Categories
Kabar TBM

SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK LITERASI MASA DEPAN

Mungkin, masih sedikit pengelola taman bacaan masyarakat (TBM) yang percaya jika kisah mereka sangat pantas untuk diabadikan. Kisah-kisah itu pada akhirnya, mungkin, akan terlupa begitu saja seiring berjalannya waktu, seiring pencapaian-pencapaian baru, dan seiring terciptanya aneka kisah baru. Jangankan untuk mendokumentasikan, banyak dari mereka malah menganggap kisah-kisah itu biasa saja dan serasa sungkan menuturkan sembari merasa bahwa di luar sana masih banyak TBM lebih hebat. Hal serupa jua terjadi di kesemestaan TBM Daerah Istimewa Yogyakarta, sebuah daerah dengan identitasnya sebagai kota pelajar dan kota pendidikan.

“Forum tuh udah lama banget loh bikin bukunya,” demikian ungkap Heni Wardaturrohmah (saat itu menjabat Ketua Forum TBM DIY) saat berjumpa dengan anak-anak muda Forum TBM DIY, suatu hari menjelang pertengahan 2019. Setelah dibahas sembari bercanda-tawa, sebuah tujuan kemudian disepakati bersama – antar anak-anak muda di Forum TBM DIY. Sebuah kesepakatan yang mungkin akan mencatat sejarah baru bagi dinamika Forum TBM DIY. Hari-hari setelah pertemuan itu, sekumpulan anak muda dari 5 kabupaten/kota itu menamakan diri sebagai Tim Buku Forum TBM DIY. Tim ini bertugas menyiapkan sebuah buku bersama bagi  Forum TBM DIY. Mulai dari membahas teknis, pengumpulan dan penyuntingan naskah, menyiapkan perkara cetak, hingga memikirkan soal acara perilisan.

Tim ini sendiri sempat mengalami beberapa kali bongkar pasang anggota hingga akhirnya tinggal 10 orang tersisa. Heni Wardaturrohmah (TBM Mata Aksara), Adityo Nugroho (Info Literasi Jogja), Alfa Aulia Nooraya (TBM Harapan), Marsahlan (TBM Katamaca), Eki Syauqi Muhammad (mahasiswa), Beny Abdurrahman (TBM Akar Pelangi), Nana Yuliana (EduTalks), Muhammad Bintang Akbar (TBM Bintang Matahari), Ika Ariyati (TBM Teras Baca), dan Syaeful Cahyadi (Perpustakaan Umum Dusun Jlegongan) adalah sosok di balik Tim Buku Forum TBM DIY. Mereka bekerja mengumpulkan naskah demi lahirnya sebuah buku bersama di tengah kesibukan masing-masing. Tentu saja tanpa bayaran sepeser pun!

Target awal untuk mengumpulkan 30 tulisan (6 tulisan per kabupaten/kota) nyatanya tidaklah mudah. Ada kesulitan untuk memenuhi target tersebut di beberapa kabupaten. Alasannya beragam, mulai dari segi usia para pengelola TBM di daerah tersebut, kurang aktifnya forum TBM tingkat kabupaten, hingga alasan klasik berupa kalimat, “Jangan saya lah, mending lainnya saja.” Belum lagi jika bicara sosialiasi ke wilayah-wilayah yang harus menempuh jarak lumayan jauh. Atau, masalah-masalah klasik lain saat ada kontributor mengirimkan profil utuh berupa tabel karena menganggap buku ini akan memuat profil lembaga.

Pun demikian, bukan berarti tulisan-tulisan dalam buku ini disusun dan disunting apa adanya. Tim Buku Forum TBM DIY sendiri menyiapkan sebuah panduan kepenulisan bagi para kontributor. Penyuntingan dilakukan melewati beberapa proses, salah satunya adalah dengan menerapkan kebijakan swa-sunting di tahap-tahap awal. Naskah terkumpul diberi masukan dan catatan untuk kemudian dikembalikan lagi. Bukan bermaksud membuat repot tapi semata sambil memperkenalkan penyuntingan dasar untuk para pengelola TBM. Naskah baru disunting sebanyak 3 kali oleh para editor Tim Buku Forum TBM DIY setelah melewati proses swa-sunting.

“Tapi Forum TBM DIY tuh gak punya kas loh, cetaknya besok gimana enaknya?” cetus Heni Wardaturrohmah beberapa bulan setelah tim ini terbentuk. Di saat hampir bersamaan, kami menemukan fakta bahwa mayoritas tulisan dari para kontributor sangat identik akibat adanya panduan kepenulisan dari tim. Serta, fakta lain bahwa ada beberapa tulisan tidak layak naik cetak karena kuantitasnya terlalu pendek.

Setelah Semuanya

            Sabtu, 20 Februari 2021 pagi hari, di sebuah ruang virtual aplikasi Zoom, tiga orang pembedah mengulas sebuah buku bersampul putih dengan citra seorang kusir delman sedang membaca buku, lengkap dengan blangkon dan surjan bercorak bunga. Tujuh puluh lima peserta mendengarkan sembari sesekali mengirimkan pesan di chat room untuk bertanya atau mengomentari si pembedah. Ini adalah puncak dari rangkaian peristiwa untuk mengulang memori 2013 tahun saat untuk pertama kalinya Forum TBM DIY mengeluarkan sebuah buku bersama. Maka, ini adalah kali kedua Forum TBM DIY mencetak buku berisi kisah para pengelola TBM. Kali ini bahkan dengan lebih banyak tulisan terkumpul dan pihak yang terlibat.

Tim Buku Forum TBM DIY memilih judul ‘Warita dari Tanah Istimewa’ untuk buku ini. Warita sendiri berarti cerita atau kisah (diambil dari bahasa Sansekerta) sementara frasa ‘dari tanah istimewa’ dipilih sebagai representasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku ini berisi 23 naskah hasil tulisan 23 pengelola TBM (dari target 30 pengelola) dari 4 kabupaten (Kulonprogo, Bantul, Gunung Kidul, dan Sleman) serta 1 kota (Kota Yogyakarta) di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahap sebelumnya terkumpul 26 naskah dan ada 3 naskah tidak lolos tahap akhir dengan satu-dua pertimbangan tertentu.

Lahirnya buku ini bukan hanya menjadi satu pencapaian luar biasa untuk Forum TBM DIY tetapi juga menjadi salah satu bentuk kekompakan para pegiat literasi di dalamnya. Salah satu contohnya, dana operasional untuk mencetak buku ini merupakan hasil gotong royong dengan sebagian besar datang dari pengelola TBM di Yogyakarta. Dalam konteks lebih kekinian, Warita dari Tanah Istimewa menjadi contoh bagaimana anak-anak muda para pengelola TBM mampu melahirkan satu gebrakan baru yang selama ini mungkin hanya bisa terwujud dalam angan-angan.

Jika bicara tentang kualitas, buku ini bukanlah kumpulan halaman yang berbicara tentang kalimat-kalimat rumit dengan diksi melangit. Ia bukan pula tentang sajak-sajak indah untuk mengantarkan makna yang malah membuat si pembaca mengernyitkan dahi. Jauh melebihi semua itu, buku ini adalah sebuah kumpulan kisah para sosok dengan sebutan pengelola TBM atau pegiat literasi. Penulis atau kontributor buku ini datang dari aneka latar. Mulai dari ibu rumah tangga, anak muda, hingga staf pengajar yang sepenuh hati membaktikan tenaga dan pikiran bagi membuminya literasi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kisah mereka tidak selalu tentang suka, ada kalanya pula tentang duka. Bukan pula selalu tentang literasi eksklusif, bahkan acap kali tentang kisah-kisah sederhana dari sudut-sudut Yogyakarta.

Setelah semuanya, buku ini akhirnya telah mewujud dalam suatu bentuk fisik. Buku setebal 208 halaman ini berisi kisah-kisah yang sangat menarik tentang perjalanan 23 TBM di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sekumpulan kisah yang semoga menjadi catatan sejarah bagi perjalanan literasi di sebuah tanah istimewa bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah catatan empirik, bukan datang dari peneliti atau pemerhati, namun dilahirkan langsung dari para pejuang literasi di sudut-sudut Daerah Istimewa Yogyakarta, dari rahim-rahim gerakan yang menjadi pelita kecil perjalanan literasi di kota ini.

Maka, mengutip judul lagu milik sebuah grup musik dari kota ini, semoga kisah ini kelak menjadi kisah klasik untuk literasi di masa mendatang. Sebuah kisah klasik tentang para pengelola TBM dengan segala arah langkahnya. Dengan segala haru biru di sebaliknya, dengan puspa rupa para penulisnya, ini adalah Warita dari Tanah Istimewa; dari Yogyakarta, untuk literasi Indonesia!

Categories
Artikel

Sprit Baru Energi Literasi Dari Rumah

Apabila ada yang bertanya mengenai kreativitas, maka akan dijawab keadaan serta realitas sosial yang menyertainya. Seperti pandemi yang banyak menyedarkan serta menumbuhkan kreativitas oleh banyak kalangan. Selain itu, keberterimaan teknologi di masyarakat semakin diterima. Apa kesadaran dan kreativitas harus selalu muncul ketika dalam tekanan? Apa tidak ada kesadaran yang lahir dari hati yang paling dalam. Tergantung dari mana melihat dan menilai asumsi dari opini publik tersebut. Yang jelas, kita harus terus bergerak serta menyesuaikan dengan kondisi.

Energi Literasi dari Rumah Lahir ketika pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Supaya dapat terus bergerak dan menggerakan, maka Forum TBM (masa-masa akhir kepengurusan Firman) merespon keadaan dengan membuat kegiatan secara daring, yaitu Energi Literasi dari Rumah.

Kegiatan Energi Literasi dari Rumah disambut baik oleh publik. Oleh karena itu, Forum TBM (masa kepengurusan Opik) melanjutkan program yang telah digagas oleh pengurus sebelumnya. Konsepnya tidak jauh berbeda, hanya ketika dulu dilaksanakan satu minggu sekali, sekarang dilaksanakan satu bulan sekali.

Energi Literasi dari Rumah edisi pertama pertama kepengurusan Opik, langsung membuat gebrakan dengan menghadirkan Ketua Forum TBM dari awal hingga kini. Para ketua tersebut menjadi narasumber di Energi Literasi dari Rumah, Firman Hardiansyah (2015-2020), Gol A Gong (2010-2015), Zulkarnaen (2005-2010), dengan moderator Opik (2020-2025). Pada kesempatannya sebagai narasumber, mereka menceritakan selama mengurus Forum TBM.

Zulkarnaen, sebagai ketua pertama tentunya menjadi tantangan besar ketika diamanahi sebagai ketua Forum TBM yang skupnya sangat luas, yaitu Indonesia. Zulkarnaen yang akrab dipanggil Kang Zul, menyampaikan bahwa ketika kepengurusannya lebih pada bagaimana meletakan pondasi keorganisasian Forum TBM ini. Beliau dibantu oleh pengurusnya membuat Forum TBM pada tingkat provinsi, juga pada tingkat daerah. Selain itu, Kang Zul sering berkeliling Indonesia untuk silaturahmi dalam menguatkan keorganisasian Forum TBM. Karena menurutnya, bahwa silaturahmi itu penting di Forum TBM. Seperti yang diungkapkannya bahwa “hal utama dari Forum TBM adalah silaturahmi dengan anggota (TBM) di berbagai daerah.”

Selain Kang Zul, Gol A Gong yang akrab dipanggil Mas Gong juga bercerita mengenai pengalamannya ketika diamanahi sebagai Ketua Forum TBM. Mas Gong sangat bersemangat ketika diminta oleh moderator menceritakan pengalamannya ketika mengurus forum. Pada kesempatannya, Mas Gong menyampaikan bahwa, setiap anggota atau relawan TBM harus memiliki kemampuan. Kemampuan tersebut dapat berupa kemampuan menulis, desain, foto, video, serta lain sebagainya. Namun ketika masa kepengurusannya, Mas Gong lebih menitikberatkan pada kemampuan menulis. Selain Gol A Gong adalah sosok penulis dengan novelnya yang fenomenon Balada Si Roy, ia senang menularkan kemampuan menulisnya pada pengelola TBM, supaya pengelola TBM mempunyai buku sendiri.

Lain Gong lain Firman, meski keduanya sama-sama dari Banten. Kepengurusan Firman tinggal membangun melanjutkan sambung spirit yang sudah dilakukan oleh peiode sebelumnya. Firman dengan gaya kepemimpinan “rock n roll” telah berhasil membangun dinamika kritis di Forum TBM. Dinamika ini penting dalam perkembangan literasi di Indonesia. Supaya literasi yang sedang diangkat oleh pemerintah serta menjadi bagian dalam kecakapan abad 21, tepat sasaran serta diterima oleh masyarakat. Bahwa masyarakat sadar akan pentingnya literasi tersebut (literasi dalam kontek yang lebih luas). Firman beserta pengurusnya berhasil membangun atmosfer tersebut.

Energi Literasi dari Rumah dan Spirit Gerakan di Masa Pandemi

Energi Literasi dari Rumah kali ini terasa istimewa karena langsung dihadiri oleh Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Dirjen PAUD, Dikdas dan Dikmen, Kemendikbud Republik Indonesia, Dr. Samto.

Pada sambutan sebagai pembuka acara, Dr. Samto yang akrab di telinga para pegiat literasi dengan sebutan Pakde, mengingatkan kembali pada semua peserta yang hadir dalam acara, bahwa keadaan kita (dalam konteks Indonesia) belum kembali seperti semula, pandemi COVID-19 belum selesai. Pakde terus mengingatkan mengenai protokol kesehatan serta menjaga kesehatan supaya pegiat literasi dapat terus melanjutkan perjuangannya membumikan literasi di Indonesia. Pakde juga menyampaikan bahwa “kita tidak boleh menyerah dalam kondisi (pandemi COVID-19) ini, terus bergerak dan menggerakan supaya masyarakat semakin literat.”

Pada kesempatan yang sama, Pakde juga menyampaikan bahwa pada masa pandemi COVID-19, banyak komponen-komponen literasi yang menyadarkan kita (masyarakat) seperti penerapan dari teknologi dalam keseharian. Selain hal itu, peran masyarakat yang begitu luar biasa mengedukasi literasi kesehatan, hukum, finansial, pada masa pandemi. Ide-ide kreatif bermunculan.

Pandemi memang belum selesai, kita belum memang melawan COVID-19, namun gerakan literasi harus terlus dijalankan. Demi masa depan Indonesia yang lebih baik lagi.

Banyak sekali program-program kreatif dilakukan oleh Taman Bacaan Masyarakat juga pemerintah. Salah satunya adalah Magang Pegiat Literasi. Magang ini dilaksanakan di sepuluh titik yang tersebar dari barat hingga timur Indonesia. Magang ini dilaksanakan secara daring melalui aplikasi zoom. Magang Pegiat Literasi ini adalah ikhtiar dari Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus dalam memajukan literasi. Selain magang, ada pula Kampung Literasi yang sekarang sudah ada 114 titik, tersebar di Indonesia yang sedang dimajukan oleh pemerintah. Kampung Literasi sendiri seharusnya menjadi contoh gerakan yang baik dalam mengembangkan literasi di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Dr. Cecep Suryana, MM. ketika ia memaparkan epilog kegiatan Energi Literasi dari Rumah “Kampung Literasi harus menjadi patron gerakan literasi dan perkembangan literasi di Indonesia.”

Dr. Cecep Suryana, MM. sebagai Koordinator Fungsi Keaksaraan dan Budaya Baca, Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Dirjen PAUD, Dikdas dan Dikmen, Kemendikbud RI, juga terus memberikan semangat serta motivasi pada Forum TBM kepengurusan 2020-2025 supaya dapat terus bersinergi serta lebih baik dari kepengurusan sebelum-sebelumnya.

Suntikan semangat dari Dr. Cecep Suryana, MM. disambut baik oleh Opik di mana pada kegiatan ini mengampu sebagai moderator. Opik juga mengatakan bahwa “ketua tidak bisa bekerja sendiri, akan dibantu oleh pengurus untuk memperlancar roda organisasi Forum TBM, begitu pula di Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.”

Salam

Categories
Kabar TBM

RESHUFFLE PENGURUS WILAYAH FORUM TBM SULUT

Semacam tradisi yang melembaga pada diri Pengurus Pusat Forum TBM terdahulu, bahwasannya saat memiliki kesempatan untuk berkunjung ke sebuah provinsi, biasanya ada kerja organisasi yang dilakukan, apapun kerja pokok yang mereka pikul. Tradisi semacam ini dalam hemat saya, harus kami (Pengurus Forum TBM Masa Bakti 2020-2025) lanjutkan.

Oleh sebab itu, kunjungan saya ke Sulawesi Utara pada 20-25 Desember 2020, menjadi kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi dengan Pengurus Wilayah Forum TBM Sulawesi Utara. Banyak hal yang kami bincangkan pada kesempatan tersebut, diantaranya adalah melakukan analisis dan evaluasi terkait kinerja keorganisasian. Perbincangan tersebut kami gulirkan baik melalui diskusi santai di kedai kopi atau melalui sebuah forum resmi di Sekretariat PW Forum TBM Sulawesi Utara yang tak lain merupakan kediaman Faradila Bachmid, Sang Ketua PW.

Diskusi kemudian mengarah pada pentingnya pembaharuan/reshuffle pada tubuh Pengurus Wilayah Forum TBM Sulawesi Utara. Hal itu tentu untuk melakukan optimalisasi kerja keorganisasian dalam rangka melakukan percepatan gerakan literasi di Sulawesi Utara.

Berikut merupakan data hasil reshuffle Pengurus Wilayah Forum TBM Sulawesi Utara.

KETUA                           : FARADILA BACHMID

SEKERTARIS               : DONNA CHRISTHA GINTING

KESEKERTARIATAN : NADDYA KANDJI

BENDAHARA               : RAFIKAH NUGRAWATI BOYO

 

 

BIDANG POP SDM                                      : RASMIANTI HALIM

Divisi Pengembangan Organisasi              : ALGHA SANJAYA

Divisi Pengembangan SDM                        : STEVI APRILIA TALIB

 

BIDANG INFOKOM DAN LITBANG       : RINE FRANSISCA MARLIN ARARO

Divisi Infokom                                              : SAM RAMBU JAGAD

Divisi Litbang                                                : SITI WULANDARI MAMONTO

ARIEF SETIAWAN

 

BIDANG PROGRAM DAN KEMITRAAN       : SYAFRIL A. PARASANA

Divisi Program                                                      : SULISTIANINGSIH AYU SAPUTRI

Divisi Kemitraan                                                   : SEPTIAN MAULID TIWAR

Categories
Kabar TBM

PANDEMI, MOLI KONSISTEN SIRKULASIKAN BUKU KE TBM

SERANG – Akhir tahun 2020, komunitas Motor  Literasi (Moli) kembali donasikan buku ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Donasi diberikan saat Moli melakukan Tur Literasi ke Pantai Sawarna, Kabupaten Lebak pada 25-26 Desember 2020 ke ke TBM Atsilah Bayah sebanyak 200 eksemplar. Sebelumnya, di tahun ini juga Moli mendonasikan buku ke TBM Moli Qi Falah dan beberapa TBM di Banten.

 

“Saat pandemi ini anak-anak usia sekolah,  belajar di rumah, dan TBM menjadi salah satu tempat strategis bagi mereka untuk melatih kognisinya. Oleh karena itu, meski pandemi buku-buku di TBM harus tetap berputar,” ujar Firman Venayaksa, Imam Besar Moli. “Covid-19 tidak boleh menghentikan ikhtiar para pegiat literasi untuk selalu membuka akses literasi, terutama bagi masyarakat di pelosok. Menjadi cerdas adalah hak setiap warga negara,” tambahnya.

 

Buku-buku yang didonasikan ke TBM merupakan hasil donasi juga dari masyarakat. Biasanya Moli  bekerjasama dengan kampus-kampus di Banten. “Jadi, kami bersepakat bersama badan eksekutif mahasiswa, saat Ospek mahasiswa baru dihimbau untuk menyumbangkan buku bacaan. Setelah itu dikumpulkan oleh Moli, lalu kami distribusikan ke TBM-TBM di Banten. Tapi karena pandemi, hal itu agak sulit dilakukan. Maka dari itu kami hanya menyebar open donasi buku di media sosial,” jelas Firman

 

Pria berkacamata itu juga menambahkan, Tur Literasi kali ini dimaksudkan untuk refleksi pencapaian kegiatan dan program Moli di tahun 2020. “Banyak hal yang kita lewatkan di tahun ini karena pandemi, terutama persoalan literasi. Maka kita butuh merefleksikan diri agar kita mampu menyiapkan skema-skema alternatif kegiatan literasi di era new normal,” tandasnya.

 

Sementara itu, Wahyu Al-Jawi, ketua pelaksana kegiatan mengatakan, Tur Literasi ke Sawarna ini diikuti setidaknya oleh 30 peserta yang terdiri dari relawan Moli dan pegiat literasi lain di Banten dengan jarak tempuh sekitar 294 kilometer. “Karena tur kali ini dilakukan saat pandemi, maka peserta yang mengikuti tur wajib mematuhi protokol kesehatan, jika tidak kami akan langsung tegur,” ungkap Wahyu.

 

Pada puncak acara tur literasi, Moli juga mengadakan diskusi dengan tema Advokasi Literasi Desa. “Narasumbernya Firman Venayaksa dari Moli, Jaro Ruhandi dari TBM Kuli Maca dan Ruyatman Permana dari TBM Atsilah Bayah. Selain itu juga acara diskusi dimeriahkan dengam penampilan pembacaan puisi-puisi dari novel Balada Si Roy,” papar Wahyu.

Categories
Kabar TBM

TLB DAN GERAKAN KEMANUSIAAN

BITUNG– literasi tidak ada matinya dan terus berkembang hingga ke pelosok negeri. Hal tersebut terlihat dari perjalanan ketua Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) pusat Opik, yang mengunjungi salah satu komunitas literasi Teman Luar Biasa (TLB) yang terletak di Kota Bitung, Sulawesi Utara.

 

Menurut Opik ia sangat kagum dengan keberadaan TLB yang bisa memberikan wadah untuk semua kalangan, teruma kelompok disabilitas. “Melihat TBM TLB yang tidak hanya bergerak untuk masyarakat umum, namun juga hadir untuk melayani kawan-kawan berkebutuhan khusus,  terutama komunitas bisu tuli,” Ungkapnya

 

Ia optimis dengan adanya gerakan literasi bisa membawa perubahan di Kota Bitung sendiri. “saya semakin yakin TBM bisa menjadi ruang belajar bagi masyarakat secara umum.  Terbuka dan dilakukan secara bergotong royong” tambahnya.

 

Kunjungannya tersebut didampingi Ketua Forum TBM wilayah Sulut Faradila Bachmid beserta jajaran pengurus. Selain ke TBM di Kota Bitung, Opik juga mengaku akan mengunjungi TBM di kabupaten/kota lainnya yang ada di Sulawesi Utara.

 

 

Penulis

Wulan Mamonto, founder TBM Tadohe Bolaang Mongondow.

Categories
Artikel

Sembilan Bulan Kemudian

Maret 2020, aula sekolah yang tadinya hening tiba-tiba gaduh, ratusan siswa yang dikumpulkan spontan menjerit kegirangan saat Wakil Kesiswaan mengumumkan, “Hari ini kalian pulang ke rumah masing-masing, dan mulai besok kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah.”  Dalam sekejap, mereka berhamburan keluar dan berlari menuju gerbang, menjemput kebebasan, menjemput liburan yang diberi label ‘sampai batas waktu yang tidak ditentukan’. Mereka tak pernah menduga, itu jejak terakhir mereka di sekolah, hari terakhir mereka memakai seragam sekolah, momen terakhir berkumpul dengan guru-guru dan kawan-kawan. Sampai mereka tamat (kelas VI, IX, dan XII) tak pernah lagi kembali belajar, berkumpul, tak ada ujian nasional dan autolulus, tanpa perpisahan, tanpa kenangan. Mereka berlarian gembira tanpa menyadari semua harus dibayar dengan tercerabutnya indahnya masa sekolah yang jadi kenangan manis saat dewasa kelak.

 

Tak hanya mereka, para guru dan stakeholder sekolah pun tak pernah menyangka hari itu adalah hari pertama bencana panjang bernama dampak covid-19 bagi pendidikan. Beberapa kasus kenakalan siswa belum usai diproses, beberapa aksi protes wali murid belum tuntas diselesaikan, beberapa dan rencana proyek infrastruktur sekolah akhirnya batal dilaksanakan. Semua tinggal kenangan, ketika Indonesia resmi mengumumkan kasus covid-19 pertama, 2 Maret 2020.  Lalu kita pun tersadar, ini tidak sebentar, kegelisahan mulai menyebar. Tak hanya anak yang rindu ingin sekolah, orang tua pun kerepotan mengurus anak yang hanya di rumah. Pihak sekolah pun risau karena akhir tahun pelajaran sudah di ambang pintu, bagaimana mereka lulus atau naik kelas nanti?

 

Apa mau dikata, semua berubah drastis dan ini terjadi di luar kehendak manusia. Perubahan-perubahan yang terjadi merambah pada pola-pola perilaku, norma-norma sosial, interaksi sosial, bahkan lapisan dalam masyarakat, baik struktur maupun dinamika masyarakat. Mulai dari gaya hidup, ekonomi, budaya, dan pendidikan. PSBB diberlakukan, semua sekolah, kantor, hotel, dan rumah ibadah ditutup, social distancing diberlakukan, larangan keluar dan bepergian, wajib di rumah saja melakukan semua kegiatan sehari-hari. Kita akhirnya menjalankan segala aktivitas di rumah. Rutinitas yang biasa dilakukan di luar berubah menjadi rutinitas di sosial media, seperti kerja, sekolah, rapat, bahkan konser musik melalui daring (dalam jaringan). Manusia modern saat ini hidup di alam virtual, mereka sibuk melakukan dialektika dengan layar gadget masing-masing. Selamat tinggal alam nyata.

 

Maka dalam keadaan darurat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengambil kebijakan penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar online atau daring. Namun, PJJ rupanya menghadirkan sejumlah permasalahan yang harus dihadapi, baik oleh tenaga pendidik maupun siswa, terutama terkait dengan infrastruktur. Permasalah tersebut antara lain, ketersediaan listrik dan jaringan internet. Selain itu, tidak sedikit keluarga yang tidak memiliki gawai sebagai sarana untuk mengikuti PJJ. Sebagai catatan, ada lebih dari 47.000 satuan pendidikan yang tidak memiliki akses listrik serta internet (dikutip dari Kompas.com).

 

Salah satunya kendala sinyal jaringan yang tidak mendukung jalannya aktivitas daring tersebut. Selain itu, perangkat media yang belum mampu melengkapi kebutuhan aktivitas secara sempurna. Efektifitas dalam bekerja atau belajar dari rumah selama pandemi sangat buruk, ada pula yang mengeluhkan kurang menunjangnya aplikasi-aplikasi daring yang tersedia. Belum lagi jika berbicara masalah ekonomi, belajar daring membutuhkan gawai dan kuota, hal yang tak mudah bagi masyarakat Indonesia yang masih banyak berada di garis kemiskinan.

 

Kendala lain kurangnya kesiapan mental untuk belajar daring yang tak lepas dari teknologi. Sebenarnya pembelajaran daring tentu memberi ruang yang cukup untuk memberdayakan kita untuk suntuk dalam kegiatan membaca dan menulis. Namun kenyataannya, waktu yang berlimpah belumlah bisa dimanfaatkan secara maksimal. Para siswa pun malah lebih asyik bermain ponsel pintar dibandingkan suntuk dalam kegiatan membaca apalagi kegiatan menulis. Di berbagai tempat, warnet dan PS makin dipadati anak-anak sekolah bukan untuk belajar tetapi bermain game online.

 

Hal ini terjadi bisa saja karena bosan dengan pemberian materi dari guru-guru via daring (yang tak pernah lepas dari tugas-tugas padahal mereka belum memahami materi yang disampaikan), dan di lain pihak, orang tua yang diminta kerja sama pun cenderung lepas tangan percaya begitu saja pada anaknya. Ini pun tak bisa disalahkan karena mereka sudah direpotkan dengan tanggung jawab sehari-hari mencari nafkah dan mengurus anak-anak.

 

Tak mengherankan mulai banyak keluhan. Para wali murid berharap sekolah dibuka lagi karena mereka tak sanggup lagi terus-terusan mendampingi anaknya belajar daring. Orang tua yang dulu sibuk menghujat guru pun akhirnya menyadari anaknya memang ‘layak’ dimarahi. Secara tak sadar, orang tua mulai memahami betapa besarnya peranan guru dalam mendidik anak-anak mereka. Kita sama-sama tahu, sebelum datang pandemi begitu banyak berita perundungan guru oleh wali murid, bahkan tak segan-segan mereka memenjarakan guru yang sudah berjasa mendidik anak-anak mereka.

 

Bahkan di tempat saya mengajar juga demikian. Seminggu sebelum pandemi datang, seorang wali murid mengancam akan mempidanakan pihak sekolah karena tidak terima anaknya diskors. Begitu wabah covid-19  menyerang, masalah itu menguap sendiri, hingga suatu malam saya tanpa sengaja bertemu dengannya di sebuah kedai kopi. Wajahnya terlihat amat lelah tetapi bersemangat menyapa. “Apa kabar, Pak? Lama kita tak berjumpa. Lama kita libur seperti ini, Pak? Pusing saya sekarang ini, kedua anak saya kerjanya bermain terus tak pernah belajar. Sejak sekolah libur, mereka makin kurang ajar dan sudah pandai melawan saya.”

 

Dia tidak sendirian. Selama PJJ rata-rata siswa yang ikut belajar daring paling banyak 30% dari jumlah siswa. Meskipun pihak sekolah sudah memberi peringatan hingga pemanggilan ke sekolah, tak pernah ada kemajuan signifikan. Akibatnya ketika semester ganjil berakhir dan rapor dibagikan, banyak orang tua yang kaget melihat hasil belajar anak-anaknya. Mau protes pun tak ada gunanya karena pihak sekolah punya data dan aplikasi lengkap mulai dari kehadiran dan keaktifan siswa.

 

Kesimpulannya simpel saja, PJJ gagal. Para siswa belum siap dan belum mampu belajar daring. Demikian juga halnya orang tua dan guru pun tidak semua siap mengikuti perubahan mendadak ini. Di lain pihak, pemerintah pun terkesan kurang tanggap memberikan solusi kepada pendidik untuk menyikapi realita. Memang ada sosialisasi, tapi tak pernah memberi solusi yang baik karena pemangku kebijakan masih berpedoman pada sampel masyarakat yang berekonomi menengah ke atas. Menganggap setiap orang punya gawai canggih dan mampu membeli kuota internet padahal masyarakat masih antre bansos, raskin, dan terbelit kemiskinan yang makin masif sejak pandemi.

 

Yang menyedihkan, nampaknya negara kita masih belum selesai bermain dengan pandemi. Sembilan bulan setelah pengumuman kasus pertama itu, kasus-kasus baru infeksi virus corona tak pernah berhenti dan kian meningkat hingga kini. Belum ada tanda-tanda bahwa penularan bisa dikendalikan, trennya bahkan masih mengalami kenaikan. Berdasarkan data dari covid19.go.id hingga Rabu (2/12/2020), jumlah kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai 549.508 orang. Dalam periode waktu yang sama, korban meninggal dunia akibat Covid-19 juga masih terus bertambah mencapai 17.199 orang. Selain itu masih ada 73.429 orang yang berstatus kasus aktif covid-19 di Indonesia. Mereka adalah pasien yang masih menjalani perawatan atau isolasi mandiri.

 

Jadi, bagaimana? Agaknya pemerintah menyadari PJJ memang gagal. Sudah ada kebijakan baru bahwa di awal semester genap akan kembali diperlakukan belajar tatap muka yang sesuai dengan protokol kesehatan. Kebijakan yang disambut lega semua pihak, seolah menyatakan bahwa pandemi yang begitu lama benar-benar memberikan pelajaran berharga akan peranan guru dalam mendidik anak-anak mereka. Peran yang tak tergantikan oleh gawai dan tenologi secanggih apa pun, sampai kapan pun.(*)

 

 

Penulis adalah guru SMPN 2 Bangkinang Kota, Kampar Riau, anggota Ikatan Guru Indonesia, dan pengurus Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Riau