sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung Yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
(Tujuh Cemara, Umbu Landu Paranggi)
Ketika berbicara Yogyakarta, saya tidak dapat melepaskan nama Umbu Landu Paranggi. Pada akhir tahun 1960-an, di Jalan Malioboro menjadi tempat berkumpulkan para penulis hebat yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi lewat Persada Studi Klub (PSK). Penulis tersebut adalah Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Iman Budhi Santosa, juga Korrie Layun Rampan.
Umbu Landu Paranggi berinisiatif membuat diskusi di kantor redaksi Pelopor Yogja, di mana pada waktu itu Umbu menjadi redaktur. Diskusi pertama kali dilaksanakan pada 5 Maret 1968 dengan dihadiri oleh Ragil Suwarna Pragolapati, Mugiyono Gito Warsono, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Teguh Ranusastra Asmara, dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Diskusi tersebut untuk mengasah kemampuan kepenulisan dari kalangan penulis muda Yogyakarta.
Persada Studi Klub dan Umbu tinggal cerita, namun spiritnya selalu ada dan tumbuh berkembang hingga sekarang. Baik di dunia sastra, maupun ranah lainnya yang berkaitan dengan tulis menulis.
Warita dari Tanah Istimewa
Di hadapan saya terdapat buku yang berjudul Warita dari Tanah Istimewa, yang diterbitkan oleh Forum TBM Yogyakarta. Buku ini menghimpun 23 tulisan dari 23 pegiat literasi dari 5 kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis dari buku ini dari pegiat TBM, pengelola perpustakaan dusun, serta perpustakaan berbasis komunitas. Hingga tidak heran ketika membaca buku ini akan menemukan keberagaman kisah dari narasi yang ditulis oleh para pegiat literasi.
Kisah-kisah dari pegiat literasi yang terhimpun dalam buku antologi ini menjadi catatan penting sebagai dokumentasi juga kisah inspirasi untuk generasi selanjutnya, bahwa hari ini telah lahir aktivis-aktivis literasi yang dengan kesabarannya terus membantu masyarakat untuk terus berpikir cerdas, kreatif, serta mendampingi masyarakat dari gegar budaya. Gegar budaya yang dimaksudkan adalah kebingungan masyarakat dengan adanya akses informasi yang begitu cepat. Selain itu teknologi yang semakin canggih, sehingga tidak semua masyarakat mengerti dengan cara kerja dari teknologi itu sendiri.
Selain menyasar kalangan remaja dan orang dewasa, pegiat literasi juga menyasar anak usia dini. Di mana, mereka (pegiat literasi) menumbuhkan minat baca pada adak usia dini. Seperti yang dilakukan oleh TBM Mekar Insani yang bekerja sama dengan beberapa PAUD untuk menumbuhkan minat baca sejak dini.
TBM Helicopter intens mendampingi anak-anak disabilitas, lewat kegiatan-kegiatan berupa workshop, dll. sebab anak-anak disabilitas juga harus mendapatkan pendidikan lebih baik. Oleh landasan itu, TBM Helicopter selalu mengajak anak-anak disabilitas dalam kegiatan-kegiatannya.
TBM Iqro memberikan layanan baca seperti biasa, bersinergi dengan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Menjadi lain dari gerakan yang dilakukan oleh TBM Iqro adalah memberikan beasiswa pada anak-anak yang tidak mampu. Sehingga dapat m elanjutkan serta mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Masih banyak lagi kisah-kisah perjalanan dari para pegiat literasi, baik yang bahagia maupun kisah sedih yang dialaminya. Namun hal itu menjadi pengalaman yang bagus dan menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membaca buku ini. Sebab tidak ada kesuksesan yang lahir secara serta merta, kesusksesan lahir dari proses.
Forum TBM ibarat Tunggu Pemanas
Pada awal tulisan ini, saya sedikit menceritakan mengenai Umbu Landu Paranggi dengan Persada Studi Klub, supaya menjaga lupa bahwa ada gerakan sastra yang lahir di Yogyakarta. Namun apabila dikaitkan dengan buku ini, memang tidak bisa disamakan appel to appel, setidaknya Forum TBM Yogyakarta menjadi tungku pemanas untuk terus melahirkan pegiat-pegiat literasi di Yogyakarta. Seperti dulu dilakukan oleh Umbu lewat Persada Studi Klub.
Sebagai seorang pegiat literasi, saya sangat termotivasi serta terinspirasi dari buku Warita dari Tanah Istimewa, banyak kisah-kisah menggugah. Buku ini harus menyebar dan dapat dibaca oleh orang banyak, supaya dapat terinspirasi, serta terugah hatinya untuk ikut membantu, terjun ke masyarakat, memajukan serta membudayakan literasi lebih baik lagi.
Disadari atau tidak, sebuah buku dapat memberikan dampak terhadap pembaca. Saya kira, buku ini telah berdampak pada saya sebagai pembaca, serta ingin ke Yogyakarta mendatangi TBM serta komunitas literasi lainnya menggali ilmu serta informasi banyak dari pegiat literasi dalam memasyarakatkan literasi di daerahnya.
Saya kira Yogya tidak akan pernah kehabisan orang-orang hebat, orang-orang yang dapat menginspirasi banyak orang. Orang-orang itu ada dan terwadahi oleh Forum TBM Yogyakarta.
Sekarang ingatan saya bertambah ketika ke Yogyakarta, pertama puisi Tujuh Cemara dan kedua Warita dari Tanah Istimewa.
Salam.