung oerang mah, itoe ngaler oerang ngidoel. Tampolana eta anoe kagoengan kartjis oge, teu iasa-iasa atjan ngoenikeunana p.f. atanapi p.r. teh, komo kana hartosna mah, ngan toetoeroeti bae, teu oeninga kagoenganana koe andjeun teu eleh koe p.f.”).
Sepanjang yang dapat saya telusuri, Sipatahoenan mulai membuka jasa pemasangan ucapan lebaran sebagai ajang silaturahmi sejak tahun 1925. Pada edisi 21 April 1925 (27 Poewasa 1343 H), ada “Advertentie Lebaran” yang menyebutkan demikian, “Djoeragan-djoeragan noe ngintoen artos f. 1, – sareng kartjis, djenenganana dina dinten lebaran dilebetkeun kana Sip. Tjontona: Brataningrat sarimbit. P.f. en p.r. atanapi noemoetkeun kapalaj” (Tuan-tuan yang mengirim uang f. 1 dan kartu, namanya pada hari lebaran dimasukkan ke dalam Sipatahoenan. Contohnya: Brataningrat dan istri. P.f. dan p.r atau sekehandak tuan-tuan).
Pada praktiknya, dalam edisi 28 April 1925 (4 Sawal 1343) memang belum terlihat ucapan selamat, yang ada hanya singkatan “P.f. en p.r.” Dalam edisi tersebut yang memasang advertensi lebaran adalah E. Prawiraaatmadja (Pamandangan, Djokja), H, Moehamad Samhoedi (Tasikmalaya), Bestuurleden Pasoendan Tjabang Tasikmalaja, Redaksi, direksi, dan administrasi Sipatahoenan di Tasikmalaya, R. Koesnadi (Tasikmalaya), Soekapoera Drukkerij (Tasikmalaya), dan A. Mangoendiwirjo (Parigi, Banjar).
Setahun kemudian, pada edisi 6 April 1926 (23 Poewasa 1344), Sipatahoenan kembali memasang pengumuman iklan lebaran. Bedanya uangnya sebesar f. 0,5 untuk yang mengirimkan kartu nama atau perangko (“Saha-saha noe ngintoen kaartjis djenenganana sareng artos f. 0,50 atanapi parangko f. 0,50 ka Administratie Sipatahoenan, djenengannana dilebetkeun kana Sipatahoenan”).
Ucapan selamat lebaran Idulfitri dalam Sipatahoenan baru saya temukan dalam edisi 5 April 1927 (2 Sawal 1345 H). Pengurus Besar Paguyuban Pasundan dari Meester Cornelis (Jatinegara) memasang dua ucapan, yang panjang dan yang pendek. Yang panjang teksnya begini: “Wireh dinten ieu kaleresan bada boboran Siam Idoelfitri, teu aja sanes anoe disoehoenkeun, moeng sih pangaksami para Djoeragan boh bestuur Tjabang boh elid-elid Pasoendan nja kitoe deui para kantja mitra sadaja, moegi aja hapoenten kana samoedaja kalelepatan ageung alit” (Karena hari ini kebetulan pasca lebaran Puasa Idulfitri, tiada lain yang dimohonkan, hanyalah keampunan para tuan baik pengurus cabang maupun anggota-anggota Paguyuban Pasundan, demikian pula para kanca mitra semua, semoga dimaafkan semua kesalahan besar dan kecil).
Ucapan pendeknya adalah sebagai berikut: “Hoofdbestuur Pasoendan njoehoenkeun dihapoenten tina sadaja kalepatan ka sadaja babakoenan ka Tjabang-tjabang Pasoendan. 1 Sawal 1345” (Pengurus Besar Paguyuban Pasundan memohon maaf dari segala kesalahan kepada semuanya, terutama kepada cabang-cabang Pasundan. 1 Syawal 1345 H).
Selain itu, ada direksi, redaksi, dan administrasi Sipatahoenan yang mengucapkan “Sipatahoenan njoehoenkeun sih pangaksami ka sadaja. 1 Sawal 1345” (Sipatahoenan memohon maaf kepada semua. 1 Syawal 1345). Demikian pula yang disampaikan oleh M. Atmawinata, Ahmad Atmadja, Mas Adjam (W.O. Provinciale Watertaat, Soekaradja), Mas Martasoewanda (O.B. Ph. Djatiwangi), R. Soetisna Poetra (R.O. Kawoeng, Madjenang), O. Sobandar (Gang Telefoon No. 4, Bandoeng), K. Adiwinata (Tegelfabriek Naja, Tasikmalaja), S. Najawilaga (Eigenaar Tegelfabriek Naja, Tasikmalaja), Moehamad Satibie (pengurus taman baca Sinar Kamadjoean, Tasikmalaja), H.M. Djadjoeri, Mas Oe. Soetaamidjaja, Hardjo Proewito (Banjar), Drukkerij Soekapoera, dan Santoso.
Teks ucapan berlebaran dari Mas Oe. Soetaamidjaja agak berbeda. Ia menyatakan demikian: “Rehna bada boboran Siam abdi sareng famili neda dihapoenten koe sadajana” (Karena usai lebaran Puasa, saya dan keluarga mohon dimaafkan oleh semuanya).
Dalam edisi 27 Maret 1928 (5 Sawal 1346) saya mendapatkan teks-teks pendek ucapan selamat lebaran. Misalnya M. Djajadisastra (lurah Cicapar, Banjarsari) dan istri yang hanya memasang “Silatoerahmi Lebaran Siam”; Roekanta (Toko Lengkong, Tasikmalaya) dengan “njoehoenkeun dihapoenten sadaja kalelepatan” (mohon dimaafkan semua kesalahan); Ahmad Atmadja dan istri “njanggakeun silatoerahmi ka sadaja” (menyampaikan silaturahmi kepada semua); dan D. Hasanprawira dan istri “Hatoer silatoerahmi ka sadaja” (menghaturkan silaturahmi kepada semua).
Teks-teks yang redaksi berbeda saya dapati lagi pada edisi 13 Maret 1929 (1 Sawal 1347). Di situ antara lain ada “Hatoer wiloedjeng ka para langganan ti Chemicalhandel Mahi” (menghaturkan selamat kepada para langganan dari Chemicalhandel Mahi); “Slamet boboran Siam” dari M. Soeparta (Batikkerij Tjipedes, Tasikmalaya); “Andoek-andoek pilalakoe, langkoeng saoer bahe tjarek” (mohon maaf atas tindakan dan ucapan yang tidak berkenan) dari R.K. Martakoesoema (Toko boekoe & Drukkerij Tjitandoej, Tasikmalaya).
Pembuat ketu dan udeng Halim dari West Pasarstraat, Bandung, memasang yang panjang sebagai berikut: “Sarehna boboran Siam, njanggakeun dikalepatan, moegi sih aksami. Nja kitoe deui ka sadaja para Djoeragan anoe sami pesen, tina kaelatan ngintoen, koe djalaran pamengan koe toekang. Sareng nganoehoenkeun kana djasana Sipatahoenan, rehna bewara milari toekang ketoe oedeng parantos kenging” (Karena usai Puasa, saya sampaikan kesalahan, mohon dimaafkan. Demikian pula kepada semua tuan yang sudah memesan, atas keterlambatan pengiriman, karena terkendala tukang. Dan berterimakasih atas jasa Sipatahoenan, karena warta pencari tukang ketu udeng berhasil).
Seperti R.K. Martakoesoema, Letter Zetterij (penyusun huruf) Sipatahoenan di Tasikmalaya memasang ucapan selamat lebaran Idulfitri dengan ungkapan bahasa Sunda dalam edisi 20 Februari 1931 (2 Sawal 1349): “Sareboe hatoer bebendoe, salaksa neda doedoeka”, yang artinya sama dengan “saya menghaturkan segala kesalahan yang telah saya perbuat dan saya memohon untuk dimaafkan”. Ungkapan tersebut sama dengan “nyanggakeun bebendu” digabung dengan “ngadastakeun salaksa duduka”.
Demikianlah Sipatahoenan hingga 1941 terus memuat ucapan selamat Hari Raya Idulfitri yang dipasang oleh para pengusaha, organisasi, pribadi, dan lain-lain sebagai ajang silaturahmi secara tertulis, seperti yang ditegaskan dalam Sipatahoenan edisi 16 Februari 1931 (28 Poeasa 1349).
Di situ dikatakan, dengan memasang ucapan lebaran pada kolom SILATOERAHMI yang disediakan Sipatahoenan, pembaca atau pelanggan tidak usah membuat dan mengirimkan kartu ucapan lebaran yang bisa jadi maha. Sementara dengan memasang ucapan di Sipatahoenan biayanya terhitung hemat, tetapi pesannya bisa diterima oleh beribu-ribu orang (“Oepami ti ajeuna djoeragan ngintoen artos SAROEPIA Ka Administratie Sipatahoenan, djenengan djoeragan dilebetkeun kana kolom SILATOERAHMI dina ieu serat kabar, irit ongkosna toeroeg-toeroeg katampi koe reboe-reboe djalma kantenan langkoeng sampoerna”).
Keterangan foto:
Sipatahoenan membuat pengumuman bagi hendak menyampaikan ucapan selamat Hari Raya Idulfitri tahun 1343 H (1925) melalui surat kabar tersebut. Sumber: Sipatahoenan, 21 April 1925.
*Pengurus Pusat Forum TBM Divisi Litbang