Sekilas membaca puisi karya Jonson Effendi (selanjutnya disebut Abi) membuat geli dan senyum sendiri. Ini tentang aku yang sedang galau karena ingin ibadah tapi yang di sebelah kurang memberikan dukungan hehehe.

Roh Kekasih

Wahai kepinding

Dengarlah desah napas ini

Ke mana lagi kan kukirimkan candu berahi

Setiap malam tidur mendengkur

Bantal guling menjadi saksi

                  

Wahai angin

Tolong kabarkan padanya

Aku merindu belaian sayang

Penghangat tubuh di tungku perapian

Wahai kecoa

Jika dia tidur tolong bangunkan

Bawalah duduk terus berjalan

Di sini aku menggantang roh kekasih

Datang

Datanglah

Aku menanti di peraduan asmara

Di kala cinta bersemi.

Jonson Effendi

Palembang, 19/03/2019

Namun dalam memaknai sebuah puisi, sebaiknya memperhatikan struktur bathin puisinya yaitu tema, rasa (perasaan penyair termasuk di dalamnya latar belakang penyair), nada atau sikap penyair terhadap pembacanya (tone) dan amanat (intention) (Wibowo, 2016).

Artinya, faktor siapa sang penulis tidak bisa dilewatkan begitu saja untuk mendapatkan penafsiran yang baik. Terlebih, saya tergelitik untuk menelisik puisi ini lebih dalam lagi sebab ada beberapa baris pada bait yang menandakan bawa ini puisi prismatic yakni puisi yang multiinterpretable atau mulititafsir.

Satu diantaranya adalah larik … Jika dia tidur tolong bangunkan.

 

Bila ini tentang suami/ istri bagaimana mungkin sang aku tidak tahu pasangannya sudah tidur atau belum, apakah mereka long distance relationship (LDR)?  Jika ya, apa makna duduk terus berjalan? Lalu mengapa aku menggantang roh kekasih? Siapa yang dimaksud kekasih, sementara aku sudah memiliki pasangan. Kemudian penutup puisi dengan larik Di kala cinta bersemi  menyiratkan ada kalanya cinta tidak bersemi dalam arti, cinta sang aku tidak konsisten. Saya mulai menemukan sedikit kejangggalan, ada yang tidak cocok jika puisi ini sekedar tentang rindu untuk ‘beribadah’  dengan pasangan.

Kemudian,  saya membaca ulang puisi Abi dan melihatnya dari salah satu struktur batin puisi yakni rasa. Dari latar belakang pengarang, saya berpendapat puisi ini merupakan puisi sufi. Ini dapat dilihat dari makna larik-larik di tiap baitnya.

Pada bait pertama sang aku tengah resah, tak berdaya (dengan menggunakan kata kepinding). Ia menghabiskan waktunya untuk tidur dimana seharusnya ia bisa bangun untuk menemui tuhannya. Pada bait kedua, aku menginginkan pasangannya memberi dukungan agar dia bersemangat dalam ibadah khususnya shalat malam. Di bait ketiga, dalam ketakberdayaannya, sang aku berkeinginan agar pasangannya mau bersama-sama menemui Dia, sang penggenggam semesta dalam kecintaan dan kenikmatan qiyamul lail.

Menariknya puisi ini dipungkas dengan larik Di kala cinta bersemi. Ini menandakan bahwa seperti kebanyakan orang dalam beribadah terlebih mendirikan shalat malam, sering mengalami fluktuasi. Karenanya, selalu dibutuhkan bantuan, dukungan juga doa dari orang-orang terdekat baik pasangan, keluarga, karib kerabat, juga para sahabat.

Tentu saja, ini adalah penafsiran saya sebagai pembaca puisi Abi. Setiap orang bebas memberikan penafsiran atau interprestasi terhadap sebuah puisi  mengingat puisi merupakan bagian karya sastra yang bertujuan menghibur dan memberi pelajaran (Horatius dalam Teeew dalam Zenul , 2018)

Nirma Herlina Ghanie

Sumber bacaan

https://m-edukasi.kemdikbud.go.id

https://kompasiana.com

Tulisan ini dimuat juga di www.mataharipagi.online