Oleh. Atep Kurnia*

 

Pieter Johannes Veth (1814-1895) adalah guru besar geografi dan etnologi di Leiden (Hoogleeraar aan Rijks Instelling voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde te Leiden) serta ketua pertama Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap atau Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda, yaitu pada tahun 1873. Ia pernah menulis secara bersambung mengenai Aceh pada 1873, yang di dalamnya ada bahasan mengenai puasa para sultan Aceh antara tahun 1577 hingga 1641.

Guru besar yang namanya disingkat P.J. Veth itu secara bersambung mendedahkan pengetahuannya seputar Aceh dalam tulisan bertajuk “Atsjin, en zijne betrekkingen tot Nederland. Topographisch-historisch schets” (Aceh dan hubungannya dengan Belanda. Sketsa topografi dan sejarah). Tulisannya dimuat dalam De Locomotief sejak edisi 7 Juni 1873 hingga 21 Juni 1873. Semuanya sebelas tulisan.

Tulisan P.J. Veth yang berisi tinjauan geografi dan sejarah mengenai Aceh itu dua dasawarsa mendahului Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) yang mengajukan Atjeh Verslag (laporan Aceh) pada 23 Mei 1892 dan penerbitan De Atjèhers pada 1893 dan 1894. Tulisan “Atsjin” karya Veth agaknya bertaut erat dengan meletusnya Perang Aceh yang dimulai kala Belanda menyatakan perang kepada Kesultanan Aceh pada 26 Maret 1873. Artinya, Veth menulis mengenai Aceh di saat Perang Aceh telah berlangsung selama sekitar empat bulan.

Veth menyoroti keislaman, termasuk puasa Ramadan, sultan Aceh dalam tulisannya yang keempat atau dalam versi aslinya diberi keterangan “II (Vervolg)” atau bagian kedua lanjutan, dalam De Locomotief edisi 7 Juni 1873. Di bagian itu, dari kronik berbahasa Melayu, ia gambarkan secara rinci spirit para sultan Aceh dalam agama Islam.

Pertama, ia menyebutkan Sultan Mansur Syah (1577-1585) menyukai para praktisi ilmu keislaman dan menjaga keberlangsungan ajaran Nabi Muhammad. Dia mengatur agar para penjaganya memelihara jenggot, mengenakan jubah dan serban, atau dengan kata lain memakai kostum Arab. Ia memerintahkan pula semua bawahannya untuk melaksanakan salat wajib lima waktu, berpuasa bulan Ramadan (“de vasten der maand Ramadhan”), salat sunah, puasa sunah, dan membayar zakat.

Kedua, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang dikatakan sangat bersikukuh pada pemertahanan rukun Islam, terutama salat lima waktu dan berpuasa, dan melarang meminum arak dan bermain dadu (“met name van de vijf dagelijksche gebeden en de vasten, en dat hij het drinken van arak en het dobbelspel verbood”).

Ketiga, penerusnya, Sultan Iskandar Tsani (1636-1640) tidak kurang kesalehannya. Secara khusus disebutkan, dia melarang perbuatan-perbuatan yang bertolak belakang dengan Islam, termasuk mencelupkan tangan ke dalam minyak mendidih dan menjilati besi merah yang panas (“het dompelen der hand in kokenden olie en het likken van gloeiend ijzer”, bahasa kiasan). Dia juga berziarah ke makam-makam keramat, penegak Islam di Pasai dan Samudra, membaca Fatihah pada setiap makam yang diziarahinya serta menyalakan kandil dan membakar kemenyan. Keempat, Sultan Tajul Alam (1640-1675) yang juga disebutkan melaksanakan salat lima waktu, rajin membaca Al-Qur’an dan menegakkan ajaran-ajaran Islam.

Dengan demikian, Veth menarik kesimpulan bahwa dianggap kepatutan yang khas bagi para sultan Aceh adalah mereka mengerjakan salat lima waktu, berpuasa Ramadan dan membayar zakat (“de vasten van Ramadhan en de betaling der zakah of armenbelasting”), yang kesemuanya merupakan kewajiban utama dan pertama-tama bagi Muslim, rukun Islam yang harus ditaati dan diberlakukan (“alles tot de allereerste plichten van den Moslem, tot de grondzuilen van den Islam behoort, in acht nemen en voorschrijven”).

Namun, kata Veth, setelah meninggalnya Iskandar Tsani, faksi kebangsaan muncul dan kekuasaan berada di bawah pemerintahan perempuan, yang sepenuhnya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam. Sehingga yang terjadi kian mustahil untuk mempertahankan karakter Islam yang ketat untuk melanjutkan bertahannya kesultanan, sehingga lambat laun institusi Islam di Aceh sepenuhnya memburuk dan aturan-aturannya secara nisbi tidak lagi ditaati.

Pendapat P.J. Veth di atas dikutip lagi dalam buku susunan George Kepper yang berisi mengenai peperangan antara Belanda dan Aceh, De Oorlog tusschen Nederland en Atchin (Nijgh & Van Ditmar, 1874: 34).

 

*Pengurus pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM).

 

Keterangan foto:

Tulisan pertama seri geografi dan sejarah Aceh karya P.J. Veth dalam De Locomotief edisi 7 Juni 1873.