Tim Relawan Yayasan Ruang Baca Komunitas melakukan Safari Literasi ke SMK NU Langensari, Kota Banjar dan ke markas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Banjar.Kegiatan Safari Literasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang istimewa karena YRBK sudah melakukannya puluhan kali.Safari Literasi kali ini sudah memasuki titik yang ke-54 dan ke-55 sejak diprogramkan setahun yang lalu.Namun hal spesial dalam kegiatan Safari Literasi kali ini adalah dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober, bertepatan dengan Hari Santri Nasional.“Karena itu saya berusaha mencoba mencari “benang merah”, titik temu yang menghubungkan urgensi literasi dengan momentum Hari Santri,” kata Sofian Munawar, pendiri YRBK.
Dalam acara Safari Literasi itu, Sekretaris YRBK Ivan Mahendrawanto menyampaikan materi tentang pentingnya budaya literasi. Ivan membuat komparasi bagaimana budaya literasi di Indonesia dengan budaya literasi di negara-negara maju, terutama di Australia yang pernah ia singgahi. Menurut Ivan, Australia bisa menjadi negara maju karena memili perhatian yang istimewa terhadap budaya literasi. “Sejak usia dini anak-anak sudah dikenalkan dengan budaya literasi dan didorong untuk rajin membaca. Sementara di sekolah, para siswa sudah didorong untuk belajar secara fokus pada bidang studi yang dia minati sehingga nantinya menjadi ekspert di bidangnya,” tambah Ivan.
Di SMKNU puluhan siswa mengikuti kegiatan Safari Literasi dengan semangat. Demikian pula di markas PMII, para mahasiswa baru tampak semangat bahkan mereka juga ingin turut bergelut di dunia literasi sebagai bekal untuk meningkatkan potensi diri, baik dalam hal akademik maupun kemampuan lainnya yang menunjang peningkatan kualitas SDM. Dalam obrolan dan diskusi dengan para aktivis PMII, Sofian menuturkan bahwa tugas dan tanggung jawab kalangan civitas akademika di perguruan tinggi pada dasarnya ada pada tiga hal pokok, yaitu pendidikan atau pengajaran, penelitian, dan pengabdian masayarakat. “Ketiga hal ini harus berjalan secara seimbang. Namun seringkali kegiatan penelitian baik mahasiswa maupun dosen sering terkendala, hambatannya antara lain karena masih rendahnya budaya literasi di kampus. Karena itu budaya literasi dapat menjadi basis untuk memperkuat bekal kalangan civitas akademika untuk menunaikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai agent of change,” tambah Sofian.
Terkait Hari Santri Nasional yang telah ditetapkan pemerintah pada tanggal 22 Oktober menurut Sofian merupakan tonggak penting. Pada saat itu ada “Resolusi Jihad” yang dikumandangkan kalangan pesantren yang dengan gegap gempita melawan pasukan Sekutu yang membonceng kolonial Belanda yang ingin tetap bercokol di bumi pertiwi. Salah satu insiden monumental terjadi ketika Harun, salah seorang santri Pesantren Tebuireng gugur saat ia menyerang mobil pasukan Sekutu pimpinan Brigjen Mallaby yang juga terbunuh bersama sopirnya saat itu. Peristiwa heroik ini tentu perlu dikenang sekaligus dikontekstualisasikan meskipun dalam semangat zaman yang berbeda. Jika dulu “Resolusi Jihad” dimaknai dengan angkat senjata, maka resolusi jihad kini adalah dengan menjawab ragam tantangan nyata di depan mata. “Rekontekstualisasi semangatnya sekarang perlu digeser dari medan perang ke medan pendidikan, dari angkat senjata beralih ke buku dan pena, dari resolusi ke literasi,” pungkas Sofian. (Liputan M.Taufik Setiawan). []