Sabtu sore, tepatnya sebelum hujan turun, anak-anak seperti biasa ramai untuk Sekolah Literasi di gedung setengah permanen milik kami, TBM Wadas Kelir. Saya melihat banyak anak-anak yang berdatangan. Lebih banyak dari biasanya. Senyum melengkung di bibir saya. saya yang hanya bisa memantau via whatsapp dari kabar relawan dan grup whatsapp merasa begitu bahagia. Foto keceriaan mereka untuk segera berlatih untuk  pentas di Cafe Baca Wadas Kelir. Remaja melatih pantomim, puisi, tari, menyanyi, dan beatbox. Ada tim yang mereka bentuk untuk mengajar anak-anak sd. Dengan penuh semangat dan antusias mereka kompak berlatih bersama. Saya melihat ada sosok relawan dari cara mereka mengajar ke anak-anak SD.

Setelah rapat evaluasi Cafe Baca sebelumnya, kami menunjuk Aisah dan Sri sebagai ketua pelaksana Cafe Baca bulan ini. Yang tak saya sangka Aisah Nur Oktavia, Sri Rahmawati dan Bayu Pamungkas dengan didampingi Kak Khotibul Iman, mereka berkoordinasi intensif sebelum mengumpulkan anak-anak SD yang sering berangkat pembelajaran sore dan jarang berangkat. Mereka menyusun tim pengajar, sosialisasi dan pendampingan tiap anak.

Terkadang guru lupa, muridnya telah bermetamorfosis jadi remaja. Saya pun lupa. Lupa kalau mereka sudah remaja. Saya masih teringat mereka saat masih kelas lima SD. Sekarang mereka sudah SMA. Seperti remaja pada umumnya mereka sudah bisa memilih kegiatan yang menurut mereka baik. Mereka sudah bisa memimpin. Mengorganisasi orang lain. Inikah pendidikan? Terbesit pertanyaan itu dalam hati saya. Saya dan relawan lainnya mengajar mereka sejak kelas lima SD. Sekarang, mereka yang mengajar anak-anak SD. Seperti layaknya kami dulu bahkan mereka lebih bersahabat dengan anak-anak SD.

Mereka sudah menjadi sosok relawan. Relawan remaja yang belajar memimpin, berorganisasi, mengajar, dan mengamalkan apa yang ia punya. Saya berdoa dalam hati semoga remaja Wadas Kelir selalu dilimpahi kebaikan dan selalu ingin belajar.

 GURU KENCING BERDIRI MURID KENCING BERLARI 

Pepatah ini begitu akrab dengan dunia pendidikan. Mungkin ini yang sedang terjadi di Wadas Kelir. Remaja sudah lebih pintar untuk bisa menjadi sosok guru bagi anak-anak SD. Sekolah Literasi Wadas Kelir saat ini diajar oleh remaja. Relawan yang terjadwal mengajar hanya duduk mengikuti dan terpesona dengan remaja.

“Bagaimana latihan sore ini, lancar?” “Alhamdulillah Kak Anis, lancar terkendali.” “Bagaimana remaja mengajarnya,” “Keren, Kak. Sudah mirip seperti relawan, malah lebih bagus dari relawan sepertinya, hahaha!” “Wah, jadi ingin lihat langsung”

Percakapan saya ditelepon saat latihan untuk pentas anak-anak yang dipimpin remaja telah usai. Saya yakin, mereka belajar dari cara relawan mengajar. Kids zaman now, ya banyak orang menyebutnya demikian memang lebih pandai dari gurunya. Apalagi mereka generasi milenial yang tahu banyak tentang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam buku filsafat ilmu yang saya baca saat awal kuliah S2, ada empat asal muasal pengetahuan manusia: wahyu, intuisi, rasio dan pengalaman. Praktiknya, sumber pengetahuan lebih banyak berasal dari rasio dan pengalaman. Hanya segelintir manusia yang menggunakan intuisi mereka dalam pemerolehan pengetahuan. Apabila disaring lagi, hampir sebagian besar pengetahuan manusia berasal dari pengalaman atau empiris.

Pengalaman ini yang diperoleh dari remaja di Wadas Kelir. Pengalaman ia mendengar dan melihat perilaku gurunya, gambar, tulisan, atau apa saja yang ia jumpai saat bertemu dengan gurunya. Pengalaman pun tak berkiblat pada apa yang ia temui, tapi apa yang mereka baca dari buku, website, atau film. Ataupun dari orang-orang di sekitarnya. Pertemuan Sekolah Literasi di Wadas Kelir setiap kamis hingga minggu membuat mereka banyak berubah. Relawan yang selalu mendampingi mereka memberikan mereka pengetahuan tentang cara mengajar anak-anak. setidaknya mereka ingat gaya saya mengajar dan kawan-kawan relawan yang mengajar. Alhasil, mereka punya gaya mengajar mix dari beberapa relawan. Inilah BELAJAR DARI GURU. Guru menjadi sosok teladan yang akan memberi inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan bahkan lebih baik dari gurunya. 

Karena itu, Pegiat literasi, guru, ataupun pemimpin harus lebih cerdas dalam menyampaikan sesuatu, menggali ide-ide kreatif peserta didik atau anggotanya, dan memberi teladan untuk gemar membaca. saat mereka mulai remaja atau dewasa, ada cerminan diri kita (guru) dalam dirinya. Kita melihat sosok diri kita saat dia menyampaikan pendapat, mengajar, berbicara di depan umum dan memimpin teman-temannya serta ada rasa kagum tentang dirinya yang lebih dari kita.[]