Oleh. Iqbal Fathurrohman*
Melambung jauh, terbang tinggi bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri, kau telah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
(Lirik lagu Mimpi, Anggun C. Sasmi)
Akhir tahun 2021, Indonesia dihebohkan oleh film Yuni karya sutradara Kamila Andini. Film ini mendapatkan banyak penghargaan seperti Asian World Film Festival 2021 di Los Anggeles, Festival Film Internasional Toronto, serta Film Terbaik Piala Citra.
Saya tertarik film ini karena mengangkat antara pendidikan dan budaya. Di mana di Indonesia pendidikan dan budaya, masih bergesekan. Indonesia yang memiliki banyak ragam budaya tentu harus memiliki konsep yang jitu untuk mengangkat pendidikan supaya tidak bergesekan.
Film Yuni bercerita tentang seorang remaja (anak SMA) pintar, penyuka warna unggu, yang bercita-cita ingin melanjutkan kuliah.
Ibu Lies membantu Yuni untuk mewujudkan melanjutkan kuliah dengan memberikan informasi-informasi beasiswa kepada Yuni. Akan tetapi, nilai Bahasa Indonesia Yuni tidak terlalu bagus, sehingga Pak Damar, banyak memberikan tugas kepada Yuni. Pak Damar memberikan tugas dari buku kumpulan puisi yang berjudul Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono.
Tugas Bahasa Indonesia Yuni dibantu oleh Yoga, adik tingkatnya. Yoga pun diam-diam menaruh hati pada Yuni.
Kepintaran serta sosok Yuni yang unik dan menarik, dilirik oleh banyak laki-laki. Bahkan Yuni dilamar oleh dua orang pria secara tiba-tiba. Yuni tidak tahu sama sekali dengan pria yang melamarnya. Namun Yuni menolaknya.
Mitos yang beredar di daerahnya, ketika dua kali menolak lamaran, maka jodohnya akan jauh. Dari sini Yuni di hadapkan pada dua pilihan yang sulit. Melanjutkan pendidikan lebih tinggi atau menikah. Sementara lingkungan mendorong Yuni untuk menikah.
Budaya dan Pendidikan
Lirik lagu Mimpi yang dinyanyikan oleh Anggun C. Sasmi bertemu dengan konteks pada cerita film Yuni menjadi hidup dan terasa sekali. Lagu Mimpi yang populer pada tahun 90an, diaranseman ulang menjadi kekinian, bertemu dengan film Yuni menjadi luar biasa.
Yuni adalah pars pro toto dari kegelisahan remaja seusianya. Antara budaya serta pendidikan selalu terdapat gesekan yang sangat kuat, termasuk di Indonesia.
Pada esai ini, saya terinspirasi dari film Yuni untuk melihat lebih jauh daripada pendidikan di Indonesia.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim membuat konsep pendidikan di Indonesia “Merdeka Belajar”. Apa sih Merdeka Belajar? Apakah sesuai dengan konteks Indonesia? Apakah Merdeka Belajar sama seperti yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara?
Ketiga pertanyaan itu muncul dalam benak saya. Dan saya mulai mencari tahu mengenai Merdeka Belajar. Mulai dari youtube, esai dan artikel, hingga dalam pendiskusian.
Apabila melihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “merdeka” memiliki arti yang pertama adalah bebas (dari perhambatan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri. Makna yang kedua adalah tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Kemudian makna yang ketiga adalah tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa. Sedangkan kata “belajar” memiliki arti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Arti yang kedua adalah berlatih. Sedangkan arti yang ketiga berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman.
Makna “Merdeka Belajar” apabila saya boleh berpendapat dari apa yang disamaikan oleh KBBI adalah tidak terperintah, melainkan memerintah serta mengatur diri sendiri dalam memperoleh kepandaian atau ilmu. Karena seperti apa yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa setiap orang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Serta kita semua sudah tahu bahwa sekolah bukan satu-satunya pusat pendidikan, ada pula keluarga juga masyarakat, atau sering disebut sebagai tri pusat pendidikan.
Merdeka Belajar berpotensi meluaskan cakrawala pemikiran anak dalam mendapatkan pendidikan. Karena sekolah bukan satu-satunya tempat pendidikan, guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan. Di mana pun dapat menjadi tempat untuk mendapatkan ilmu, juga banyak media dan sumber lain untuk mengisi pengetahuan siswa.
Indonesia memiliki 476 suku bangsa. Artinya Indonesia adalah negara terbanyak yang memiliki suku bangsa. Sudah pasti pola budaya terhada pendidikan setiap daerah berbeda-beda. Hal ini saya rasa menjadi salah satu pertimbangan dari munculnya Merdeka Belajar. Setiap daerah memiliki muatan lokal yang berbeda dengan ciri dan keunikan yang khas.
Hal serupa juga akan muncul, ketika Indonesia memiliki banyak budaya maka pola pendidikan akan berbeda. Kapasitas siswa tidak dapat digeneralisir. Kepintaran tidak dapat diukur oleh angka, atau mata pelajaran matematika juga fisika. Eintein mengatakan bahwa “setiap anak jenius, tetapi ketika anda menilai ikan dari cara dia memanjat pohon, percayalah itu adalah bodoh”. Kapasitas anak, kemampuan anak, potensi anak, minat anak akan muncul dengan adanya konsep Merdeka Belajar.
Menjadi permasalahan sekarang adalah implementasi dari Merdeka Belajar ini di akar rumput. Apakah semua guru dan sekolah paham dan sudah menjalankan Merdeka Belajar?
Dengan ketidak merataan insfratruktur pendidikan di setiap daerah, ditambah signyal internet yang masih lemah, akan menghambat kemampuan serta kreativitas guru dalam menjalankan konsep Merdeka Belajar. Terlebih masih ada guru yang mengajar dengan cara konvensional.
Menelisik Lebih dalam Merdeka Belajar
Yuni seorang remaja yang tekungkung budaya sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan tinggi adalah cermin dari masih adanya kesenjangan pendidikan di Indonesia. Sementara pakar-pakar pendidikan selalu merumuskan kurikulum yang tepat untuk Indonesia. Sebab maju tidaknya sebuah negara, dapat dinilai dari pendidikan.
Menelisik lebih dalam Merdeka Belajar, maka akan bertemu dengan apa yang kemudian disebut dengan Profil Pelajar Pancasila yang akan berkelindan bersama kurikulum Merdeka. Maksud saya adalah karakter yang dikuatkan dalam Merdeka Belajar adalah karakter Pancasila. Di mana memiliki 6 dimensi kunci yang diantaranya adalah 1) beriman dan bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia; 2) berkebinekaan global; 3) bergotong royong; 4) mandiri; 5) bernalar kritis; 6) kreatif.
Dengan adanya Profil Pelajar Pancasila, dapat melihat kembali bahwa Karakter Pancasila ini penting untuk Indonesia yang memiliki 476 suku bangsa dengan agama yang berbeda-beda. Hal ini tentu untuk melihat kembali filosofi dari Pancasila yang dirumuskan oleh Soekarno serta para pendahulu kita dulu. Baik terhadap pendidikan pun hidup bersosial di masyarakat.
Merdeka Belajar memberikan harapan pendidikan di Indonesia lebih baik. Dengan fleksibelitas kurikulum merdeka, dapat menyesuaikan dengan konteks budaya suatu daerah. Pada hal ini, guru sebagai leading sector harus berpikir kreatif, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, berkomunikasi, serta berkolaborasi. Supaya apa yang dicita-citakan bersama tentang pendidikan di Indonesia lebih baik akan terwujud.
Pendidikan Indonesia lebih baik, tidak akan ada Yuni lain lagi menyanyikan lagu Melambung jauh// terbang tinggi bersama mimpi// Terlelap dalam lautan emosi// Setelah aku sadar diri// kau telah jauh pergi// Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi/.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Relawan Rumah Baca Taman Sekar Bandung.