Detik-detik kelahiran adalah kontraksi yang biasanya dapat menimbulkan kepanikan, kelimbungan, dan kematirasaan. Barangkali ibu-ibu yang telah melahirkan anak-anaknya tidak perlu diberi penjelasan karena mereka mengalaminya. Kelahiran tidak sekadar dirasakan ibu-ibu saja, seseorang yang melahirkan anak-anak pikirannya dapat merasakan juga. Meskipun melahirkan bayi-bayi dalam bentuk buku, album lagu, atau gambar-gambar wajah seribu.

Dalam rentang waktu 120 hari, sejak 17 Agustus – 16 Desember 2017, sebuah garapan disepakati anak-anak muda. Sebuah buku berjudul “Kota Tujuh Stanza” menjadi sumber karya lain yang diterjemahkan dalam 7 lirik, 7 lagu, 7 ilustrasi, 7 fotografi, dan 7 videografi. Dalam rentang waktu tersebut, banyak anak muda yang dilibatkan sesuai dengan kapasitasnya. Peristiwa tersebut berada di tempat parkir lantai tiga sebuah pusat perbelanjaan sebuah wilayah yang berada di sekitar 106 km tenggara kota kembang; Tasikmalaya Raya.

Sebuah permulaan adalah ganjil. Ia berdiri sendiri yang kemudian berubah dalam bentuk lain. Semacam matahari yang spektrumnya berwajah tujuh warna-warni. Bukankah Tuhan itu tunggal?  Kemudian Ia menyebar cintaNya dalam ciptaan-ciptaan. Makhluk, bumi, bulan, bintang-bintang, dan galaksi-galaksi; semesta.

Begitu juga makhluk yang lebih baik dari ciptaan lainNya. Sosok Adam ditiupi ruh di balik seonggok tubuh. Mulai dari ketiadaan terwujudlah awal bilangan-bilangan. Bukankah di belakang nol masih ada bilangan-bilangan negatif? Membahas Tuhan tidak akan terpecahkan hanya dengan teori-teori ciptaan manusia. Maksud saya, kemahabesaranNya tidak akan dapat terbandingkan dengan apa pun. Sekalipun anak-anak muda Tasikmalaya Raya menganggap perhelatan acara kolosal yang melibatkan beragai creator diklaim sebagai mahakarya Tasikmalaya (Sila nikmati theme song raamfest: https://www.youtube.com/watch?v=ZBM92-GknUc).

Saya ingin berbagi kisah tentang energi anak-anak muda Tasikmalaya. Mereka serupa matahari yang spektrum cahayanya melebihi tujuh warna. Bahkan, mencapai dua belas warna. Bisa jadi lebih, jika perhitungan kapasitas otak-otak mereka bekerja hingga puluhan persen. Sebagai gambaran, tonton saja sebuah film berjudul “The Lucy” yang diperankan Scarlett Johansson dan disutradarai Luc Besson. Sebuah film bernuansa filsafat tersebut mengetengahkan kekuatan kapasitas otak seorang Lucy yang dapat menembus ke dimensi masa lalu dan masa depan.  Ia dapat mengubah dirinya sesuai kehendak yang dipikirkannya. Memang perlu dibuktikan secara ilmiah, tetapi film tersebut mengingatkan tentang sebuah power otak manusia hingga 100 %.

“Anak-anak muda melahirkan sejarah,” ucap Pramoedya Ananta Toer dalam novel “Larasati”. Namun, itu hanya kata-kata. Sedang anak-anak muda di tanah mutiara rindu dengan sebuah gerakan atas nama kebersamaan.

Anak-anak muda yang lahir dari gua garba mojang-mojang Priangan berusaha melahirkan sejarah. Setelah peluncuran video multiliterasi “Sampurasun” pada 17 Agustus, sebagai benih yang terus disirami hingga tumbuh subur. Selama 120 hari sebuah buku “Kota Tujuh Stanza” terlahir, pada 16 Desember 2017. Dimoderatori Syswandi, seorang pegiat komunitas film, dibedah Iwok Abqary (Novelis), dan diulas oleh pembaca pertama, Lupy Agustina Dewi (Blogger).

Sebuah karya jawaban dari “Sampurasun” yang terbentuk dari kolaborasi bernuansa kolosal. Penggarapan satu judul novel “Kota Tujuh Stanza” digubah 7 buah lirik lagu, diaransemen oleh 7 band dengan 7 genre musik yang berbeda. Kemudian dikemas dalam sebuah album kompilasi “Satu Frekuensi” yang melibatkan 7 Ilustrator, 7 Fotografer.

Seluruh frekuensi para super relawan yang terhubung dalam acara Ruang Anak-anak Muda – ReAction A Movement (raamfest.id). Atas nama gelombang musik dalam album kompilasi “Satu Frekuensi”: The Little Lizard – Hi – Supercharger – RIM – Tigerwork – Good People – The Melodrama. Seluruh cinta komunitas-komunitas: Tembok Tasik – Type Tasik – Doodle Art Tasik – Sketsa Tasik – BMX Tasik – Ngopi di Tasik – Tasik Help Foundation – Galeri Jalanan – Umbrella City MC – RSBS – KSBK (Kelompok Studi Biodiversitas dan Konservasi) – Wildlife of Eastern.

Berapapun lama waktu persiapan sebuah pertunjukan tidak akan ada yang ideal. Seorang Andarea Fatih hanya diberi tujuh hari untuk menerjemahkan sebuah naskah dalam bentuk lirik yang dibawakan band-band album lagu “Satu Frekuensi” hingga menjadi sebuah musik teatrikal. Ia bukan Sangkuriang yang patah hati kepada fajar yang kemudian memutuskan berhenti berjuang. Berbeda dengan aktor yang ditempa teater Dongkrak tersebut, ia berusaha menyelesaikan tugasnya hingga meriang.

Seperti yang dikatakan Syswandi, “…dan seluruh hidup kita hanyalah tentang sebuah cerita, cerita tentang anak muda yang bergerak, membuka gerbang untuk keluar dari dunia sebelumnya menuju dunia baru. Sebuah dunia dimana kita selalu berbagi cerita dan saling mendengarkan. Tak ada hal lain, bercerita dan mendengar. Cerita pergerakan anak muda ke pergerakan yang kelak membangkitkan pergerakan selanjutnya. Sebuah mythopoesis; proses membangun cerita tanpa jeda, tersebar, dan melahirkan tradisi yang meluas. Sungguh kita butuh cerita untuk membentuk diri kita, gerak dan perlawanan kita. Sebuah cerita yang dikekalkan waktu.”

Ketukan-ketukan tongkat tua di antara rumah-rumah warga sebuah gang sempit sayup-sayup mengiringi adzan awal saban pertigaan malam. Dikumandangkan seorang anak muda yang berprofesi sebagai teknisi sebuah bengkel motor. Dua generasi tersebut saling mengingatkan orang-orang di salah satu gang di perbatasan kota sebelah utara. Hidup memang sebuah frekuensi yang semata-mata gelombangnya untuk saling mengingatkan. Bukan peringatan “membunuh” seperti iklan bungkusan rokok itu. Jadilah pembuka cahaya seperti seseorang yang membalas salam Sampurasun, yaitu Raamfest (baca: Rampes).