Categories
Opini

Untukmu Para Pengabdi Ilmu

Orang bijak bilang padaku: pertemuan bukan hanya untuk menambah kerinduan ataupun melengkapinya dengan perpisahan. Pertemuan diciptakan karena tuhan mentitipkan ilmu kepada setiap insan untuk diberikannya kepada orang-orang.

Setiap manusia mempunyai takdir masing-masing dalam mendapatkan ilmu bagi dirinya. Ada yang lewat bacaan, ada yang karena mendengakan, ada yang karena jelinya penglihatan, ada yang karena ketekunan dalam tulisan, serta ada pula yang mendapatkannya karena banyaknya pertemuan.

Komunitas Guru Belajar Purwokerto adalah salah satu wadah pertemuan para guru dan aktivis sosial. Acara ini merupakan acara rutinan dari komunitas guru belajar purwokerto yang bernama Mudik atau Temu Pendidik.

Berawal dari rasa penasaran dengan kegiatan-kegiatan mereka yang selalu di ekspose di media sosial. Saya berfikir, seru sekali mereka, Hingga akhirnya mendapatkan kesempatan duduk dan berbincang dengan mereka semua hari ini.

Saya belajar banyak dari kawan-kawan yang hadir. Hati saya rasanya menghangat seketika, ketika mendengar kisah perjalan mereka yang luar biasa. Saya fikir, hanya saya dan teman-teman relawan Kampung Literasi Wadas Kelir yang masih mau berbagi dengan anak-anak sekitar. Tapi ternyata, masih banyak orang diluar sana, yang peduli dengan mirisnya keadaan Indonesia.

Di Komunitas ini saya banyak belajar dari para tokoh orang hebat disana. ada Pak Daru seorang guru SMK2 Purwokerto yang masih aktif mencari hal baru untuk mengembangkan proses pembelajaran di kelas untuk para peserta didiknya. Ada Pak Heri pengelola TBM Pustaka Warga yang begitu semangat membangun, mengumpulakan dan menggerakkan para aktivis sosial. Ada Bu Cici dari Kelas Inspirasi, yang sangat energik bergerak kesana-kemari untuk menebarkan pengalaman-pengalaman inspiratifnya, dan masih banyak lagi kawan-kawan dari Bhineka Ceria, Pakis, LBS, Oemah Sinau, serta guru-guru sekolah berbagai jenjang di Purwokerto.

Ada kisah yang sangat menarik dan menyentil hati pada sore itu, yaitu kisah perjuangan dari bapak Slamet dengan Oemah Sinau nya di Desa Limpakuwus, yang menceritakan bagaimana awalnya dia membangun wadah belajar bagi anak-anak yang hanya berlandas hobby dan rasa cintanya terhadap dunia anak-anak.

Serta, kisah ibu Umi dengan LBS (Lelang Bronis Sedekah) nya. Berawal dari seorang penjual bronis keliling, yang prihatin dengan keadaan sekitar, dia membantu anak-anak dan kaum dhuafa untuk mendapatkan pendidikan dan pengobatan dengan menyisihkan seluruh hasil dagangannya pada hari kamis dan jumat untuk membantu mereka semua.

Dari kisah-kisah diatas saya merasa terenyuh, diusia mereka yang tidak terbilang muda ternyata masih mau dan mampu untuk peduli pada sekitar. Ini justru terbalik dengan kita mahasiswa yang terbilang masih sangat muda, tapi minim kepedulian.

Saya berfikir, sebenarnya apa arti dari ‘Agen of Change’ Bagi mahasiswa itu sendiri? Mengapa terasa stagnan? Kelak Inovasi apa yang akan mereka berikan? Dengan gadget yang selalu mereka pegang, dengan kegiatan-kegiatan yang katanya mengembangkan, dengan orasi-orasi yang mereka suarakan, apakah bisa membagi kemewahan dan waktu kalian sebentar? Bukan berarti organisasi tidak penting. Bukan berarti orasi tak berguna. Tapi cobalah tengok sebentar, banyak lingkungan nyata yang menunggu hadir kalian.

Hai mahasiswa!

Cepat ambilah kaca

Jangan lalai apalagi hanyut

Sibuk membangun dir, tanpa peduli

Tengok adik kecil itu

Tengok bapak ibu kanan kiri

Mendidik meneliti mengabdi

Sudahkah kalian lakukan?

Ingat bapakmu

Tri Dharma Perguruan tinggi

Seorang yang literat tidak hanya pandai membaca buku, tapi juga pandai membaca sekitar. Dan Mahasiswa adalah sebaik-baiknya Literat ‘Harusnya’.

Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat menebarkan ilmu bagi banyak orang. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu yang di tulis dan diamalkan.

(Putri Puji Ayu Lestari-Mahasiswa IAIN Purwokerto dan Relawan Pustaka Kampung Literasi Wadas Kelir)

 

Leave a Reply