Oleh. Atep Kurnia*
Mekah dipandang sangat penting bagi raja Mataram sebelum bergelar Sultan Agung (1613-1645). Tempat di Jazirah Arabia itu tidak hanya dianggap tempat keramat dalam Islam yang dianut sang raja, melainkan menjadi tempat untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya di Pulau Jawa.
Fakta ini saya simak dari buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (Cet. 2, Pustaka Utama Grafiti, 1990) karya H.J. De Graaf. Aslinya, buku itu bertajuk De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram (1613-1645) en die van zijn voorganger Panembahan Séda-ing-Krapjak (1601-1613) sebagaiVerhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde jilid ke-23 dan diterbitkan tahun 1958.
Sekilas, Prof. Dr. Soedarsono, dalam “Sepatah Sambutan” (1990: vi), menyebutkan raja Mataram itu mula-mula bergelar Panembahan saat naik takhta pada 1613, kemudian Susuhunan tahun 1624, dan menggunakan gelar Sultan sejak 1641 sebagai anugerah dari Mekah.
H.J. De Graaf sendiri membahasnya dalam satu bab khusus, “Bab XVII. Penerimaan Gelar Sultan, 1641-1642”. Menurutnya, Panembahan Cirebon mengusulkan gelar Ratu Mataram kepada junjungannya dalam Sidang Raya Kerajaan tahun 1636, tetapi raja tidak menerimanya. Namun, karena raja Banten mendapatkan gelar sultan dan panji dari ulama besar di Mekah tahun 1638, hal itu menimbulkan iri hati raja Mataram.
Untuk mewujudkan keinginannya, raja Mataram mendekati orang Inggris yang tinggal di Jepara, sebagai perantara untuk menuntut orang Inggris di Banten agar meminta gelar sultan dari raja Banten. Raja Mataram mengirim utusan pada 20 Oktober 1638 kepada orang Inggris di Banten dengan hadiah sebilah pedang dan keris. Sebagai jawabannya, orang Inggris bersama seorang Portugis menyampaikan jawaban ke Mataram pada awal 1639. Kunjungan itu tak luput dari amatan orang Belanda.
Sebagaimana ditemukan De Graaf dari Daghregister tanggal 20 November 1640, setiap hari orang Inggris mengunggu kedatangan utusan Jawa yang dikirimkan ke Mekah melalui India. Utusan Jawa itu diperkirakan berangkat pada pertengahan 1639, setelah perjanjian dengan utusan tanggal 20 Oktober 1638. Pada 27 Januari 1641, duta Jawa dibawa orang Inggris ke Banten. Dari Banten, utusan itu dikawal Kiai Narantaka atas perintah Sultan Banten. Si utusan dari Jazirah Arabia membawa “sebuah gelar baru dari tanah Arab dan disebut Sultan Abdul Mahomet Moulana Mataram (sebenarnya-mungkin Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani (Daghregister, 30 Okt. 1641)”. Akhirnya, sejak 1 Juli 1641, seperti tertulis dalam Daghregister, 1 Juli 1641, namanya sudah disebut “Sultan Mataram”.
Ternyata, pihak Belanda juga berhasrat membantu raja Mataram mendapatkan gelar sultan dari Mekah, dengan syarat sebagai imbalannya tawanan Belanda dilepaskan. Ini terungkap dari surat tanggal 24 April 1640 dan 21 Agustus 1640 yang menyatakan Belanda mau membawa utusan raja ke Mocha, Aceh atau Dabul. Tapi pihak Mataram tidak menanggapinya. Di sisi lain, Ralph Cartwright dan kawan-kawan yang mengantarkan pembawa gelar sultan dari Mekah ke Mataram, menyanggupi untuk mengantarkan lagi “utusan raja Mataram, yaitu ulama Arab beserta 18 orang Jawa yang pandai dan kurang lebih 6.000 rial logam untuk disedekahkan di makam Mahometh” dengan menumpang Kapal Reformation.
Menurut perkiraan De Graaf, pengiriman itu berikut uangnya demi kepentingan sultan Mataram menunaikan ibadah haji. Sekaligus mengejar momentum berpuasa di Tanah Suci selama bulan Ramadan, yang jatuh pada November-Desember 1642. Karena sultan tidak bisa berangkat, maka ia menugaskan para penggantinya untuk menunaikan ibadah haji, dengan biaya ditanggungnya semua.
Namun, Kompeni Belanda menyerang Kapal Reformation dengan empat kapal di Pulau Onrust pada 11 Juli 1642. Akibatnya, seorang Inggris tewas, 3-4 luka-luka, ulama Arab (Haji Gusarath) ditangkap beserta dua ulama Jawa dan uang 5740 real dirampas. Sedangkan 15 orang Jawa lainnya dibunuh.
Selain penumpang Kapal Reformation, orang Jawa yang menumpang kapal milik seorang ’Chilj Poutj’ dan di bawah lindungan Inggris dipaksa menyerah kepada Belanda. Ada 38 orang Jawa yang menyerah. Setelah penangkapan-penangkapan itu, Haji Gusarath ditahan, diinterogasi, dan diharuskan menulis surat kepada sultan Mataram. Isi suratnya berkisar di sekitar kabar bahwa tawanan Jawa akan dibebaskan bila tawanan Belanda dibebaskan pihak Mataram. Suratnya dititipkan pada 12 Juli 1642 kepada orang Jawa bernama Patra Hita yang akan berlayar dengan kapal ’Chilj Poutj’ yang sudah dibebaskan.
*Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM).